Pages

Kamis, 07 Maret 2013

Kisah Buat Langit

(Refleksi Akhir Studi)


“Sehebat apapun seorang pria, pria manapun itu, lihatlah, selalu ada wanita manis di dekatnya, mendampinginya. Karena hidup tidak pernah sempurna untuk dijalani seorang diri” (Anonim)
Ahhaaay..... Kalau itu ditarik ke kehidupanku, siapakah wanita manis itu? Orang jawakah? Orang Bugiskah? Orang Makassarkah? Atau jangan-jangan orang sekampungku sendiri!? Hohoh. Aku tak pernah tau, hanya Dia yang maha tahu. Semuanya telah tertulis di perkamen rahasia di atas sana. Hanya saja, aku ingat, aku selalu berharap (dan semoga begitu) dia adalah orang terbaik yang dianugerahkan Allah kepadaku.
Aku tahu, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, demikian juga sebaliknya. Aku sadar, manusia akan dipertemukan dengan orang yg sekualitas dengannya. Lalu bagaimana dgnku, bagaimana kualitas rupa dan diriku? Aah, aku malu mengatakannya padamu kawan, aku. Seorang manusia kebanyakan, manusia yang sangat biasa, bahkan terlalu biasa. Hanya saja aku tak mau mengidentikkan diriku dengan manusia-manusiaan seperti yang pernah dikatakan dosen sastraku, tidak, aku tidak mau kawan. Aku. Seorang yang berasal dari sebuah keluarga yang berpenghasilan rendah, keluarga sederhana - kalau tidak mau dikatakan miskin- yang sedang mengais kepercayaan diri dari lingkungannya, yang menyusun rencana untuk dapat sekolah, meski hanya bermodal nekad, do’a dan sedikit harap.
Rupa? Ah, rasanya ini lebih memalukan untuk diperkatakan. Tapi biar, biar kawan tahu. Aku selalu merasa cermin di kamarku itu selalu berbohong kepadaku. Makanya aku tak pernah menyukainya. Dialah yang mengatakannya padaku bahwa aku tak pernah gagah, jelek, jelek sekali, tapi entah, atau barangkali hanya cermin di kamarku itu yang telah membohongiku, aku berharap begitu, sangat berharap.
Yah, waktu telah bergulir lama sekali di hadapanku. 23 tahun. Berupa-rupa peristiwa telah menjumpaiku, aku telah berkenalan dengan banyak hal, berjabat dengan berupa-rupa warna kehidupan. Dan dari serentetan warna itu hal apa yang bisa kuambil sebagai pelajaran? Aku malu kawan, malu sekali, bahwa telah bertahun-tahun aku hidup, telah berpuluh tahun aku sekolah, dan lihatlah aku hari ini, mengenal diriku saja aku belum bisa.
Aku malu. Waktu telah berganti, dari detik, ke menit, ke hari, ke pekan, ke bulan, ke tahun, dan sampai pada ke 23 tahun umurku hari ini. Telah banyak hal yang berganti, presiden telah berganti, gubernur telah berganti, bupati di kabupatenku telah banyak kali berganti, gelarkupun sudah berganti, tetapi sepertinya isi kepalaku belum berganti.
Aku malu. Bahwa meratapi apa yang telah terjadi hanya sebuah kebodohan. Bahwa menyiksa diri dalam kubangan penyesalan hanya berakibat pada kekesalan pada diri sendiri. Toh, semua telah berlalu, telah habis dimakan waktu.
Kawan, aku tak hendak mengatakan bahwa aku tengah galau dengan kesendirianku sekarang, tidak. Aku hanya merasa tengah menyia-nyiakan banyak sekali waktuku. Berpuluh tahun kawan, 5 hari lagi genaplah 24 jatah umur yang telah kuhabiskan, entah berapa lagi jatah umur yang disimpankan Tuhan untukku. Entah bagaimanakah akan kuhabiskan sisa usiaku? Masihkah seperti hari-hari kemarin? Entah.
Sekarang. Aku tengah menanggung beban berat. Bagaimanapun, sarjana, di mata orang adalah orang yang pintar, orang ahli di bidangnya, sementara aku? Ahh…. Aku tak tahu, dengan bagaimana kan kutanggung beban yang di letakkan di pundakku itu.
Tuhan….. aku tak tahu bagaimana.
Sementara, tahu kah kawan? hatiku, selalu menuntut untuk menjadikan diriku orang yang layak diperhatikan oleh langit. Manusia yang manusia, bukan manusia-manusiaan. Laki-laki yang laki-laki jiwa raganya.
Malam ini, pada kisah yang kawan baca ini, anggap saja aku tengah berkisah pada langit. Kawan tau kan? Tak banyak manusia yang bisa dipercaya di masa ini. Makanya, langit adalah kawan paling perhatian yang kupunya. Kuharap, langit tak pernah bosan dengan kisah-kisahku…..
D. N. Ahmad
Makassar, 7 Maret 2013….