Oleh : D.N. Ahmad
Kesunyian jualah yang akhirnya menetaskan
rindu. Kebersamaan, canda, dan kebahagiaan, barangkali adalah arus kebahagiaan
yang hanyut ke muara dan tak kembali. Adakah kesendirian dapat melunasi semua
itu?
Sore, tanggal 25 April 2012, aku merasakan
sebuah gemuruh yang resah dari kedalaman hatiku, dan hari ini, lagi-lagi aku
merasakan gemuruh itu. Kenangan. Ya, lagi-lagi tentang kenangan, sesuatu yang
telah membuatku menjadi manusia paling menyedihkan di bumi ini. Kenangan itu,
seperti batu kerikil di pinggir jalan, liar, kotor, selalu tak mau lepas di
ingatan dan selalu tak sabar untuk ingin dituliskan. Maka aku, dengan susah
payah harus mengumpulkan ingatan untuk menuliskan semuanya.
Rindu dan kenangan, seperti saudara
kandung, ah bukan, lebih tepatnya saudara kembar, identik, serupa, namun apabila
diteliti secara seksama ia tak sama. Bagi seorang kekasih, rindu adalah
kegalauan hati ingin cepat-cepat berjumpa dengan kekasihnya, namun bagiku, bagi
seorang mahasiswa yang hampir sarjana, rindu itu adalah berpacu dengan waktu,
memburu dosen biar wisudah secepatnya dan terlepas dari belenggu universitas
yang memenjarakan. Ah tidak, aku tidak ingin bercerita tentang kerinduan itu.
Aku ingin bercerita tentang kerinduan seorang mahasiswa KKN-PPL yang telah lama
meninggalkan lokasi KKN-PPLnya. Namun apapun itu, rindu tetap identik dengan
kesedihan. Semenjak kumeninggalkan kota mereka, rindu itu adalah seekor raksasa
yang betah berlama-lama di hatiku, ia menginap, mengganggu, tak mau pergi,
jahat.
Malam ini,
ketik aku menuliskan cerita ini. Anggap saja aku tengah mengusir raksasa itu
dari hatiku. Namun hari-hari berlalu, semua upayaku untuk mengusirnya selalu
tak berhasil. Jadilah aku seperti ini, begitu menyedihkan.
Nyatanya, aku
selalu rindu, rindu bercanda lebih seru lagi dengan mereka, rindu tertawa lebih
lama lagi, rindu bercerita lebih panjang lagi. Aku rindu dengan mereka yang
menyapaku dengan sapaan “Kak”, rindu dengan orang yang kusapa dengan “Dek”. Aku
rindu sebuah pagi di mana aku selalu mandi paling awal, sholat subuh,
jalan-jalan ke pangker sembari berharap aku bertemu seseorang yang mengenalku
di sana dan menyapaku dengan “Kak Dhitoooo....”. Aku rindu sebuah hari dimana
aku menghabiskan sebagian hari dengan mengajar di kelas sambil bercanda. Aku
rindu dengan sebuah sore dimana aku bermain takro bersama dengan adek-adek,
atau sesekali bermain basket di halaman sekolah. Aku rindu menghabiskan hari
dengan berjalan-jalan ke lejjae, pantai wakka, bilariase, dan lumpue. Aku rindu
pada puisi-puisi yang mereka tuliskan khusus buatku. Aku rindu...... Dan dari
serentetan kerinduan itu hal apakah yang bisa kuambil? Toh sekarang aku hanya
bisa rindu dengan kerinduanku.
Ya, malam
ini, kerinduan tentang kisah KKN-PPL di kota pangkajene sidrap tiba-tiba saja
memuncak di kepala. Sebuah kisah sederhana, kisah kebersamaan yang terjalin
secara sederhana, namu menghasilkan sebuah kenangan yang tidak sederhana, yang
melahirkan sebuah pengalaman mahal yang bernama inspirasi. Disana cukup banyak
kisah terukir, antara aku dan teman-teman seposko, antara aku dengan masyarakat
kota pangkajene, antara aku dengan tuan rumah poskoku (Kak Andry, Pak Bahar,
Ibu Muti, Kak Hasni, tak lupa pula dua adikk yang lucu Dillah dan Tiara), dan
yang tak terlupakan kisah antara aku dan adik-adikku di SMP Negeri 3 Pangsid
(Spentreed).
Di spentreed,
rasanya aku selalu bahagia. Aku selalu lupa cara untuk bersedih. Disanalah baru
kunikmati hidup tanpa diatur, bebas serupa burung-burung. Bisa bicara sebebasnya.
Di waktu istirahat aku selalu nongkrong di lab. IPA yang disediakan sekolah
sebagai tempat istirahatku, dan mereka adik-adikku selalu saja ada yang datang
menemani, berbicara sebebasnya, bercanda sebebasnya, jika mereka iseng
mngerjaiku dengan bahasa bugis maka akupun pasti mengerjainya dengan bahasa
makassar. Hahaha... saat seperti itu kami pasti saling tertawa. Aku ingat,
seorang siswa pernah menanyaiku dengan beruntun, “Kak, apa sih gunanya itu
pacaran?, pernahki berpacaran? Sama siapa kak, siapa namanya pacarta?” hahaha tahukah?
Aku betul-betul kebingungan menjawabnya. Tapi tidak, aku tidak ingin mereka
berpikiran bahwa aku miskin ilmu tentang berpacaran. Maka akupun menjawab
sekedarnya bahwa aku hanya memiliki pengalaman hampir berpacaran, atau keakraban
yang sangat dan orang identikkan berpacaran, jadi tentulah saja aku tidak tau
manfaat berpacaran aku hanya tamat di teorinya saja. Dan di saat seperti itu,
mereka semua selalu tidak percaya dengan ceritaku.... “iyya kaaaaahhh.....???? ”
katanya dengan... ah, kenapa jadi manis sekali?!
Di
spentreed, banyak sekali cerita terukir. Tentang latihan upacara bendera di
sore hari, tentang latihan kasidah di poskoku, tentang persiapan acara maulid
di sekolah, tentang bermain basket bersama, upacara bendera bersama, tentang
pengalaman pertama makan makanan khas sidrap, tentang........ mereka,
adik-adikku, yang memberiku pengalaman pertama memimpin, membuatku mengerti
kerja tim dan kebersamaan, merekalah yang mengajarkanku makna kata “kita” dan
“kami”.
Tapi, ah....
lihatlah hari ini, tak ada yang tertinggal kecuali cerita. Kenangan kebersamaan
yang selalu tak ingin bosan untuk dikenang. Aku selalu ingat kenanganan saat
terakhir aku masuk di kelasnya. Siang itu, foto-foto pahlawan yang terpajang di
tembok yang menjadi saksi, saksi untuk semua tawa, pilu, tawa, haru, luka, dan
segala perasaan aneh yang pernah singgah di hati, menjelma seekor raksasa yang
menetap dan tak mau pergi di kamarku. Foto-foto
itu, begitu murung, sangat murung, semurung langit pangkajene yang sedang
berencana hujan.
Dan
akhirnya, waktu selalu menepati janjinya, bahwa tak ada yang lebih pasti selain
perpisahan. Memutus cerita-cerita kami di spentreed, aku kembali ke kotaku.
Melanjutkan pendidikanku, dan menggiringku ke rutinitas kampus yang makin hari
makin bikin sakit kepala. Dan akhirnya kesunyian jualah yang
akhirnya menetaskan rindu. Kebersamaan, canda, dan kebahagiaan, barangkali
adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara dan tak kembali.
Hari-hariku
selalu sepi, sunyi, sepi, sunyi, sepi.... hanya hapeku yang tak pernah sunyi,
pesan dari kalian, adik-adikku yang selalu menanya kabar, kapan datang lagi ke
sekolah, kubalas saja sekedarnya bahwa aku selalu baik-baik dan semoga nanti
Allah masih menyediakan waktu buat kita berjumpa lagi.
Adik-adikku
yang tercinta, tetaplah seperti ini, kenanglah kami kakak-kakakmu. Berilah
sedikit ruang di hatimu untuk kami, sedikit saja. Untuk nanti, kita tempati
saling bercerita jika bertemu, untuk nanti saling melepaskan kerinduan.
Berdoalah Adik-adikku, semoga kami semua baik-baik, demikian jualah yang
kulakukan untukmu. Meski kini kita tak lagi bersama, tapi kita beradik-kakak
selamanya, kita bersama selamanya, bersama dalam kerinduan yang sama, sampai
nanti, waktu yang menuntaskan semuanya. Terimakasih atas hari yang indah,
kebersamaan yang indah, dan kerinduan yang....??
Malam ini
hujan turun, deras, deras sekali. Aku tahu, aku telah jatuh cinta, dan inilah
cinta sejati itu, cinta dengan segala kegilaannya, dengan segala kerinduannya.
Makassar, sebuah malam di bulan Mei
Tidak ada komentar:
Posting Komentar