Pages

Minggu, 25 Mei 2014

Paham!


Oleh: Dhito Nur Ahmad

Apa yang kau pahami tentang senyum yang terpasang di pinggir jalan?
Apa yang kau pahami tentang pepohon yang berbuah poster?
Apa yang kau pahami tentang artis-artis dari Jakarta?
Apa yang kau pahami tentang kotak-kotak  suara?
Apa yang kau pahami tentang gugatan ke MK?
Apa yang kau pahami tentang demokrasi?
Lalu                         
Apa yang kau pahami tentang Tuhan?
Bangkala Barat, 2014

Selasa, 06 Mei 2014

Kehadapan Liku Camba

Oleh: Dhito Nur Ahmad
Ke hadapan aliran Liku Camba, aku menggugat. Kemanakah kini anak-anak menghabiskan masa bermainnya? Dimanakah jernih dingin aliran sungai yang dahulu begitu indah? Juga nyanyi riang beburung di atas dahan? Kemana?
Di pinggirannya kini aku berdiri. Memandangi riak airnya yang dipermainkan angin, mengalir menembus celah lanra yang tumbuh liar di tepi sungai. Mendengarkan suara Ibu yang dahulu melarangku berenang terlalu jauh ke dalam sungai.
“Jangan jauh-jauh, Nak!”
Atau perkataan. “Tidak Boleh!”
“Kenapa, Bu?
“Airnya dalam, berbahaya!”
“Saya jago berenang Bu, tak usah khawatir.”
Kukatakan itu pada Ibu. Lalu, tanpa menunggu beliau menyahut lagi, aku segera berlari ke pinggir sungai, bergabung dengan teman-teman lain. Melompat ke sungai, berenang, bermain giri’-giri’. Itulah surga kenanganku, peristiwa yang tak pernah kulupa, bahkan selalu kurindukan sampai sekarang.
Sekarang, anak-anak sudah tak bersedia mandi-mandi sore di situ. Entah mengapa. Mungkin tak tertarik, atau aliran sungai itu tak lagi memesona mereka. Entah. Pun, telah banyak yang berubah. Di pinggiran sungai itu, pernah tumbuh pohon asam, lebat. Saking lebatnya, sebagian tubuhnya dikujurkan ketengah sungai dan menutupi separuh jembatan bambu yang melintang. Dulu di sanalah anak seumuranku menjadikannya tempat berlompat ke air, bermain giri-giri, sembari menunggu kerbau selesai mandi di bagian bawah sungai.
Sekarang orang-orang hanya lalu-lalang di situ. Tak pernah lagi kulihat ada anak bertelanjang dada, bermain giri’-giri’, atau sekedar singgah lalu melompat ke sungai. mereka hanya lewat, kebanyakan telah dengan mobil atau motor mereka, tak singgah, tak berminat. Paling-paling hanya melirik, melepaskan pandangan sejenak, berlalu, kemudian lewat lagi, melirik lagi. Begitu saja seterusnya.
Di sinilah kini aku berdiri. Mendengarkan Liku Camba bercerita. Apa yang ia katakan? Tidak ada. Tak terdengar. Hanya alirannya yang sedikit mempermainkan ingatan.
“Saat peradaban tumbuh, anak-anak lebih sibuk dengan tv, hp, dan playstation. Dan sungai, kehilangan rerimbun pohon, anak-anak, kerbau-kebau, dan ibu-ibu yang mandi dan mencuci baju.”
Begitu ceritanya.
Zaman telah memperlakukannya dengan kejam. Tidak lebih dari perampok, mengambil semua jejak kejayaan: saat airnya masih mengalir jernih, dan disanalah anak sekolah mandi pagi, lalu lewat saat pulang-pergi sekolah. Di sana pulalah para warga menangkap ikan, mencuci baju, memandikan kerbau. Bisa dibilang aktivitas warga tak terpisahkan dengan sungai ini.
“Sekarang, apa yang bisa dimaknai dari hp yang canggih, tv yang mengabarkan kekacauan, sawah yang ditumbuhi beton, dan playstation yang menggantikan petak umpet?”
“Tak lagi ada orang yang ngobrol tentang hujan semalam yang sangat deras, tentang tanaman padi yang disinggahi banyak burung pipit, atau tentang kerbau Daeng Sijaya yang kemarin melahirkan anak kembar dua. Zaman telah berbeda, orang lebih banyak bercerita tentang si Anu kemarin yang diputuskan sama pacarnya, tentang kawin cerai para artis, tentang pemilu yang sebentar lagi, tentang demonstrasi ricuh di ibu kota, atau tentang harga kedelai yang melambung.”
Ke hadapan aliran Liku Camba kuadukan semua itu. Apa yang ia katakan? Tidak ada. Tak terdengar. Hanya alirannya yang sedikit dipermainkan angin.
***
Masih segar di ingatan. Sepuluh tahun lalu, wajah kampungku sebagian besar masih bentangan sawah, sungai, dan hutan-hutan kecil yang melingkar. Di ujung timur, tepatnya di sebelah kanan tak jauh dari rumahku, masih membentang gagah Liku Camba, sebuah sungai jernih yang membentang dari Lompobattang sampai ke Teluk Bangkala. Di pinggiran sungai itulah saya menghabiskan masa kecil. Kusadari betapa beruntungnya diriku masih sempat menikmati kampungku yang indah dan subur. Di sanalah saya pernah keluyuran bersama teman sepermainan, berlayar dengan perahu bambu dari Silanu sampai ke Batuloe, bermain petak umpat di rawa-rawa, menjebak tekukur di pinggiran hutan. Jika siang tiba kami akan bermain di sungai, dan pulang dengan membawa ikan gabus.
Sekarang, tak ada lagi wajah Liku Camba yang gagah dan damai itu, dia telah berubah dan tak nyaman lagi ditempati bermain dan mandi-mandi. Pepohonan pun kian habis. Sawah dan rawa-rawa telah ditumbuhi rumah dan gedung bertingkat.
Hutan jati yang kukenal membentang sepanjang Bukit Leang-leang. Kini telah menjelma kebun jagung dan rumah-rumah. Kuingat betul, dahulu di sanalah biawak bersarang. Di pucuk pohon jati itu banyak sekali burung jalak dan bukkuru’ yang tinggal. Saya terkenang masa-masa berburu dahulu, di sana kami sering menangkap burung dengan menggunakan ketapel dan perangkap yang terbuat dari anyaman bulu ekor kuda. Terkadang juga hanya mengejutkannya yang sedang bertengger di pucuk pepohon, lalu terbanglah mereka bersamaan, memenuhi langit kampungku yang biru bersih. Sekarang, tak pernah lagi kulihat rombongan burung yang terbang di langit  kampungku.
Tak terasa waktu telah lama berjalan. Mengalir begitu saja, seperti aliran Liku Camba itu. Bertahun-tahun kutinggalkan kampungku lantaran melanjutkan pendidikan di kota. Bertahun pula kurindukan surga kenangan masa kecil yang pernah kuukir di kampung ini. Masih teringat nasehat Daeng Nuntung dahulu, juga nasehat para warga yang lain.
“Mandilah di sungai, tapi jangan pernah buang hajat di sana, Nak!”
“Kenapa Daeng?” tanya seorang teman.
“Sungai adalah sumber kehidupan kita, kebersihannya harus dijaga.” Jawabnya meyakinkan.
Pun Ibuku, pernah menasehatiku.
“Nak, jagalah sungai ini. Tak usah kau pelihara layaknya tanaman. Biarkan saja ia mengalir, pastikan ia bersih” begitu nasehatnya hari itu.
Jadinya, sepanjang ingatan, sungaiku dahulu sangatlah bersih. Tak pernah ada sampah plastik yang mengapung di atasnya, apalagi kotoran manusia. Paling hanya dedaun pohon, atau busa sabun yang berasal dari ibu-ibu yang mencuci.
Tapi kini, kesadaran yang seperti itu telah mulai hilang. Geliat zaman telah berhasil merampok kebiasaan bersih mereka, barangkali.
“Saat peradaban tumbuh, anak-anak lebih sibuk dengan tv, hp, dan playstation. Dan sungai, kehilangan rerimbun pohon, anak-anak, kerbau-kebau, dan ibu-ibu yang mandi dan mencuci baju.” Aliran Liku Camba bercerita.
Aku menggugat, ke hadapannyalah kini aku menggugat.
Bangkala Barat, 20 Maret 2014