Pages

Sabtu, 31 Agustus 2013

Tentang Demokrasi, PNS, dan Kematian


(kisah yang entah kebetulan atau tidak)
Malam itu (Selasa, 27 Agustus 13) saya mengunjungi rumah om saya yang terletak di BPH (Bumi Permata Hijau) Talasalapang. Namanya Ustads Hasan, saya sering memanggilnya Utadz. Beliau merupakan imam dan sekaligus tinggal di masjid kompleks tersebut. Bersama istri, dan seorang anaknya yang masih TK yang bernama Alim.
Malam itu kami mengobrolkan banyak hal (lebih tepatnya curhat). Saya tahu beliau adalah orang pintar, selain karena sekarang sudah hampir bergelar doktor di UIN, saya juga sering melihatnya tampil di TVRI, memandu acara diskusi bertemakan agama dan budaya atau membawakan berita berbahasa mandar (beliau adalah orang mandar).
Mula-mulanya, kami membicarakan tentang efek-efek demokrasi yang sudah muncul sekarang, (lebih banyak tentang pemilu bupati di daerah saya –Jeneponto- yang akan berlangsung September nanti). Dan kami sama-sama setuju bahwa demokrasi itu merusak tatanan budaya tradisi yang telah dibangun bertahun-tahun. Saya pun lantas berkata bahwa dulu masih seringka lihat orang bergotong-royong membangun rumah, saling senyum kalau bertemu di jalan, saling hormat dan menghargai, tapi sekarang karena seringmi terjadi pemilu tidak seperti itumi, makin banyakmi orang bumbeknya karena beda pilihan. Makin seringmi orang menipu, dan yang tertipu makin banyak tongmi. Tidak ditaumi mana yang mau diikuti, napejabat pemerintah dia paling jago menipu. Dia hanya tertawa, kemudian menjelaskan dengan rinci idealnya sebuah demokrasi. Dia pun mencontohkan dengan kisah tentang pnglamannya waktu tnggal di Amerika. Bgaimana gaya demokrasi mereka. Meski begitu, tetap saja kami tidak beroleh solusi.
Entah bagaimana ceritanya kami tiba-tiba langsung membicarakan tentang pendaftaran pns. Dan didepannya saya mengakui bahwa sekarang sudah adami yang tawarika akan nauruskan pndaftaran PNS dengan bayaran 60 juta (didaerah tetangga kabupatenku), tapi tidak mauka terima, karena percaya masih bisaja bersaing. Dia tersenyum, yang paling kuingat adalah nasehatnya ke saya, bahasanya mengena pas di hati: To, pertahankanki itu idealis, selamatkanki itu agama. Percayakanmi pada Tuhan, biar tongmaki jadi tukan kebun, asal itumi kebenaran, asal itumi kejujuran. Suatu nanti, kalo jadi PNSki dari hasil uang begitu, hati kita tidak akan bisa puas, tidak akan pernah merdeka, tidak bisamaki (juga) nasehati orang. Orang yang setia pada kebenaran itu suatu saat akan dibutuhkan, dan kamu juga orangnya pintar (dia bilangi saya pintar), pasti bisaji tanpa sogokan. Satu lagi: kematian itu sangat kuat.
Terkejutka langsung, kenapa tiba-tiba menyebut kematian (padahal kalau dipikir-pikir tidak ada hubungannya). Beralih topikka, saya pun bertanya tentang pekerjaannya sebagai pemandu pada acara diskusi TV, siapa-siapa saja tokoh yang pernah dia wawancarai (saya berharap dia menyebut nama pak Ahyar). Tapi dia tidak sebut nama pak Ahyar. Pernahka suatu ketika bertanya: pernahki duduk bersama pak Ahyar diskusi di TV? (dia sudah tau bahwa Pak Ahyar itu dosen saya). Dia bilang belum tapi saling kenal dan pernah bertemu. Dia melanjutkan: pengamat memang dia, jadi pintar. sayapun mengiyakan, dia memang pintar, juga stailis, kubilang. 
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, sudah jam 10 malam, dan kami harus mengakhiri pembicaraan bertopik liar ini. Sebelum saya meninggalkan rumahnya, ia sempatkan memberiku kalimat propokatif: tidak perlu menjadi singa untuk jadi raja, cukup menjadi kuda diantara para sapi.
Sesampaiku di koss, saya sempatkan membuka akun facebook saya, niatnya hendak menulis dan mensheerkan status tentang nasehat Utads tersebut. Dan…. Saya sungguh terkejut seperti tersengat kalajengking, saat mendapati hampir semua status yang tampil merupakan ucapan berduka cita atas berpulangnya ke rahmatullah tokoh yang barusan kubicarakan: Pak Ahyar. Innalillahiwainnailaihirajiuun. Tanpa sadar air mataku meleleh, lama sekali saya terpaku, merenung, dan tak bisa tidur….. benar Utads, kematian memang sangat kuaaat.