Pages

Jumat, 20 November 2015

Salam dari Makassar, Adik-Adik Maratua!

“Apakah ini gerangan yg sedang kurasakan?”

Ada suatu waktu saya merasa menjelma seorang pria yang tergila2 pada perempuan tionghoa bernama a ling dalam lagu crhistopher nelwan. Dunia seperti berputar, badanku gemetar. Seperti ada kupu2 menari, dalam dadaku. Tapi tidak, ini bukan cinta yang seperti itu, ini bukan kegilaan naïf itu. Ini tentang kenangan, sebuah lagu yg mengingatkanku pada satu episode terindah dalam hidup saya, pada sebuah tempat yang jauh, di pelosok Kalimantan.

Dan di malam ini, di malam sunyi ini, saya ingin sekali mengatakan…. bahwa saya rindu, sangat rindu, pada adik-adik saya di Maratua. Lalu saya menangis, benar-benar menangis. Laki2 memang boleh menangis, boleh bersedih, boleh tersentak, atas sebuah kenyataan pahit. Saat saya tersadar pada satu hal, bahwa jarak, saya dan kalian, telah jauh, betul2 jauh. Tidak ada lagi acara2 mengajar, tidak ada lagi kegiatan2 di dermaga, main2 volly di lapangan, dan jalan2 ke banyak tempat wisata. Aih, kalau rindu itu datang. Saya jadi benci perpisahan, sangat benci.

Saya mencintai kalian, bukan sebagai ikal mencintai a ling. Tapi seumpama ibu mus, pada si ikal. Di usia kalian yang menjelang remaja, yang orang bilang masa labil-labilnya dan belum punya pegangan hidup agar tak terombang-ambing, belum ada yang bersedia menjadi peganganmu, bahkan oleh dirimu sendiri. Selama ini tidak ada yang mengajarimu tentang realnya hidup, ilmu terkini yang kamu butuhkan, yang real, mendesak, dan sangat kamu butuhkan sekarang juga. Di daerah jauh dan pedalaman begitu, yg figure contoh positif belum banyak, yang mencontohkanmu harus bagaimana agar kamu baik2 saja saat sedang jatuh cinta, harus bagaimana kalau sedang bosan, sedang jatuh, atau diam-diam galau dan cemas tanpa sebab. Tidak, kamu mesti belajar sendiri, dunia tak mengajarkanmu, belum! Tapi selalu kukatakan dulu. jadikanlah segalanya adalah guru, tempat belajar. Temukanlah guru sebanyak2nya dalam hidup. Sering2lah kunjungi hatimu, temuilah ia dalam malam. Bacalah buku-buku terbaik, temukan teman2 terbaik, dan teladanilah hanya org2 baik. Tak pernah ada mantan guru dalam hidup, itu bukan jabatan, dia panggilan hati, pekerjaan jiwa.

Setiap orang memiliki cara untuk mengenang, setiap orang mempunyai saat2 tertentu dikepungi rindu. Lalu, seperti apa saya dikenang? Bagaimana saya dirindu? itu bagian personal kalian. Tapi bagi saya, ber-sm3t di maratua adalah 1 tahun episode kisah terindah dalam hidup. Sbuah kisah petualangan anak muda dengan segala dimensi yang kompleks. Memberiku segala proses yg dibutuhkan. Terimakasih atas setahun yang indah. Jauh di dalam lubuk hatiku, saya sangat menyayangi kalian. Tak pernah cukup segala ilmu, tak pernah cukup segala senyum dan cinta. Segala kisah bisa kita simpan, untuk kita ceritakan suatu nanti, saat berjumpa lagi, nanti.

Antara Makassar-Maratua, terbentang jarak. Jauh, jauh ke utara. Kesana segala rindu berarak, segala haru mengarah. Tak semua pesan sempat di balas, atas pertanyaan dari  kalian, yang hampir selalu sama: Apa kabar kak? Kapan kembali lagi ke pulau Kak? Malam ini, kujawab, dengan segala rindu dan haru bahwa saya Alhamdulillah selalu sehat, masih selalu baik2 saja, dan insha Allah, kalau Allah menghendaki, suatu nanti akan kembali ke maratua, meski sekedar jalan2, meski belum tau entah kapan. Salam dari Makassar, baik-baiklah selalu di sana, di pulau indah kalian!

Sincerely love, Dhito Nur Ahmad!

Andai Dia Masih di Sini


Alhamdulillah, tunai sudah impian keluarga kecil saya. Sebuah impian kecil, tercipta sejak dulu, didoakan sejak lama, yang diharapkan almarhum ibu. Sangat besar keinginan beliau mewujudkannya dahulu, bahkan saat beliau masih sakit, beliau (masih kuingat) pernah membisiku satu kalimat. Mengungkapkan kekhawatirannya, kalau-kalau tak sempat menikahkan anak tertuanya. Itu tidak boleh, itu dosa. Dia ingin melihat cucu, punya menantu, berbesan.

Tapi aih, takdir, atau sesuatu yang telah diatur sang maha pencipta berkehendak lain. Saya tidak menyesalinya, (sekarang telah) merasa tak perlu terlalu lama memikirkannya, merasa tak perlu memarahi takdir. Bahkan itu, impian kecil itu, diam-diam menjadi impian saya juga. Dan hari ini, alhamdulillah. Sekarang, di alam sana, melalui cermin ajaib yang diberikan Allah. Pasti ibu telah menontong, semoga bahagia ia.

Ibu menganggapku sudah laki-laki, sudah sanggup menjaga orang, terutama diri dan saudara perempuan saya.Tapi aih, saya masih sangat malu. Barangkali ibu tengah geleng-geleng kepala di alam sana… Untuk diri saya saja belum bisa, malah dipercaya utk orang lain. Beliau… yang tidak sekolah, tapi paham segala gelagak, tahu sakit anak muda seperti saya. Membuat saya kini berpikir-pikir, jangan2 itu semua benar…. jangan-jangan selama ini saya tdk berkembang, karena terlalu banyak kemudahan? Terlalu banyak fasilitas? Bahkan sudah mulai percaya pada hape yang smart tapi isi kepala makin tidak? Jangan-jangan benar….. Saat semua sudah tercukupi, kita malah menggampangkan perangai, kita malah mengabaikan agama… Dan justru sulit sekali menemukan alasan utk berbahagia. Aih, hidup, takdir, atau apapun yang ada padanya, memabukkan!

Sekarang, setelah musim hujan itu usai, setelah saya benar-benar bisa menerima kepergian. Saya kadang merasa, cinta kami itu, memang perlu dididik dengan jarak. Agar dia semerbak suatu nanti, karena tak mungkin di dunia, siapatahu bisa disurga. Itu…. bukan karena islam menaruh ibu sebagai orang nomor satu ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya. Tapi memang karena, ah- seperti kamu tahu-, laki-laki mudah sekali ditaklukkan dengan kelembutan. Ibuku lembut sekali, seperti -(*ini yang ingin sekali saya katakan) –, mirip sekali dengan besan perempuannya kini. Maka kubayangkanlah kini, pikiran berandai-andai yang hadir begitu saja di pikiranku: Andai beliau masih di sini. Betapa sebuah keakraban besar 2 keluarga akan tercipta dengan hebat.

Saya tahu beliau ada, melihatku, mengetahui semua yang kulakukan, mengamati perkembangan ilmuku, perilakuku, dosaku, juga kebaikanku. Seperti kata Uzt.Felix: Selama tak bersama, kalau memang ada cinta, gantikanlah canda dengan do’a, isilah malam dengan munajat, agar kelak bisa berjumpa, kalau tidak di dunia, siapatahu bisa di surga.

Daan… saya ingin sekali berucap terimakasih. Keluarga besar saya, yang membantu, mendukung, mendoakan. Mungkin saya saja yang memang mudah terharu, (karena ini memang) mengharukan! Islam, mengenal menikah sebagai acara sakral penyempurna agama, pencipta bahagia dan keturunan yang diberkahi. Menjadikannya ibadah, yang mesti dimudahkan jalannya, serta dalam proses yang sederhana. Semoga pernikahan ini diberkahi, dijadikan penentram jiwa buat keduanya, dijadikan sakinah mawaddah marahmah. Aamiin!