Pages

Rabu, 27 Agustus 2014

Sedang Ingin Berkisah

Kawan, sini. Marilah sini! Duduklah di dekatku, saya ingin bercerita. Bersediakah kau mendengarnya? Bersedia yah! Ayolah! Jangan gitu ah, saya akan senang sekali jika kau bersdia jadi pendengarku. Baiklah, untuk mempersingkat waktu-_- kumulai saja ceritanya. Begini. Penahkah kau melihat skawanan jin yang berdiskusi berhadap-hadapan selayaknya manusia? Pernahkah kau mengadakan pembicaraan dengan teman-temanmu untuk kuliah di negeri jin? Atau percayakah kamu jika jin itu sendiri sekarang tengah duduk bersamamu dan membantumu membaca catatan ini? Percaya? Hoh, tidak? Hm… baiklah, saya juga tak percaya bahwa kau akan percaya. Tapi sudahlah. Saya tak akan bercerita tentang itu. Tak sekarang. Saya akan bercerita tenang kami, kita, dan sealur cerita yang kami ukir dengan sangat sderhana bersama teman-teman seperjuangan di PASKHAS TNI-AU.
Siapakah kami dan bagaimanakah kami? Ah, biarlah itu jadi lipatan rahasia yang cukup kami saja yang tahu. Kau tak perlulah, atau ah, baiklah, begini, jika kamu sangat ingin tahu, dan ingin merasai pula, lebih mendekalah, saya akan membisikimu: di sana itu, membahagiakan, lebih dari sekdar cinta pertama, lebih, lebih dari skdar itu.
Jika kau ingin menjadi bahagia, kau tak perlu bersusah-susah sekolah tinggi-tinggi, bekerja keras pagi-malam, atau memburu jabatan yang disediakan Negara. Cukuplah kau jadikan dirimu menderita semenderita mungkin, sakit sesakit mungkin, menangis semenangis mungkin. Lalu kemudian kamu kemudikan dirimu ke tempat yang lain, bandingkan stelahnya, itulah bahagia. Atau kusarankan bgini, kalau perlu, cambuklah dirimu di suatu hari, hari setelahnya kamu akan merasai dan benar-benar menikmati sensasi: alangkah bahagianya hidupmu.
Itulah yang tengah kurasakan kawan, dan itulah pelajaran pertama yang bisa kubagi padamu, dan bahagia itu, benar-benar bisa kurasakan setelah diajar mngubah keadaan buruk yang sngaja diciptakan itu jadi pembahagia. Dan diakhir cerita, kami betul-betul merasakan bagaimana kebersamaan itu, bagaimana disiplin itu, bagaimana mengatur diri itu.
Di sini pula, kami belajar saling mencintai (cinta yang bukan melibatkan rasa yang aneh itu yah!) Pun, kisah kami akan tetap seperti ini adanya. Dan… inilah dia….. teman-teman saya….



Di sini kami saling mengingatkan diri, bahwa di luar sana, ada spesies yang sangat berbahaya buat kita, yaitu mahluk aneh dan ditakdirkan hidup dalam raga kita, sesuatu yang kadang mnyetir kita jatuh cinta, benci, selalu ingin bersenangsenang, menunda hal penting, dan bermain fb lama-lama. Besok lusa, dengan mudahnya ia akan mengarak kita ke pembuangan. Ingat itu yah, teman-teman…..
Jika kamu punya pacar dan berkata tak bisa melupakanmu, maka mulai sekarang mulailah blajar lupa (utk sementara). apalagi kalau yg mengatakan bahwa setiap saat yang dipikirannya selalu ada kamu, tanyakanlah satu tambah satu jumlahnya berapa. jika jawabannya adalah kamu, maka betullah. jika tidak, berarti dia pmbohong kelas amatiran yang utk sementara harus kamu lupakan -_-. Tapi jika kamu punya teman baik dan mengatakan hal serupa padamu, percayalah, ia bukan sahabat, bukan, tapi makhluk yang harusnya membuatmu bersiap-siap jika kisah hidupmu nanti meluncur sangat menyakitkan. Masuk akal?
Akhirnya, saya ingin mengakhiri cerita ngawur ini dengan ucapan selamat. Selamat. Kepada kawan-kawan seperjuanganku di bawah ini.


Tetaplah semangat, tunjukkan yang terbaik, jadikan kebersamaan adalah nafas kita (togetherness is our breath). Insya Allah impian kita bersama terwujud, melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan anak bangsa, dan mewujudkan generasi emas Indonesia. Ingat, kata komandan PASKHAS TNI-AU: Modalnya hanya semangat, semangat.  itu saja.


Selasa, 12 Agustus 2014

Pada Musim Hujan Kali Ini…


Menurutmu, bagaimanakah rasanya kehilangan orang yg paling dicintai dalam hidup? Sakit pastinya. Bagiku, seperti kehilangan satu-satunya harapan untuk hidup. Pernyataan itu sebenarnya pernah kuungkapkan dalam status saya di fb (agak lamami). sesuatu yang juga tak kutau mengapa saya merasa perlu membaginya. Tapi sungguh, saya pernah merasa menyesal sekali karena menuliskanya. Bahkan, sering ingin marah pada diri saya. Belakangan ini, saya merasa terlalu dikuasai sama fb, hingga segala sesuatunya mesti dishare, mesti melapor. Itulah, sebenarnya saya pun tidak bgitu nyaman sama orang yg terlalu sering curhat di fb. Ingin sekali kukatakan, bahwa fb itu bukan apa2, tak harus menjadi semacam candu yang mudah sekali mengatur hidup. Sebenanya, saya pun telah beberapa kali berencana menutup akun saya, meskpun tak pernah jadi sampai sekarang.

Dari dulu memang kusadari, saya memang tak pandai mengungkapkan sesuatu dengan cara yang lucu dan menyenangkan, tak pernah saya bisa menggoda orang dengan ceita tak masuk akal namun disenangi, apalagi membuat org menangis karena ceritaku. Mungkin seperti yang selama ini org sangka: saya terlalu gugup, terlalu pesimis. Maka kuputuskan saja untuk mengungkapkan segalanya dengan menulis. Sesuatu yang menurutku lebih saya kuasai ketimbang berbicara langsung.

Makanya, saat ini kuputuskan untuk menuliskan semuanya, dan mungkin takkan kujawab tentang musabab pertanyaan yg kulontarkan di awal tadi. Kalau saya bersedih, mestikah ada alasannya? Harusnya ya, segala sesuatu yg terjadi memang butuh alasan. Tapi ini? Saya sendiri tak tau bisa bgini, hingga saya merasa tak butuh alasan utk bersedih, atau lebih tepatnya tak perlu kukatakan padamu alasannya, karena tak dikatakan pun pasti tahu. Pun, saya tak bgitu senang dgn nasehat yang memintaku tabah, sabar, dan semacamnya.

Kehilangan org dicintai memang sakit. Seperti kehilangan segalanya, kekuatannya mampu melenyapkan segala mimpi, bahagia, dan membuat kita seolah tak berjarak dengan sepi. ia hadir begitu saja tanpa kuasa dibendung, tanpa bisa dicegah, lalu kemudian  membawa lari satu2nya alasan utk melanjutkan hidup. Sekedar tahu saja, ia sangat mencintaiku, bahkan sebelum kepergiannyapun namaku selalu disebutnya, bahwa betapa ia ingin diriku jd org . Dan betapa aku pun berupaya mewujudkan yg ia inginkan dariku, tapi tak sempat lagi.

Lamami memang beliau pergi, sudah lebih 8 bulan, tepat di akhir tahun, dan dimusim hujan. Tapi sejak saat itu selalu ada masalah dengan diri kalau sedang sendirian, kalau bukan takut, pasti menangis, dan hujan menjadi musim yg datang tak beraturan di hati, semaunya. Lalu, semuanya terjadi begitu saja, seperti tak membutuhkan alasan utk terjadi. Juga menjadi slah satu pengompor utk mewujudkan cita-cita lamaku untuk pergi, dirantau, meninggalkan makassar dan kampungku.

Entah ini karena apa, sy merasa kek… hidupku bermula dari situ. Dan lagi2 entah knp, pada musim hujan kali ini saya mrasa perlu menuliskan ini dsini. Juga, ini adalah rencana ksekian saya utk tak terlalu aktif membuka fb saya, atau membukanya hanya utk sesuatu yg penting saja.



Rabu, 06 Agustus 2014

Kengerian di Televisi


(Persepsi Pribadi)

Saya sungguh berharap suatu nanti akan kembali ke alam, tanpa televisi, dunia yg orang sebut hiburan itu, yg –sungguh- mengeraskan hati itu, yang gemar menyajikan informasi menyesatkan itu.

Saya memang hanya bisa menulis, mengekspresikan penilaian melalui tulisan dan tak mampu melakukan yang lebih, semisal program tandingan, atau menggalang massa untuk menolak, juga kalau kukirimkan ke media pasti tak dimuat, pasti. Tapi tahukah? Sakit, sakit skali rasanya, saat melihat keponakan, adik, sepupu, tante, bahkan nenek saya yang telah sangat gemar tertawa (tidak pernahmi kayaknya menangis karena terharu), dihadapan acara tak bermutu, semisal fesbukers, dahsyat, yks, family100, dan yang semisalnya.  

Kualitas seseorang sangat ditentukan oleh 2 hal: kualitas bacaan dan tontonan. Dan pemerintah kalau benar-benar memihak rakyat (bkan pengusaha media) sebenarnya punya kesempatan dan tempat yang emas utk mencerdaskan melalui siaran TV -benahiki itu media kassian- ia harusnya benar-benar tahu mana siaran yang layak, yang boleh. Jangan justru kita diperlakukan seperti orang stress semua yang butuh hiburan berlebih.

Juga, mestinya, orang-orang pintar dinegeri ini, yang kita sebut pakar itu, atau ahli itu, tahu betul dampak dari sesuatu yang kita sebut hiburan itu, sesuatu yang tiap hari disuguhkan itu, yang selalu berusaha membuat ketawa itu. Bahwa sebenarnya, telah  menjadi alat perusak moral buat anak-anak dan remaja kita. Mengapa? (jawab sendirimi nah! -__-)

Kebanyakan hadir pula seorang sinis, seolah bijak padahal tak peduli “Kalau tak suka, yah gampang, tinggal pencet remot dan ganti chenel” masalahnya tak sesederhana ituki karaeng, masih banyak masyarakat kita yang tak tau memilih, tak tahu mana baik dan buruk, tak tahu memilih mana yg merusak anaknya mana tidak, bahkan ada pula tak tahu apa itu pilihan, mereka hanya diajarkan definisi memilih=mencoblos. Ada pula orang yang sedang ada masalah dgn kepalanya, lalu terhidang pula masalah di tv, semakin masalahlah ia. Dan yang terbanyak, orang yg telah sungguh tahu baik buruk tapi punya keputusan mengejutkan.

Okelah, tv itu dibutuhkan utk informasi. Sekedar itu saja, jangan dilebihkan dari kebutuhan. Tak usahmi 24 jam siarannya, tak perluji 5 kali sehari beritanya kalau selalu ituji diulang2 dan tidak adami lagi berita penting, tak usahmi tambah acara lagi kalau tidak adami lg acara baik-baik ditau. Kasian itu pemirsa kasian, dia tak tahu dia sedang menonton pembodohan, mmboroskan waktunya, dan menonton yang sia-sia. Pembodohan tragedi pilpres misalnya, sebenarnya ini bkn kemenangan rakyat, tapi kemenangan metrotv dan kekalahan tvone, orang2 kreatif dibalik media iniji yang sebnarnya yang paling banyak berperang, yang menggalang dukungan, menciptakan opini, yang bilang jangko kampanye hitam pdhal dia yang begitu, yg ingatkan org2 penting utk netral pdhal dia yg tidak, yg menyerukan pemilu damai pdhal dia yang pancing….

Mengerikan sekali itu televisi. Banyak siaran tak penting dan ambisi pribadi didalamnya. Disanami diajarkan demokrasi, definisi toleransi yang salah, juga ditanamkan dikepalanya org bahwa seksi itu boleh, islam tak larang. Dan masalah ini tak semudah ungkapan “tinggal pencet remot dan ganti chenel”. Ada tanggungjawab moral dan kode etik di dalamnya.
*DNA

Di Akhir Cerita*


Oleh: Dhito Nur Ahmad

Di akhir cerita, yang kulakukan hanyalah merelakan, menemukan dirimu di tempat biasa, mengelus-elus lembut rambut panjangmu, memeluk lehermu erat sambil menahan diri agar tak menangis. Lalu melihatimu berdiam di tempat pemotongan, diikat setelahnya, lalu berontak tak berdaya lantaran sesuatu telah digorokkan di lehermu. Pun, di akhir cerita ini, aku hanya bisa menangis.

Tapi hari ini, pagi-pagi sekali, kau masih berdiri di halaman rumah. Memakan remeh-temeh rumput yang sejak bertahun lalu selalu tumbuh di situ, dan bersedia menemanimu. Iballang, kudaku, masih juga seperti dulu, gagah perkasa, kuat dan pendiam.

Aku duduk di tangga rumah, melempar pandang sejauh mungkin: ke awan-awan langit, ke sawah di hamparan, dengan sungai yang berkelok di tengahnya. Sebentar lagi, kau akan pergi, dan kampung akan riuh. Orang-orang akan berpesta, keluarga terdekat akan datang, dan kau akan semakin menjauh. Ingin sekali rasanya aku mengajakmu ke hamparan sawah itu. Paling tidak di sana kita akan melepas rindu pada hamparan rumput di pematang, juga aliran air sungai yang selalu setia mengalir sejak dulu.

Ataukah kau juga sudah rindu teman masa kecil kita itu? Mari! Kita berkunjung lagi, Mengunjungi palung ingatan terjauh, kisah masa kecil, sesuatu yang bernama kenangan. Ketika aku mengajakmu ke sawah, mengusir pipit, berjalan di pematang. Bermain di sungai, mandi-mandi. Lalu aku akan makan bersama dengan anak gembala, dengan ubi dan jagung bakar hasil kebun. Lalu kita akan pulang menjelang senja, dan kau tetap setia menawarkan punggungmu untuk kutunggangi, melewati pematang yang melengkungi hamparan sawah luas yang menguning. Ah, kenangan!

“Tak perlu terlalu dipikirkanlah, Nak” suara Ayah tiba-tiba menimpali

“Tidak, Ayah.” Suaraku serak, sedikit menyembunyikan kesedihan.

Tak mungkinlah ia merasakan pesta desahan itu, tak mungkinlah ia bisa mengerti sesuatu yang ada dalam hatiku ini. Bahwa nanti, aku harus merelakan kuda kesayanganku, sahabat masa kecilku ini disembelih, lalu digunakan untuk berpesta. Tak tega.

Sejak sepekan lalu, rumah Daeng Simba telah dibanjiri orang. Orang kampung datang beramai-ramai, menggelar tikar di Paladang, bermain domino dan kartu reme. Sehari lagi pesta berlangsung, tiga hari kedepan kampung akan riuh. Orang akan berpesta, elekton sudah siap, panggung sudah didirikan, dan ballo’ sudah tertampung berbaskom-baskom di belakang rumah. Sebagai orang berada, juga merupakan keturunan karaeng. Merupakan sebuah aib jika tak ada pesta besar, tak kedengaran elok jika tak ada tiga ekor kuda besar yang dibariskan di halaman rumah sebelum disembelih untuk pesta pernikahan. Juga beberapa keluarga yang datang membariskan mobil di halaman.  

Yuly, gadis semata wayangnya. Telah siap dilepas bersama suaminya. Sejak sepekan lalu, ia tak diizinkan kemana-mana, dirumah saja, menghabiskan waktu di depan cermin, mempercantik diri, menatap ranjang baru yang terbuat dari kayu jati. Kasur dan sepreinya mungkin sudah diganti, lembut mewangi, menyejukkan hati sembari menunggu hari yang membahagiakan banyak orang itu.

 “Berapa uang?” begitu tanya Daeng Kebo, membuka percakapan malam ramai itu.

Daeng Simba tersenyum, tak banyak tingkah, berusaha merendah.

“Tidak banyak Nak. Hanya sedikit beras, uang dan perhiasan. Tak perlu banyak-banyak, asal ada pembeli asam dan garam.” Begitu ia katakan, sambil tersenyum tentu saja.

“Sedikitkah itu Karaeng? Lima kuintal beras, uang 50 juta, juga dengan 20 gram emas. Panaik yang setimpal, Karaeng.” Seru yang lain.

Mereka pun terdiam. Tak ada yang bermaksud bersuara, karena diam sudah cukup menjawab semuanya. Pun, sudah beberapa hari ini, orang-orang telah berkumpul di rumahnya, menggelar tikar di Paladang, makan bersama, bermain domino, minum kopi, juga kue-kue yang telah ia sediakan. Sudah tak tertakar jumlah biaya yang telah ia habiskan.  

Tak seperti bertahun lalu, kampung tempat lahirku ini tidak lagi senyap. Orang-orangnya masih sama, tapi budayanya sudah berbeda. Pernikahan. Acara tersakral yang pernah kulihat, kini tak lagi jadi acara suci untuk menyempurnakan agama, tapi menjadi budaya beribut-ribut, pertunjukan kelas sosial, juga pesta besar sebagai lambang kemakmuran sang empunya pesta.

Aku terdiam, terpaku sendiri di depan rumah. Menatapi Iballang, kuda perkasa itu. Teman sejak kecil. Aku menolak, tak setuju.

“Itu kuda terakhir kita, Ayah. Janganlah dijual pada Daeng Simba” sanggahku hari itu.

“Ayah sudah tua nak, tak sanggup lagi memelihara kuda ini. Semenjak kau kuliah, dan menghabiskan banyak waktu di kota. Ayah sendirilah yang harus menyabit rumput setiap pagi dan sore, untuk makan kudamu ini.”

“Pun, tak banyak lagi padang rumput di kampung ini, hampir semuanya telah berganti kebun, sawah, dan rumah penduduk.” Ia melanjutkan.

***

Banrimanurung, kampung kami, kampung yang terletak di ujung barat Jeneponto. Di sini, bertahun-tahun kami hidup sederhana, apa adanya, mengandalkan hasil sawah, kebun, dan peternakan. Dan damai, pun tak pernah menolak untuk memeluk rumah sederhana kami. Di sinilah, pusat pemeliharaan kuda, sejak dulu. Sejak aku bisa mengingat, kuda tak pernah lepas dari budaya kami. Hampir setiap rumah memelihara kuda. Kuda merupakan teman mandi di sungai, kendaraan pribadi saat bepergian jauh, tenaga pembajak sawah, kendaraan pengangkut hasil pertanian, dan juga punya daging yang enak saat pesta pernikahan atau sunatan.

Namun, sejak teknologi masuk kampung, populasi kuda makin menurun. Telah ada motor sebagai kendaraan bepergian, traktor untuk membajak sawah, dan mobil untuk mengangkut hasil pertanian. Peradaban pun telah hampir sepenuhnya berganti. Pekerjaan orang telah banyak yang beralih dan tak banyak lagi yang tertarik meneruskan memelihara kuda.  

Aku bersedih, hanya bisa bersedih. Dan di akhir cerita, yang kulakukan pun hanyalah merelakan, menemukan dirinya di tempat biasa, mengelus-elus lembut rambut panjangnya, memeluk lehernya erat sambil menahan diri agar tak menangis. Lalu melihatinya berdiam di tempat pemotongan, diikat setelahnya, lalu berontak tak berdaya lantaran sesuatu telah digorokkan di lehernya. Pun, di akhir cerita ini, aku hanya bisa menangis.

Makassar, 2014
*Harian Budaya, Fajar