Oleh: Dhito Nur Ahmad (Risto)
Sore, 29 Agustus 2014, setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan serta menyinggahi tempat-tempat yang asing. Akhirnya sampailah kami di Kabupaten Berau. Sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Kalimantan timur. Kami, rombongan sarjana mendidik (SM-3T), berjumlah 29 orang, didampingi dua dosen kereen kami (Pak Suardi dan Pak Jumadi), bermaksud ke Berau bukan untuk berwisata, bukan pula untuk jalan-jalan, tapi malam itu di kepala kami telah tergambar bahwa esok, kami akan masuk dalam sebuah ruangan yang (cukup) mewah, ada banyak orang, ada tepuk tangan meriah, spanduk yang dibentangkan besar-besar di hadapan, dan pajangan foto-foto yang dideretkan rapi di dinding. Pun, Pak Bupati akan menyambut kami secara khusus. Sekadar seremonial, yang pastinya akan ada ucapan selamat, akan ada ceramah panjang tentang pentingnya pembangunan kualitas pendidikan, foto-foto bersama, juga jabat-jabat tangan bersama. Dan itu semua dilakukan dengan ramah dan dipaskan untuk mngena di hati.
Dan betullah, pertama kali datang, di penjemputan area bandara kami disambut dengan hangat sekali oleh Pak Prapto, pak wakil kadis yang katanya diutus khusus oleh Kepala Dinas untuk menyambut kami. Senyumnya lebar, kumisnya tipis, serta punya tata kesopanan yang seukuranku berlebihan. Kami diangkut dengan dua bus, masing-masing menuju ke hotel yang berbeda (Hotel Sanggam dan Nirwana). Berau adalah sebuah kabupaten yang tak bisa dianggap kecil, perjalanan dari bandara ke hotel kami rasakan lumayan jauh, 25 kilo kurang lebih. Kabupaten yang beribukota Tanjung Redeb ini merupakan kota yang sedang berkembang dan membangun, dimana-mana kami disuguhi dengan pemandangan pekerja-pekerja proyek yang sedang memperbaiki jalan, di jalan-jalan umum kita disugui dengan pajangan-pajangan semacam: mohon maaf, jalan sedang dalam perbaikan, atau maaf, jalan Anda sedang dialihkan. Saya kemudian teringat tentang beberapa literatur dan berita yang pernah saya baca dan dengar, bahwa kaltim ini merupakan kota industri yang kaya dan punya sikap dermawan tak terkira. Penghasil batu bara, gas alam, dan minyak tertinggi, dan itu semua diserahkan dengan kereen dan elegan sekali pada asing. Sementara, telah kusaksikan sekarang, kotanya sendiri tak terlihat maju, dari rumah-rumah penduduknya tampak bahwa mereka belum sesungguhnya sejahterah. Dan saya yakin mereka telah dilukis dengan sangat professional oleh asing untuk tunduk dan patuh. Maka terngianglah di benak saya sebuah tindak yang paling saya benci: Kolonialisme.
Malam hari, akhirnya bertemulah 14 anak muda bugis-makassar yang sedang mengawali rantau di Kota Berau. Di hotel, pertemuan selalu makin kami intensifkan, percandaan dan segala hal remeh-temeh tentang tugas mulia, meluruskan niat, sikap patriotik, kemungkinan situasi buruk, dan juga tentang…hm, cinta, selalu kami bicarakan dengan hangat dan akrab. Hingga kami rasa tak ada ruang bagi kami untuk bersedih. Saya, zam, chaerul, dan iccank, menjadi serupa komoditi ekspor berkualias selangit diantara 10 perempuan-perempuan lain teman kami (chepi, ully, mirna, misna, kasma, lia, ani, irma, erna dan dillah). Scara… kami berempat adalah pria baik hati dan jauh dari sifat sombong (-__-)
Selain itu, tak lupa pula kami bicarakan tentang Paskhas, maksudku, kisah-kisah yang kami lewati bersama di asrama Paskhas-AU. Dalam hal ini, chepi, sebagai wanita paling cerewet dan mengaku diri paling cantik (heheh) paling banyak bercerita. Segala yang bernama penderitaan bersama, tentara-tentara yang keras tapi punya sikap lembut mengagumkan itu, tentang muasal niat kenapa bergabung di sm3t, tentang kemungkinan hidup malang selama setahun, juga tentang kejadian-kejadian lucu saat camping bersama di lereng bukit moncongloe, maros. Ah chepi dan ully adalah yang paling tau, telah sangat jago bercerita dan sepertinya sudah berpengalaman dengan segala hal yang berhubungan dengan perasaan. Dan saya? Yang merasa berkarakter asli pendiam dan berusaha memosisikan diri senyambung mungkin, tak banyak berkomentar apa-apa. Tapi atas nama kesetiakawanan, sebagai sumber untuk lebih banyak belajar, pun sebagai bahanku untuk menulis, kudengarkan semuanya baik baik, kusimpan di memoriku, juga kurekam beberapa adegan yang menurutku penting.
Maka betullah, saya memang yang harus lebih banyak belajar. Pertemuan kami selanjutnya, saya mengalami banyak hal yang mesti kupelajari lagi, semisal bagaimana menambah confident saat jadi korban percandaan teman, bagaimana membuat orang tertarik dan terkagum-kagum dengan ceritaku, juga tentang cara memberi semangat dan bangga pada diriku sendiri melebihi caraku melakukannya pada orang lain.
Apa yang terjadi pada kami selama berada di hotel, telah cukup menunjukkan bahwa kami sudah sangat akrab. Rahasia-rahasiaan telah sebagian besar dibongkar, hingga akhirnya kami harus mengakhiri moment kebersamaan itu dengan perpisahan yang mengharukan. Saya bersedih tentu saja. Moment terakhir kebersamaan, saat teman-teman sehotel, juga teman lain yang menginap di hotel nirwana bertemu bersama, pada sebuah acara penyambutan oleh bupati, kepala dinas, camat-camat, dan kepsek-kepsek di sebuah ruangan. Kami harus saling merelakan, Zam, sang wakorkab –bersama Pardin- bertugas di Kelay, mengajar anak suku dayak dalam Kalimantan. Ainun, sang sekretaris sekaligus inisiator dan yang paling banyak ide tentang kami, bersama Ika, Eni, Syifah, dan Innah di tempatkan di Kepulauan Derawan, sebuah pulau wisata yang indah dan terluar. Sementara Chepi, sang bendahara, bersama Kasma bertugas di Talisayang. Teman-teman yang lain, tersebar rata ke banyak daerah (Segah, Batu Putih, Tabalar, Biatan, dan Maratua) berjauhan satu sama lain.
Sebelum berpisah, tentu saja ritual yang tak kami lupakan adalah berfoto bersama, berlatarkan gedung dinas kota Tanjung Redeb, ke-29 orang teman, bersama kedua dosen pendamping kami (pak suardi dan pak jumadi) yang setelahnya menyalami kami dengan hangat sekali, membisiki kami kalimat menyemangati (terutama analogi adaptasi pisangnya Pak Suardi), dan juga mengingatkan kami untuk tetap menguatkan koordinasi.
Kami merasa masih harus bertemu dalam waktu yang tidak (terlalu) lama, untuk saling bercerita pengalaman di penempatan, untuk menyampaikan hasil observasi awal sebagai bahan program kerja pengabdian, mengalternatifkan segala masalah yang mungkin saja dihadapi teman di lokasi, dan juga memantapkan segala hal yang berhubungan dengan koordinasi. Kami (saya, zam, ainun, chepi dan teman lain) adalah orang yang paling membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Terutama, tentu saja kerjasama dan kebersamaan dari teman-teman SM-3T Berau yang lain, semoga segala yang telah dipogramkan dengan mantap sekali dapat berjalan dengan mengagumkan dan berujung pada hasil pengabdian yang mengesankan.
Akhirnya, sampailah kami di masing-masing penempatan. Saya makin merasakan, makna kebersamaan dan hangatnya persahabatan justru setelah kami berpisah. Sebuah sensasi membahagiakan, dan selalu saya rindukan. Sampai jumpa pada kisah indah kita yang lain. Salam hangat dari kami, dari pulau indah dan terluar, Maratua. (Dhito, Adi, Ilu, dan Putu)
*korkab