Pages

Selasa, 12 Juli 2016

Sebut Saja Ini Romantika

Aduhai, saya ingin bercerita, kepada kawan-kawan seangkatan saya yang sekarang telah dewasa. Alangkah beruntungnya kita, yang terlahir tahun 80-an hingga awal 90-an. Di saat dunia kita memang masih sangat anak-anak, masih sangat kampung, masih sangat tradisional. Saya ingin bercerita, menghadirkan kisah picisan masa lalu, lalu menarik garis pembanding, dengan pendidikan masa sekarang. Adakah kemajuan, adakah itu hanya kemunduran?
Masa sekolah, adalah masa-masa bahagia. Tidak ada galau-galau, kita disadarkan sedari dini untuk rajin belajar, patuh pada guru-orang tua dan jangan nakal, biar jadi anak yang cerdas, anak yang berguna buat nusa-bangsa dan agama. Malas sedikit, dapat nasehat agung dari guru-guru kita, bandel sedikit diingatkan dengan lembut, bahkan pada kondisi tertentu dihukum dengan keras, yang pada zaman sekarang tentulah sudah dianggap pelanggaran ham.
Mari, kita simak lagu-lagu masa anak-anak kita. Akan saya hadirkan salah satu, sebuah gubahan dari Ibu Sud, tentang makna diri dan sekolah.
Hai, Amat, mengapa tidak sekolah?
Aku? Lebih senang tinggal di rumah.
Hai Amat, janganlah kau tinggal bebal.
Nanti tentu kau akan menyesal.
Hai Amat, janganlah kau tinggal dungu
Aku? Tidak perlu pergi berguru
Hai, Amat, tak guna kau banyak harta.
Kalau engkau tak dapat membaca.
Hai Amat, lekaslah pergi belajar.
Benar? Benar segala katamu, benar.
Hai Amat, ingatlah akan pesanku.
Itu kunci jalan kehidupanmu.
Dahulu kita diajari pendidikan budi pekerti, pekerti yang luhur, yang didasar pada falsafah agama dan falsafah pancasila. Sekarang kita diajari pendidikan karakter, yang bahkan anjing pun, kucing pun, harimau pun, semua binatang pun punya karakter. Dahulu kita diajari membaca kalimat “ini Budi, ini bapak Budi,” dari sebuah buku kecil yang sopan, menampilkan gambar anak berbudi pekerti, yang berkesan jelas taat pada orang tua, rajin ibadah, rajin menabung. Sekarang malah buku itu diejek oleh orang pintar, dan buku2 kita diganti dengan gambar-gambar sampul artis-artis cantik dari Jakarta, yang kemarin digosipi di tv sedang putus dengan pacarnya.
Aduhai dulu, kita dididik dengan keras oleh guru-guru yang pendidikannya tidak tinggi, tapi belum pernah nonton tivi, yang hatinya masih jernih, mengajari kita untuk jadi anak yang patuh pada guru dan orang tua, rajin belajar dan penuh semangat biar pintar, memberi tahu bahwa hemat pangkal kaya, rajin shalat dan mengaji biar jadi anak soleh. Sekarang, aduhai, perih sekali hati saya melihat anak-anak zaman sekarang. Bahkan guru-gurunya saja sudah tidak berdaya, negara telah melahirkan guru-guru yang dicurigai, yang tidak dihormati. Guru-guru yang tidak dipercaya, hingga anak butuh dilindungi darinya dengan undang-undang. Aduhai, siapakah sang pembuat undang-undang itu? Sudah pernahkah beliau turun ke sekolah, melihat keadaan anak-anak zaman sekarang? Pahamkan dia bagaimana itu pendidikan?
Aduhai lihatlah, pendidikan karakter yang dirancang oleh (katanya USAID) itu, sangat menekankan guru menhormati siswanya (bkn lagi siswa menghormati guru), datang sekolah disambut dengan senyum manis, berbaris depan pagar, menyalami siswa. Masuk kelas, guru pun lebih duluan dalam kelas, menyalami siswanya. Ini dimaksudkan mengajari karakter, tapi nyatanya, justru siswa makin tidak menghargai guru, patoa-toai sama gurunya, tidak adalagi guru yang tegas, yang galak, yang ditakuti (tentu, galak itu dibutuhkan, yang pada kondisi tertentu ditakuti siswa).
Aduhai dulu, kita diperkenalkn dengan Sultan Hasanuddin, dengan Bung Karno, bahkan diharuskan menghafal 4o nama pahlawan dan daerahnya, agar tahu betapa susahnya mendirikan negara ini, betapa kita harus cinta pada negara ini dan melanjutkan perjuangan dan pengorban mereka. Aduhai sekarang, anak-anak kita lebih cinta pada barcelona dibanding yang dari negaranya sendiri, lebih mengelu-elukan tim blanda yang dahulu menjajahnya dan mencibir tim sendiri, lupa pada yang dahulu menindas nenek moyangnya. Betapa kita kagum sekali pada jepang, pada korea, tanpa ada lagi ruang melihat hal yang bisa dikembangkan di daerah sendiri. Bagaimana mau maju negara, cinta pada negara saja tidak ada, produk negeri sendiri diremehkan, dicibir, dianggap tidak berkualitas. Aduhai, tidak butuh waktu 100 tahun, buat kita melupakan masa-masa ditindas sama penjajah kurang ajar, bukan mengajarkan membenci, bukan. Tapi mengajarkan sadar, bahwa ini dada masih punya cinta, masih punya bangga, pada negara kita yang sekarang dirundung malang ini.
Dahulu, kita diajarkan musyawarah mufakat, bahkan anak-anak seusia saya sangat menghafal GBHN, sebagai haluan negara yang dirumuskan oleh lembaga tertinggi negara bernama MPR, yang dahulu masih kuingat diketuai orang alim bernama Amin rais. Sekarang majelis permusyawaratan itu tdh tdk ada, GBHN telah dihapus. Haluannya diganti dengan demokrasi yang entah akan membawa negara kita kemana. Sistem baru itu mengajarkan kita pemilu, yg bahkan sgalanya butuh berdebat dulu, butuh saling mengakali dulu, yang bahkan seorang professor pun setara kualitasnya dgn pengembala kerbau, yang kuantitas lebih dipilih dibanding kualitas.
Aduhai Dahulu, para perempuan adalah mahluk paling sopan di dunia, paling pemalu di dunia, bahkan paling pemarah dan galak (kadang juga menangis) kalau dikasi jodoh2 sama temannya, sekarang aduhai, ada semuami tawwa pacarnya, bisami nahitung2 mantannya. Padahal di masa saya SD hingga SMP, berpcran adalah aib, ditau keluarga bisa dihajar, diomeli. Itu tindakan memalukan, org makassar bilang tau napakasiri bija pammanakanna, Ibunya akan merasa diolesi tai di mukanya oleh anaknya sendiri, merasa telah gagal mendidiknya. Bahkan nikah terpaksa, merupakan tindakan bunuh diri, secara adat keduanya harus mati diujung badik atau kalewang.
Dahulu, aturan masih bersandar pada hukum adat dan Al-quran, yang rata-rata berjalan beriring, sekarang datang pula aturan dari asing yang bernama ham, gender, dengan segala aturan undang-undangnya, yang anehnya bisa mengalahkan, bisa menggeser aturan luhur adat dan agama itu. Akibatnya, lihatlah anak-anak sekarang, kasihan saya melihatnya.
Aduhai dulu, kita diajari untuk fanatik, menempatkan cinta tertinggi pada nusa-bangsa dan agama. Yang rincian fanatiknya meliputi tiga hal, yakni: meyakini dengan sungguh, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan sungguh-sungguh dalam perbuatan. Sekarang, kita tidak diajari untuk fanatik, fanatik adalah sikap bejat. Dianggap tidak ada toleransinya, tidak menerima perbedaan, dan primordial, yakni mementingkan golongannya diatas golongan lain. Padahal, kalau beragama tidak fanatik, pasti mudah sekali disesatkan, kalau belajar tidak fanatik, maka yang kita dapat hanya keragu-raguan dan kesia-siaan, kalau berbangsa tidak fanatik, akan lebih mengelukan negara lain diatas negaranya.
Dahulu, kita diajari menghafal, kita diajari mengingat dengan baik dengan melekatkan baik-baik setiap pelajaran di kepala. Aduhai sekarang, itu dianggap ketinggalan zaman, padahal dahulu, kejayaan didapat dengan menghafal, Al-qur’an berjaya karena hafalan, sahabat-sahabat adalah para penghafal yang hebat. Sekarang, mereka diarahkan memahami pelajaran, cukup dipahami saja. Jadinya, anak-anak kita bukanlah orang yang hebat hafalannya, dan tidak kuat pula daya analitisnya. Hebat hafalan, berarti ada dasar pijakan untuk dianalisis, tidak ada hafalan, analitik hanya mengambang, lari-lari pembahasan, tidak ada dasarnya, dan mudah tersest jalannya.
Aduhai dulu, kurikulum kita sederhana saja, tidak ribetji penilaiannya, karena perilaku belajar itu esensinya tidak dinilai, tapi ditangani penyelesaiannya secara langsung, secara terus menerus. Kalau kita nakal bukan dicatat, tapi diingatkan, dihukum, kalau cemerlang kita dipuji, ditepuktangani, bukan dinilai di atas kertas. Sekarang Kurikulum baru itu, bikin pusing guru saja di proses administrasi, tdk ditekankan proses membelajarkan, di proses penanganan. Harus bagaimana kalau kondisi kelas sedang begini, kalau siswa sedang kondisi seperti ini, kalau mengajarkan materi ini. Aduhai ribet sekali k.13 itu, labil sekali RPP itu, tidak berpendirian dan berubah-rubah.
Sebagai guru, paling tidak sadar dulu, tahu dulu masalah, bahwa saat kita telah diserang dari berbagai arah. Kita telah didoktrin banyak oleh media yang entah dikendalikan oleh siapa itu. Pendidikan kita dalam kondisi genting, butuh diselamatkan oleh orang-orang yang tahu masalah, sadar diri, yang pembelajar.

Selasa, 31 Mei 2016

Cantik Itu Sakit



Oleh : Dhito Nur Ahmad

Aku mengenal pria itu dua bulan lalu. Dia datang bersama senja dan menyejukkan tubuhku dengan sinaran lembutnya. Betulkah dia mencintaiku? Entah. Yang kutau dia bilang mencintaiku, kemudian setelahnya melukaiku dengan teramat dalam. Bahkan menggelapkanku ke dalam bayangan hitam yang kelam, aku hampir saja tak mendapat petunjuk pulang setelah kejadian itu.
***
Sebuah hari yang tak sederhana, aku mengenalnya pada suatu hari yang tak kumengerti. Hari itu, aku telah mendapati diriku berada pada sebuah tempat bersamanya. Hanya kami berdua. Saat itu, masih sore. Masih kulihat cahaya matahari yang memantul di balik jendela wisma. Sepi, tak ada suara, hanya suara letupan jantung yang kurasa terasa merobek dada. Tentu saja kau telah tau apa yang telah kami perbuat saat itu.
Setelah itu, keadaan tambah senyap. Perasaan itu pun lenyap. Dia memintaku untuk melupakan semua kejadian itu. Aku pun tak ada pilihan lain selain menerima kejadian sore itu. Lalu kami, dia dan aku berpisah seolah tidak pernah terjadi apa pun, membawa sejuta penyesalan yang mungkin akan diratapi suatu saat nanti. Kawan!  inilah cinta dan kekasih yang pertama menyalamiku. Sesuatu yang banyak dipuja-puja jutaan manusia di bumi
Ceritanya sederhana. Aku, adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di kotaku. Jauh sebelum aku di sini, aku adalah wanita kebanyakan di kampungku. Aku hidup jauh di pelosok kabupaten. Sebuah desa kecil yang damai, Bertani dan berkebun adalah aktifitas utama di desaku, termasuk ayahku. Meskipun begitu, desaku tergolong maju, masyarakatnya makmur. Mungkin seperti desa kebanyakan di kabupatenku, yang sedikit berbeda adalah adat dan kultur masyarakat di desaku yang mendapat pujian dari banyak kalangan. Desaku terkenal sebagai basis kultur islam yang kokoh, sebuah anugerah terindah yang di anugerahkan Allah kepada desaku. Tentu saja termasuk aku dan sanakku.
Aku besar di pesantren, dari TK sampai Madrasah Aliyah semua kuhabiskan di kampung halamanku sendiri. Belajar ilmu agama dan segala unsur pendidikan yang berlaku di pesantren. Semua menyenangkan, hidupku sangat ceria. Tapi itu dulu, dulu sekali ketika aku belum mengenal dunia secara luas.
Setamat Aliyah, adalah semacam ketakterdugaan ketika aku berkesempatan untuk kuliah di Makassar, kota pusat pendidikan dan peradaban modern di Indonesia timur. Tanah baru, suasana baru, dan tentunya dengan tantangan yang baru.
Maka, di sinilah aku sekarang. Berkenalan dengan langit dan tanah lain yang tak pernah kutemui di kampungku. Sangat mengasyikkan, lambat laun aku semakin merasakan sebuah perkembangan kehidupan. Kadang-kadang terbersit di pikiranku akan tidak enaknya kehidupanku dulu. Tak seperti sekarang, dulu tak pernah aku untuk sekedar jalan-jalan di mall, nontong di bioskop, atau sekedar ke tempat wisata yang indah dan menenangkan. Aku begitu merasakan kebebasan yang tak terhingga, tak ada lagi aturan ketat kampungku yang seakan memenjarakan, jilbab kutanggalkan, karena keadaan yang tak memungkinkan. Pun melihat teman-temanku melepas jilbabnya saat pulang kuliah. Sekarang baru kurasai semuanya. Wuuih..! hidup ini indah ternyata!
Semua berawal pada suatu hari. Aku masih ingat hari itu. Sore. 12 November 2010. Aku melihat sebuah gejolak yang resah pada kedalaman mata seorang lelaki. Saat itu dia memujiku cantik, wanita tercantik yang pernah ia lihat. Setelahnya, dia kemudian bilang mencintaiku dan menanyaiku perasaanku terhadapnya. Dan aku menolaknya, lalu pergi di hadapannya. Tapi, peristiwa itu tidaklah membuatnya menyerah, dia mengejarku dengan berbagai macam caranya. Dia sungguh perhatian terhadapku. Jika bertemu di kampus, dia selalu menggodaku, selalu bilang bahwa aku ini cantik.
Lalu betulkah aku cantik? Aku tidak tahu. Yang kutahu teman-temanku pun sering bilang begitu. Lalu hal apakah yang bisa kuambil dari kecantikan ini?
Sepekan setelahnya, aku berjumpa dengannya secara tak sengaja, di kos seorang kawan, matanya begitu dalam memandangiku, menembus jauh di relung hatiku. Dia mengenalkanku dengan suatu keadaan yang sama sekali asing buatku. Sore itu, hatiku telah ditaklukkannya tanpa perlawanan. Dia telah merubahku menjadi kekasihnya, laki-laki yang telah membuatku menjadi ember yang siap menampung apa pun yang ditumpahkan kepadaku. Aku sendiri tak tahu, senangkah aku dengan kejadian itu. Cintakah aku kepadanya? Entah! Yang jelas dia bilang cinta kepadaku, dan aku pun mengangguk pasti ketika sore itu dia menanyaiku hal serupa.
Di tempat itu lah kami sering duduk berdua. Menggunakan waktu yang telah tersedia untuk kami. Hari itulah kami larut dalam sebuah kenangan yang mungkin akan menjarahku seumur hidup. Kelarutan dihadapan kekasih adalah bayangan bau neraka yang menyengat, tapi itu nanti dirasakan pada saat kekasih itu telah tiada. Kurasai betul, bahwa sungguh tak mudah untuk hidup dalam dunia yang aneh ini. Aku, cinta, dan dosa cinta begitu tipis perantaranya, seperti berada dalam satu dunia yang sulit dipilah. Namun, itulah aku. Wanita kebanyakan abad ini. Wanita yang mungkin tak aneh di masa yang menjunjung tinggi budaya baru yang tak berpendirian.
Setelah itu kami berdua terhenyak. Dan mulai sama-sama perih dengan keadaan yang tak tertahankan. Semua menyayat, seakan mau membunuhku karena kubang penyesalan yang amat dalam.
Lalu, bencikah aku padanya? Cintakah aku padanya? Aku sungguh tak tahu apakah aku membencinya atau mencintainya, yang jelas dia pernah bilang mencintaiku.
Makassar, 2010