Pages

Kamis, 05 Agustus 2021

Cerita Tentang Menikah

Akhir-akhir ini saya selalu terpikir dan mau menulis tentang menikah, entah kenapa. Dan entah kenapa pula tidak pernahka jadi dan iniji satu-satunya yang kutulis. Menikah, proses sakral penyempuna agama, penggenap diri, atau alasan-alasan lain yang banyak. Setelah menikah, banyak yang bersyukur, rata-rata bahagia, sedikit yang menangis, ada pula yang menyesal. Menyesal? Iya, kenapa beng tidak dari dulu... 

 Ibu, adalah orang yang pertama kali bercerita padaku tentang menikah. Kabarnya, waktu beliau menikah, masih sangat muda, pas tamat SD. Sejak dulu dan sejak kita masih ingusan, ibu pulalah yang selalu menyuruh kita menikah, menjodoh-jodohkan dengan si anu, mengenalkan anaknya si anu, memuji anaknya si anu. Ibu kita -yang kita sayang melebihi semua perempuan- tak hanya orang yang mencucikan baju kita, menyapu, memasak nasi, menyiram tanaman, membelikan obat kalau sakit, tetapi juga tidak pernah menyuruh bapak kita keluar malam-malam, seperti istri teman2 saya yang sering disuruh istrinya keluar jam sepuluh malam beli gorengan. Ibulah yang melarang kita membonceng anak gadis orang dan menjaga baik-baik perasaannya, mengajari kita mengenal hijaiyah dan huruf abcd, menyuruh kita menjaga sholat, dan mengingatkan kita melihat kanan-kiri saat nyebrang jalan. Dulu saya berpikir, kisah hidup ibu-ibu sungguh monoton dan membosankan, memasak, mengepel, ngurus anak, sholat berdoa, melarang ini melarang itu. 

 Bapak kita, seperti bapak-bapak yang lain. Membebaskan, dengan siapa, bikin apa, ada di mana, terserah, yang penting kalau malam ada di rumah. Tapi kalau dengan anak perempuannya berbeda, lebih disayang dan lebih diperhatikan. Pun ketika menikahkannya, bapak-bapaklah yang paling banyak menangis. Berbeda, kalau yang menikah itu putranya, entah kenapa. Tapi saya rasa, bapak-bapak sekarang pun mulai berubah perlakuannya, sekarang banyak cewek-cewek keluyuran malam, di mal, di bioskop, di sudut jalan, pacaran, saya yakin mereka punya bapak. 

 Saya termasuk terlambat mengenal perempuan, tamat SMA ketika teman-temanku telah berulangkali ganti pacar, saya malah belum pernah naksir. Saya juga tidak penah menunjukkan kesan penting untuk didekati perempuan, atau layak dijadikan pacar, lebih tepatnya diabaikan. Cerita kedua, kakak. Kakak-kakak kita adalah orang baik, meski sering mengerjai dan jahil tetapi sesungguhnya sayang. Kakak kita sering pura-pura menasehati dan membujuk kita merahasiakan kesalahannya dengan iming-iming. Menikah, setelah menyelesaikan sarjana, setelah bisa mencari uang, pun rajin menceramahi kita untuk tidak buru-buru menikah. 

 Teman-teman SMA saya banyak. Kisah mereka menikah pun tentu juga banyak. Dahri, kawan SMA saya menikah pas tamat, pacarnya banyak dan berganti-ganti sejak dulu, cantik-cantik pula, wajar karena ia memang gagah dan berkesing atletik, tapi justru menikah dengan janda beranak satu yang merupakan seorang biduan. Ia membangun bengkel motor, gulung tikar, dan akhirnya berketetapan hati menjadi pengusaha elekton. Alimustafa, di zamannya paling ganteng di kelas, banyak cewek yang naksir, tetapi cool dan membiarkan dirinya digoda-goda. Sekarang, ia malah belum menikah dan memilih hidup membujang dan berikrar tak pernah mau menikah, entah bagaimana ceritanya, santer terdengar, ia pernah punya pacar tapi menikah dengan pria lain, bertahun ia bersedih dan membuang diri ke rantau. Pulang-pulang, langsung membawa mobil crv keluaran terbaru, kabarnya dia menjadi pengusaha kelapa sawit. Kedatangannya menjadi buah bibir. Cua jadi ustadz terkenal, video ceramahnya banyak di youtube dengan ratusan ribu viewer, istrinya bercadar, anaknya telah tiga. Dia adalah orang yang saya kagumi sejak dulu. 

 Marsa, tak pernah kita melupakan Marsa. Bibirnya, matanya, lehernya, betisnya, jemarinya, rambutnya, giginya, tasnya, sepatunya, pernah membuat jiwa raga kita menerjang. Kalau iman kita lagi gemulai, meradang kita dibuatnya, seingatku dulu, beberapa teman pernah menyatakan cintanya, ada yang ditolak ada yang diterima. Termasuk yang diterima adalah, kawan saya iskandar, herman, sardi, dan termasuk yang ditolak adalah dahri, baso, nurung, harfi. Sementara saya, cua, sadikin, dan ramli temasuk orang yang rajin menundukkan pandangan, heheheh. 

Sekarang marsa sudah menikah dengan seorang polisi dan diboyong ke jakarta, ketika saya menjumpainya suatu kali, dia masih cantik meski sudah tak mengenalku. Nasib orang tidak ada yang tahu. Barangkali karena pengaruh teknologi, atau pergaulan yang di masa kami sudah mulai bebas, ataukah pengaruh sinetron yang saat itu mulai laris, ataukah barangkali prinsip agama yang sudah mulai keluar pelan-pelan, banyak teman tidak menikah baik-baik, kawin lari, kawin cerai, pacaran hingga nikah terpaksa, di telikung suami, dikhianati istri. Ada pula, berubah dan hijrah semenjak tamat SMA, dulu seksi sekarang berhijab besar. Maklum, SMA kami dulu termasuk yang membebaskan ukuran pakaian siswa cewek. Saya, termasuk yang stagnan dan begini-begini saja sejak dulu, bahkan menjadi barisan sisa yang belum menikah. Kini, setelah 11 tahun masa berlalu dan masing-masing mengukir kisah, beberapa teman malah menghilang kabarnya setelah tamat. Kalau saya pulang ke kampung, terkadang saya menghindar untuk berjumpa muka dengan teman-teman SMA saya, pura-pura tidak kenal, bahkan tak menjawab chat di media sosialnya. Belakangan ini, saya rasa malu hati belum menikah, hehehe... 

 Teman-teman, ada yang menganggap saya terlalu pemilih, ada yang bilang cuek. Saya rasa semuanya itu tidak benar. Sunnatullah dan qudratullah tetap berlaku, dalam hidup semua orang. Sama-sama berusaha, Allah yang tentukan takdirnya. Di usia yang sama, ada yang telah dua kali, ada yang telah cerai, ada yang sedang mengusahakan yang kedua, ada yang malah masih harus banyak-banyak berpuasa, hehehe... Keadaan keluarga pun berbeda-beda, ada yang dipaksa setengah mati keluarga agar mau menikah, ada yang malah lama menanti. Saya tahu, ada berjuta kisah seperti ini di dunia. Kenangan dan masa lalu, kalau kita mengingat-ingatnya beroleh tempat penting di hati kita. Ada masa-masa yang selalu ingin kita ingat, ada pula yang setengah mati kita ingin lupakan. Waktu berlalu dengan gegas, telah berpuluh kisah lain yang telah diukir ditempat lain. 

Saya sering merenung dan mempehatikan, perjalanan hidup ini tak ubahnya laboratorium perilaku, masalahnya itu-itu saja, hanya kerumitan masalahnya yang lebih seiring berlalu zaman. Ada yang setengah mati mau jadi orang kaya, setelah kaya malah tambah sengsara hidupnya. Dulu, cewek-cewek yang kita kenal cantik dan seksi, malah menikah dengan orang yang menggampangkan perangai. Pacaran yang sewaktu SMPku masih tabu, SMA malah laris manis, dan orang-orang yang dulu banyak pacarnya sekarang istrinya malah bikin pusing, tidak istimewa, hehehe... Dulu kita yang curi-curi waktu agar bisa main hape teman, sekarang malah setengah mati kita berjuang agar tidak main hape. Dulu kalau mau nonton tivi, nebeng kita di rumah orang, sekarang malah ketika tivi ada di rumah, sengsara kita dibuatnya. Banyak orang malah sudah tak mengizinkan tivi ada di rumahnya. 

 Saya sering berpikir, kalau saya nanti kaya beristi cantik, terus kenapa? Siapami nanti yang bilang wow. Kalau rumahku besar, mobilku banyak, untuk apa? Kalau semua orang memuji dan menyanjungku, trus kenapami? Belakangan, barulah saya mendapatkan teori “tujuan dan keperluan”. Bahwa dalam pejalanan ini, ada tujuan ada keperluan. Tujuan menjawab untuk apa kita di sini, keperluan tentang sekedar butuh apa kita di sini. Hidup haruslah mengutamakan tujuan, mencukupkan keperluan. Menikah termasuk tujuan atau keperluan? Entahlah, heheheh... 

 Ujian yang selalu ada dan berkelanjutan, masalah yang akan selalu ada dan berkelanjutan. Ada yang diuji dengan pekerjaan, ada dengan mertua, ada dengan anak yang berantakan, ada pula dengan istri yang susah diatur. Bahkan yang banyak tidak lulus, kalau diuji kejayaan dan kekayaan.... dan terkadang yang peduli agama, justru yang paling berat ujiannya. Kok begitu yah? Ya tentulah, karena kita masih di dunia. Ini memang tempatnya, seperti inilah konsep cintaNya. Menikah itu ujian juga? Ya, tentulah.... heheheh Kita bersyukur, bahwa masih sempat kita mengingat dan menghormati masa silam. Apapun dan seperti apapun kisah teman-teman, mari kita bersyukur dan berbahagia. Buat yang masih jomblo seperti saya, kita hormati pemberian Allah ini, buat yang sudah menikah, juga hormati pemberian Allah itu. Selamat berbahagia, teman-teman.... Dna (2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar