Pages

Kamis, 27 Desember 2012

Puisi Untukmu Kawan....


Puisi untukmu kawan
Semoga....... kau senang, kau bahagia
Nanti, aku ingin berkunjung ke kotamu
Semoga kau masih mengenalku

Puisi untukmu kawan
Kubuat hanya untukmu saja
Semoga.... kau senang kau bangga
Nanti, semoga masih ada waktu untuk bercerita
Tentang waktu yang mengalir ditepian hari kita

Puisi buatmu kawan,
Semoga.... kau senang kau riang
Nanti, kita masih akan bernyanyi bersama
Pada bayang indah kenangan
Biar melipur dan menusuk hati

Barangkali nanti, takkan lagi ada puisi tentang kita, kawan
Karena hanya sepi yang akan menari di hari kita
Dan angin yang takkan lagi membawa kabar hidupmu
Pun hari yang tak menyediakan waktu untuk bersama
Meski hanya bercerita, tentang kenangan di lorong kampus kita

Kawan, di sinilah, di kampus kita
Kita pernah bersama mengeja kata cinta
Kau yang mengajarkanku makna kebersamaan
Yang membuatku jatuh cinta pada kesepian

Puisi terakhir untukmu kawan
Semoga kau senang, kau bangga
Bahwa kita pernah akrab di sini
Di tepian kampus kita, dalam remang pinggiran waktu

Rabu, 26 Desember 2012

Lagi.... Tentang KKN-PPl


Oleh : D.N. Ahmad
Kesunyian jualah yang akhirnya menetaskan rindu. Kebersamaan, canda, dan kebahagiaan, barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara dan tak kembali. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu?
Sore, tanggal 25 April 2012, aku merasakan sebuah gemuruh yang resah dari kedalaman hatiku, dan hari ini, lagi-lagi aku merasakan gemuruh itu. Kenangan. Ya, lagi-lagi tentang kenangan, sesuatu yang telah membuatku menjadi manusia paling menyedihkan di bumi ini. Kenangan itu, seperti batu kerikil di pinggir jalan, liar, kotor, selalu tak mau lepas di ingatan dan selalu tak sabar untuk ingin dituliskan. Maka aku, dengan susah payah harus mengumpulkan ingatan untuk menuliskan semuanya.
Rindu dan kenangan, seperti saudara kandung, ah bukan, lebih tepatnya saudara kembar, identik, serupa, namun apabila diteliti secara seksama ia tak sama. Bagi seorang kekasih, rindu adalah kegalauan hati ingin cepat-cepat berjumpa dengan kekasihnya, namun bagiku, bagi seorang mahasiswa yang hampir sarjana, rindu itu adalah berpacu dengan waktu, memburu dosen biar wisudah secepatnya dan terlepas dari belenggu universitas yang memenjarakan. Ah tidak, aku tidak ingin bercerita tentang kerinduan itu. Aku ingin bercerita tentang kerinduan seorang mahasiswa KKN-PPL yang telah lama meninggalkan lokasi KKN-PPLnya. Namun apapun itu, rindu tetap identik dengan kesedihan. Semenjak kumeninggalkan kota mereka, rindu itu adalah seekor raksasa yang betah berlama-lama di hatiku, ia menginap, mengganggu, tak mau pergi, jahat.
Malam ini, ketik aku menuliskan cerita ini. Anggap saja aku tengah mengusir raksasa itu dari hatiku. Namun hari-hari berlalu, semua upayaku untuk mengusirnya selalu tak berhasil. Jadilah aku seperti ini, begitu menyedihkan.
Nyatanya, aku selalu rindu, rindu bercanda lebih seru lagi dengan mereka, rindu tertawa lebih lama lagi, rindu bercerita lebih panjang lagi. Aku rindu dengan mereka yang menyapaku dengan sapaan “Kak”, rindu dengan orang yang kusapa dengan “Dek”. Aku rindu sebuah pagi di mana aku selalu mandi paling awal, sholat subuh, jalan-jalan ke pangker sembari berharap aku bertemu seseorang yang mengenalku di sana dan menyapaku dengan “Kak Dhitoooo....”. Aku rindu sebuah hari dimana aku menghabiskan sebagian hari dengan mengajar di kelas sambil bercanda. Aku rindu dengan sebuah sore dimana aku bermain takro bersama dengan adek-adek, atau sesekali bermain basket di halaman sekolah. Aku rindu menghabiskan hari dengan berjalan-jalan ke lejjae, pantai wakka, bilariase, dan lumpue. Aku rindu pada puisi-puisi yang mereka tuliskan khusus buatku. Aku rindu...... Dan dari serentetan kerinduan itu hal apakah yang bisa kuambil? Toh sekarang aku hanya bisa rindu dengan kerinduanku.
Ya, malam ini, kerinduan tentang kisah KKN-PPL di kota pangkajene sidrap tiba-tiba saja memuncak di kepala. Sebuah kisah sederhana, kisah kebersamaan yang terjalin secara sederhana, namu menghasilkan sebuah kenangan yang tidak sederhana, yang melahirkan sebuah pengalaman mahal yang bernama inspirasi. Disana cukup banyak kisah terukir, antara aku dan teman-teman seposko, antara aku dengan masyarakat kota pangkajene, antara aku dengan tuan rumah poskoku (Kak Andry, Pak Bahar, Ibu Muti, Kak Hasni, tak lupa pula dua adikk yang lucu Dillah dan Tiara), dan yang tak terlupakan kisah antara aku dan adik-adikku di SMP Negeri 3 Pangsid (Spentreed).
Di spentreed, rasanya aku selalu bahagia. Aku selalu lupa cara untuk bersedih. Disanalah baru kunikmati hidup tanpa diatur, bebas serupa burung-burung. Bisa bicara sebebasnya. Di waktu istirahat aku selalu nongkrong di lab. IPA yang disediakan sekolah sebagai tempat istirahatku, dan mereka adik-adikku selalu saja ada yang datang menemani, berbicara sebebasnya, bercanda sebebasnya, jika mereka iseng mngerjaiku dengan bahasa bugis maka akupun pasti mengerjainya dengan bahasa makassar. Hahaha... saat seperti itu kami pasti saling tertawa. Aku ingat, seorang siswa pernah menanyaiku dengan beruntun, “Kak, apa sih gunanya itu pacaran?, pernahki berpacaran? Sama siapa kak, siapa namanya pacarta?” hahaha tahukah? Aku betul-betul kebingungan menjawabnya. Tapi tidak, aku tidak ingin mereka berpikiran bahwa aku miskin ilmu tentang berpacaran. Maka akupun menjawab sekedarnya bahwa aku hanya memiliki pengalaman hampir berpacaran, atau keakraban yang sangat dan orang identikkan berpacaran, jadi tentulah saja aku tidak tau manfaat berpacaran aku hanya tamat di teorinya saja. Dan di saat seperti itu, mereka semua selalu tidak percaya dengan ceritaku.... “iyya kaaaaahhh.....???? ” katanya dengan... ah, kenapa jadi manis sekali?!
Di spentreed, banyak sekali cerita terukir. Tentang latihan upacara bendera di sore hari, tentang latihan kasidah di poskoku, tentang persiapan acara maulid di sekolah, tentang bermain basket bersama, upacara bendera bersama, tentang pengalaman pertama makan makanan khas sidrap, tentang........ mereka, adik-adikku, yang memberiku pengalaman pertama memimpin, membuatku mengerti kerja tim dan kebersamaan, merekalah yang mengajarkanku makna kata “kita” dan “kami”.
Tapi, ah.... lihatlah hari ini, tak ada yang tertinggal kecuali cerita. Kenangan kebersamaan yang selalu tak ingin bosan untuk dikenang. Aku selalu ingat kenanganan saat terakhir aku masuk di kelasnya. Siang itu, foto-foto pahlawan yang terpajang di tembok yang menjadi saksi, saksi untuk semua tawa, pilu, tawa, haru, luka, dan segala perasaan aneh yang pernah singgah di hati, menjelma seekor raksasa yang menetap dan tak mau pergi di kamarku.  Foto-foto itu, begitu murung, sangat murung, semurung langit pangkajene yang sedang berencana hujan.
Dan akhirnya, waktu selalu menepati janjinya, bahwa tak ada yang lebih pasti selain perpisahan. Memutus cerita-cerita kami di spentreed, aku kembali ke kotaku. Melanjutkan pendidikanku, dan menggiringku ke rutinitas kampus yang makin hari makin bikin sakit kepala. Dan akhirnya kesunyian jualah yang akhirnya menetaskan rindu. Kebersamaan, canda, dan kebahagiaan, barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara dan tak kembali.
Hari-hariku selalu sepi, sunyi, sepi, sunyi, sepi.... hanya hapeku yang tak pernah sunyi, pesan dari kalian, adik-adikku yang selalu menanya kabar, kapan datang lagi ke sekolah, kubalas saja sekedarnya bahwa aku selalu baik-baik dan semoga nanti Allah masih menyediakan waktu buat kita berjumpa lagi.
Adik-adikku yang tercinta, tetaplah seperti ini, kenanglah kami kakak-kakakmu. Berilah sedikit ruang di hatimu untuk kami, sedikit saja. Untuk nanti, kita tempati saling bercerita jika bertemu, untuk nanti saling melepaskan kerinduan. Berdoalah Adik-adikku, semoga kami semua baik-baik, demikian jualah yang kulakukan untukmu. Meski kini kita tak lagi bersama, tapi kita beradik-kakak selamanya, kita bersama selamanya, bersama dalam kerinduan yang sama, sampai nanti, waktu yang menuntaskan semuanya. Terimakasih atas hari yang indah, kebersamaan yang indah, dan kerinduan yang....??
Malam ini hujan turun, deras, deras sekali. Aku tahu, aku telah jatuh cinta, dan inilah cinta sejati itu, cinta dengan segala kegilaannya, dengan segala kerinduannya.
 Makassar, sebuah malam di bulan Mei

Senin, 17 Desember 2012

Mencintai dengan Biasa








*Ambillah hikmah walau dari mana asalnya..
Aku tertegun menatapmu gadis.


Menangisi seseorang lelaki yg mematahkan hatimu..


Ingin ku marah dan meneriakimu..

“Tak perlu seperti ini, jangan buang percuma air matamu”
tapi aku tak bisa menambah sakit hatimu..
Dan ku hanya terdiam mendengar semua keluh dan sakitmu..

Cinta, sebuah rasa yang tak mampu ku cerna.
Datang dan pergi tanpa kau duga..
Namun ku yakin itu tetaplah anugrah..
Karena tanpa cinta hidup adalah derita..

Aku pun tak menampik betapa indah cinta dan mencinta.
Entahlah, ku tak mampu menggambarkan dalam untaian kata, semua hanya hamparan rasa..
Namun, haruskah, Saat rasa itu menyelimuti, matamu kau butakan..?
Ketika indahnya merekah, haruskah nurani di hinakan..?
Tidak.. Jangan begitu..

Bagiku, mencintaimu cukuplah dengan biasa..
Tak ada kalimat rayu menghibah..
Tak ada harapan tinggi membumbung..

Bagiku jatuh cinta padamu cukup dengan biasa, sangat biasa..
Ku tak butuh ungkapan rasa yang mampu menumbuhkan ranjau didada..
Tak perlu kalimat pujian yang menyemai riya’ di hati..

Ku mencintai dangan caraku yang biasa..
Karena ku tahu akhirnya nanti takdir Ilahi yg terjadi..

Karena ku mencintai dengan biasa,
maka ketika ku tahu kau jauh dari sempurna, maka bagiku itu adalah wajar..
Ketika ku dapati kau dalam salah, maka ku tahu kaupun manusia biasa..

Ku mencintai dia yang biasa..
Ku tak akan pernah berharap kau seorang sempurna, karena akupun jauh dari sempurna..
Ku tak akan terpikat pada yang merasa dirinya luar biasa..

Ku hanya mencintaimu karena kau begitu biasa..
Yang ku cinta bukanlah bidadari karena akupun tak sesuci malaikat..

Mencintai dengan biasa,
maka ku tak mau ada khalwat yang menjebak..
Tak ada tatapan rindu membuncah..
Tak ada ungkapan cinta merayu..
Tak akan ada ikatan semu sehina pacaran. Apalagi yg dibumbui dgn ‘islami’..
Tak ada pertemuan sebelum ijab di lontarkan..

Agar, kiranya takdirNya tak menyatukanmu denganku..
Maka akan ku tanggapi dengan biasa, sangat biasa..
Tanpa air mata..
Tanpa rasa sesak di dada..
Tanpa benci yg menggumpal..

Mencintai dengan biasa..
Cukup disini, di dalam hati,
tak perlu ada yang tahu,
bahkan kau pun tak perlu tahu..

Mencintai dengan biasa,
dengan menitipkan cintaku padaNya Sang Pemilik cinta..
Sang pengatur segala..
Hingga saatnya nanti, jika Dia berkenan menyatukan kita dalam indahnya ikatan suci..

Maka ketika ijab telah terlontar..
Ketika hijab telah tersingkap..
Ketika cintamu telah memilihku..
Maka, aku akan mencintaimu dengan luar biasa..

Pesan dari Ayah


Diadaptasi dari: Nunu Nurulhasanah Muhsinin

Nak, ayah sengaja membawamu kesini karena  ayah mau bicara serius sama kamu, ayah ingin memastikan kepastian masa depan kamu, kepastian keputusan hidup kamu, dan kepastian mimpi-mimpi kamu.  Sekarang, kamu sudah baligh. Kamu relatif sudah bisa membedakan yang benar dan yang salah. Tapi kamu masih terlalu muda buat kenal dunia secara luas, seluas laut dan langit di depan kamu itu.

Nak, apa kamu pernah menerka kenapa ayah sangat membatasi kamu nonton TV, kenapa ayah sering potong kabel TV yang baru dibeli ibumu? Apa kamu tahu kenapa ayah sering ajak kamu menjauhi keramaian, kenapa ayah sering banting pemutar musik kamu? Kamu tahu, nak? Itu karena ayah sayang kamu dan tak mau kamu jadi orang-orang bentukan media mainstream yang tak islami.

Pada umumnya mereka itu membuatmu tahu dalam ketidaktahuan. Kamu jadi tahu cara membuat orang ketawa, cara supaya dunia melihat kamu, cara berbahasa yang up to date, dan cara tetap ikut tren. Kamu jadi tahu si artis anu lagi bunting 7 bulan. Kamu dijejali dengan informasi-informasi tak penting, sama tdk pentingnya artis anu baru ngerayain ulang tahunnya di Food Court Pondok Indah Mal.

Tapi nak, kamu tak pernah diajarkan harus gimana kalau kamu mimpi basah, apa yang harus kamu lakukan kalau mau nikah tapi belum siap. Kamu gak diajarkan bahwa onani itu masuk dalam tujuh dosa besar. Kamu tak diajari cara milih calon pasangan hidup yang benar, apa kriterianya.

Kamu jadi tahu batasan HAM tapi tidak hukum islam. Kamu jadi tahu cara ngitung PPn, tapi ngitung zakat kebun kamu sendiri saja bingung. Kamu jadi tahu di Bangladesh itu orang kebanjiran terus, tapi kamu malah tak tahu komplek sebelah kita juga kebanjiran. Siaran setengah jam pagi-pagi itu jelas kurang nak. Bahkan kamu sama sekali tak dibuat mengerti cara baca Quran. Bedain “fa” sama “qof” saja tak bisa, gimana mau paham, anakku?

Kamu nanti malah jadi bingung, di TV diajarin menikah sama anak di bawah umur itu bejat tak ketulungan, apa kamu mau bilang Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah umur 16 tahun itu bejat? Di TV diajarin makan jilat tangan itu tak sopan, tapi di hadits kamu temui sunahnya itu malah jilat tangan. Di TV diajarin kalau ketemu orang itu salaman, padahal di hadits yang kamu pelajari, lebih baik kamu ditusuk besi panas daripada bersentuhan dengan bukan mahrom. Di TV disiarkan bahwa lesbi dan homo itu manusiawi dan sudah lazim, tapi di hadits, mereka itu layak dihukum mati.

Ayah paling takut kamu mengarah ke logika-logika praktis begitu. Ayah takut kamu menomorduakan Quran Hadits karena tak logis menurut kamu. Camkan ini nak, agama itu bukan dibangun dari logika, dan agama itu jauh dari kelogisan-kelogisan yang ada di novel Sophi’s World, walaupun dia jadi best seller internasional selama beberapa tahun. Nak, Al-Quran itu sudah jadi super best seller se-semesta selama belasan abad.

Kalau agama ini menuruti kelogisanmu, tak akan ada cerita 313 pasukan islam dengan perbekalan dan senjata yang jauh dari memadai bisa menang melawan 1.000 pasukan kafir dengan perbekalan dan senjata yang berlebihan waktu perang Badr. Tak akan ada cerita pasukan islam masih bertahan di perang Khandaq setelah dikepung dari segala penjuru. Gimana mungkin ada bantuan angin dalam perang di abad ketujuh? Nonsense! Itu semua tak akan masuk ke logikamu, nak.

Kamu akan wudhu dengan membasuh duburmu kalau kamu mau ikut logika, tapi bukan begitu yang diajarkan, nak. Kita tak tahu apa-apa. Keimanan itu bukan kelogikaan. Iman itu artinya percaya. Percaya bahwa aturan itu tepat walau tak masuk logika kamu.

Itu kenapa kamu harus mendalami Quran Hadits dengan mantap. Kamu tahu kan, bahwa ilmu yang wajib dicari itu ada tiga: ayat yang menghukumi, sunah yang ditegakkan, dan ilmu hukum waris. Intinya kamu wajib belajar Quran Hadits. Ilmu yang di luar itu statusnya cuma ilmu tambahan. Ayah sama sekali bukan melarang kamu sekolah sampai title kamu 10 biji, kalau ada. Sekolahlah tinggi-tinggi, cari ilmu sebanyak-banyaknya, itu positif.

Ayah cuma takut, kamu bisa menghitung bulan itu tepat ada di atas kepala kamu pada tanggal berapa jam berapa, tapi kamu kebingungan ngitung waris waktu ayahmu ini meninggal. Ayah takut kamu bisa fasih luar biasa berbahasa Inggris, tapi salam aja ngomongnya “semlekum”. Ayah tak mau kamu hapal irregular verb dan certain adjective, tapi tak hapal siapa saja mahrom kamu.

Ayah tak mau kamu bisa membedakan processor bagus dan yang tidak, bisa bedakan awan cumulus dan nimbus, bisa bedakan membran sel dan membran mitokondria, tapi kamu tak bisa bedakan halal-haram dan suci-najis. Dan hal-hal semacam itu. Ayah takut kamu kuasai dunia tapi tak ngerti hukum islam, nak.

Ayah tak kebayang, pasca tiada nanti kamu jawab apa waktu ditanya, “Kenapa dulu kamu lebaran duluan dibanding tetanggamu?” Apa kamu bakal jawab, “Abis di tanggalan lebarannya tanggal segitu, saya kan gak tahu aturan sebenarnya gimana.” Terus ditanya lagi, “Lantas, kenapa kamu tidak cari tahu ilmunya?” Apa kamu berani jawab begini, “Saya kan mau sekolah sampai S3, mau punya rumah besar, mau jadi anggota dewan, target saya banyak, jadi belum sempat mendalami islam.” Berani?

Dalamilah ilmu agama, nak. Malaikat akan membentangkan sayap-sayapnya karena senang padamu yang sedang mencari ilmu. Sampai ikan-ikan di lautan, semua mendoakanmu, nak. Kalau kamu jadi pengajar dan pengamal Al-Quran, ayah bakal dapat mahkota emas yang terangnya lebih dari matahari. Itu jauh lebih membanggakan dari ayah dipanggil mau diberi penghargaan karena kamu meraih nobel. Ayah dapat mahkota, kamu tentu dapat lebih dari itu, nak.

Setelah ilmumu kuat, aplikasikan, sebarkan, dan perjuangkanlah semaksimal yang kamu bisa, nak. Jangan takut cacian orang. Jangan menyerah walau sedunia ini memusuhi kamu. Gigit agamamu dengan gigi geraham. Lebih baik kamu hidup dengan ngangon kambing di Gunung Leuser sana ditemani 200 harimau sumatera daripada kamu hidup makan enak dan mudah tapi tak bisa aplikasikan agamamu.

Nak, dari dulu orang hebat itu selalu dianggap asing di zamannya. Itu bukan berarti kamu harus menjadi asing, nak, bukan. Tapi, risiko kamu “diasingkan” masyarakat itu besar kalau kamu bawa nilai-nilai baru, atau nilai-nilai lama yang dianggap baru.

Anak muda seperti kamu punya tenaga dan semangat yang jauh lebih besar daripada orang tua seperti ayah begini. Ibnu Umar, pada usia 13 tahun ingin ikut dalam Perang Badr, tapi dilarang, nak, karena masih terlalu muda. Ia akhirnya ikut dalam perang Khandaq pada umur 15 tahun. Sejak belia, beliau senang mencari ilmu, nak. Beliau menjadi periwayat hadits kedua terbanyak setelah Abu Hurairoh.

Kamu tentu sering dengar Ali bin Abi Thalib, anakku. Beliau sudah menjadi bintang lapangan pada Perang Badr, saat usianya masih sekitar 25 tahun. Beliau menjadi pimpinan pasukan Perang Khaibar, beberapa tahun kemudian, yang akhirnya menang gemilang. Beliau yang membunuh Marhab, panglima besar Yahudi. Semua dalam usia belia, anakku.

Imam Bukhori yang menyusun hadits tershahih sampai sekarang, beliau mulai berkelana pada umur 16 tahun. Jiwa muda yang tetap teguh belasan tahun menghimpun hadits-hadits shahih. Kamu tahu apa yang terjadi pada Imam Bukhori, anakku? Beliau diusir dari kampung dan menjadi musuh banyak orang pada zaman itu. Tapi itu tidak membuatnya gentar.

Selanjutnya giliran kamu yang meneruskan perjuangan. Selamat berjuang nak, luruskan niat, ayah doakan!



Minggu, 16 Desember 2012

Jika Nanti Hujan Reda

Kota Hujan

Fragmen Luka Dhito Nur Ahmad


Jika nanti hujan reda
Aku ingin beranjak dari kota ini
Akan kutemukan diriku di tempat yang lain
Aku tahu, sekarang, aku bukanlah diriku

Jika nanti hujan reda
keselatan aku akan berjalan
Menjemput angin, menjemput matahari
Akan kuusir seekor raksasa yang telah bertahun-tahun menginap di hatiku

Nanti, jika hujan reda
Akan kukubur semua rindu di hati
Akan kucegat senyumku yang akan keluar buat mereka
Biar! hidup ini memang sakit

Semoga nanti hujan dihatiku reda,
Biar nanti aku hanya bisa bicara pada alam
Kan kujalani hidup tanpa hape, laptop, dan tanpa status di facebook

Barangkali, saatnyalah hujan reda di hatiku
Karena... aku tak tahan hidup dengan bayang sunyi
Tak mau merindu dan tersiksa dalam kenangan
Maafkan aku, nanti, kau takkan kukirimi lagi pesan kerinduan!
(DNA) 
Makassar, 17 Desember 2012

Sabtu, 15 Desember 2012

Tentang Hujan di Bulan Desember


Akan selalu kuingat,
Tentang sebuah hujan di bulan desember
Yang membasahi hati, resah!
Yang selalu membuatku takut pada perpisahan.

Akan kuingat,
Di bulan desember, telah kukunjungi pedalaman hatiku
Aku tahu, aku telah mencintai keanehan,
Bahwa aku mencintai cintaku padamu, bukan mencintaimu

Semoga nanti kau tidak lupa,
Bahwa kita pernah mengisi hari dengan cinta
Bahwa kita pernah saling menyadarkan diri tentang kepastian perpisahan
Bahwa kita pernah saling menangisi dalam hujan

Aku tahu, di desember ini, kaupun sedang hujan
Maafkan aku, yang mencintaimu dengan caraku.
Biarlah hujan di bulan desember yang tahu
Bahwa mencintaimu, adalah naluri alamiahku untuk memberi,
Bukan kepadamu, tapi pengabdianku kepada Tuhan!

Pergilah! sampaikan salamku pada kotamu
Bagikan pada teman-temanmu, senyumku yang telah kutitipkan padamu
Maaf, aku tak bisa membelikan apa-apa
Hanya senyum itu!
(DNA)
Makassar, 15 Desember 2012

Catatan Perjalanan


Catatan Perjalanan
Sealur cerita di Bumi Nene Mallomo

Setelah menempuh 6 jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya sampailah kami di kota tujuan. Sebuah kota kecil, dengan jajaran pohon berbaris dan pemandangan hamparan sawah membentang. Hari itu telah sore, matahari telah temaram di ufuk barat. Kami, serombongan mahasiswa KKN dengan enggang dan malas sekali turun dari bus sembari mengurus barang masing-masing. Hari pertama, kami diarak menuju kantor kecamatan, berdesak-desakan dalam sebuah ruang yang dipenuhi tempelan-tempelan foto. Dua orang yang tak kukenal telah duduk dengan gagah sekali di depan hadirin. Segala hal diberitahu, mulai dari hal remeh-temeh semisal bagaimana beradaptasi dengan tuan rumah yang akan ditempati rumahnya, tentang kota ini yang merupakan penghasil beras dan telur tertinggi di Sulawesi Selatan (loooh.... apa hubungannya dgn tugas kami?), sampai pada penyerahan mahasiswa ke kepala lingkungan masing-masing.
Kota ini, sebuah kota sederhana yang berjarak 180 kilo meter dari makassar. Di hampir setiap sudut kita akan disuguhi dengan pajangan poster dan baliho politik. Aku yakin, masyarakat daerah ini punya fanatisme tinggi terhadap salah satu kandidat orang nomor satu di provinsi ini. Tentu saja, jika dibandingkan dengan makassar, kota ini berbeda. Pastinya tidak akan ada kemacetan lalu lintas yang bikin gerah dan menjengkelkan itu. Di hari apapun, tak akan ditemui sekumpulan anak muda murahan yang berteriak-teriak di jalan, mencegat mobil sembarangan, atau melakukan aksi saling lempar batu seperti yang sering disajikan di tv. Ya, aku sedang tidak di makassar.
Maka di sinilah aku sekarang, berkenalan dengan langit sidrap yang temaram. Di sini aku berjabat dengan banyak hal. Mempelajari segala hal baru yang belum kami temui. Jika sore tiba, kami bisa dengan leluasa jalan-jalan ke Pangker, sebuah taman mini yang terletak pas di tengah kota pangkajene. Pagi hari, kami menghambur ke jalan, menuju sekolah tempat ppl, pulangnya, barulah bisa melenggang santai menikmati keakraban dengan tetangga.
***
Sekolah kami, SMP Negeri 3 Pangsid. Sebuah nama sekolah yang aneh... hehehe. Tapi jangan heran, itu hanya singkatan. Nama PANGSID itu merupakan singkatan dari PANGKAJENE SIDRAP. Tapi jangan salah loowh, sekolah ini memiliki siswa-siswa yang ramah, menyenangkan, tidak sombong, rajin menabung, dan berbakti pada orang tua (hihihi). Dan..... yang terpenting adalah siswa ceweknya, cantik-cantik (walaah...). pasti tak secantik siswa dari sekolah manapun yang pernah engkau temui.

SMP 3
Di sekolah ini. Aku dan Ramli adalah mahasiswa yang paling dekat dengan siswa, scaara kami berdua adalah pria baik-baik dan memiliki senyum termanis (preet....). Aku ditugaskan mengajar di dua kelas, kelas 8.1 dan 8.2, sedangkan ramli mengajar di kelas 8.3. Mengajar di dua kelas, tentulah aku punya porsi waktu mengajar yang banyak, dan tentu saja mengurangi jatah waktu untuk bersantai. Untungnya, guru pamongku, Pak Haris baiknya bukan main, segala yang bernama perangkat pembelajaran yang sering bikin mahasiswa terperangkap dalam mengajar itu tidak dibebankan kepada kami. Jadi tugasku hanya mempersiapkan mental, masuk kelas, bertingkah sok tahu, dan memasang muka seramah mungkin.

Pak Haris bersama istri (tengah)
Dikelas, perbincangan selalu mengalir begitu saja. Situasi semi-formal kuterapkan dalam pembelajaran dengan baik sekali. Dan hasilnya, bukan main. Saya akrab dengan siswa, pembelajaran jadi menyenangkan, dan siswa-siswa yang mengangguk pasti dengan hal yang kukatakan. Tapi jangan pernah tanya apakah mereka mengangguk paham atau tidak, karena aku sendiri tidak yakin.  
Nah. Inilah dia, siswa-siswa yang baik hati, tidak sombong, senang belajar, rajin menabung, dan berbakti pada orang tua itu..... Adhe. Ifha, Anhy, Uphy, Ekha, dan Unnhu. (dari kiri ke kanan)

Me 'n' adik-adik
Me, Ifha, unnhu, n Ritha

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, moment dua bulan serasa dua hari saja (hallaah). Pertemuan dan kebersamaan ini harus diakhiri, dan perpisahan adalah sesuatu hal yang tidak terhindarkan. Tentu saja sangat tidak afdhal sebuah perpisahan tanpa tangis dan air mata. Maka kami, saya dan ramli bersama adik-adik menyediakan waktu khusus untuk menangis bersama.
Acara ini dilaksanakan atas inisiatif adik-adik siswa. Sehari sebelumnya barulah secara khusus mereka memberitahuku rencana mereka. Di kelas 8.1, saat jam terakhir tiba, para siswa tidak ada yang pulang. Maka dimulailah seremoni menangis berjamaah ini dengan hikmad. Dimulai dari pengantar dari Masriani, sang ketua kelas. Dia menyampaikan kata-kata yang aduuhai, mampu menembus semua lapisan hatiku (wuiiizzhh). Dilanjutkan dengan pembacaan puisi perpisahan oleh Uphy, dia menangis, Aku dan Ramli menangis, mereka semua menangis. Tak lupa pula, diakhir acara mereka memintaku memberikan sepatah kata yang akan mereka jadikan mutiara untuk disimpan baik-baik. Tapi, aku tak bisa berkata-kata, segala definisiku tentang kesedihan tak bisa lagi tergambarkan dengan kata-kata. Jadinya, aku hanya menyampaikan terimakasih dan permohonan maaf terdalam saja, itu saja.
Terakhir, mereka menyediakan kado khusus buat aku dan ramli. Mereka memberiku tanda cinta dan air mata mereka yang penghabisan dalam bentuk kado kecil yang mereka bungkus sendiri.
Aku menerimanya dengan mata berkaca-kaca waktu itu, kutatapi mereka satu-satu dengan perasaan gamang. Aku tahu, suatu saat aku akan sangat rindu pada mereka. Kusalami tangan mereka dengan gagah sekali. Seolah hari itu adalah pertemuan kami yang terakhir kalinya. 
Now, your name has been etched in my heart, and one day will return to you with the same heart condition. I will always love you all.
Kado dari siswa, dan kata-kata pengantarnya. hehehe...
Sebelum berpisah, kami sempatkan berfoto bersama di depan kelas. Aku merasa ini merupakan keakraban yang tak biasa, sebuah sensasi kebersamaan yang tak mungkin ternilai dengan materi, dan itu telah kami kekalkan dengan foto bersama. Melengkapi sealur cerita yang telah kami ukir bersama di bumi Nene Mallomo.
Mengekalkan kebersamaan
Sesampai diposko, barulah kubuka baik-baik bungkusan kado itu. Dan.... sebuah jam meja yang cantik. “ Biar tidak telat bangun pagi Kak” begitu bunyi sms Ifah yang dikirimkan ke hapeku.
Kubalas semua itu dengan terimakasih dan cinta terdalam......... Salam rindu dariku, dari sebuah tempat paling sunyi di dunia.....
Dhito Nur Ahmad, Makassar......... 2012




Jumat, 14 Desember 2012

Cerita Tentang Losari

Bersama kenangan, akan selalu ada cerita tentang kesedihan. Ketika matahari telah mulai temaram di ufuk barat, juga burung camar yang pulang ke sarang. Dan langit yang selalu berwarna lembayung, selalu begitu, selalu sunyi. Lalu, bersama hembusan angin akan ada cerita kesenduan, tentang kesunyian pandangan seorang lelaki yang melihat siluet senja di balik kaca mobil yang melintas di losari.



Di sini, kemurungan itu tercipta begitu saja. Remeh sekali, seremeh pertanyaan seorang turis yang suatu senja datang- entah dari mana- dan bertanya tentang kesunyian, aku hanya tersenyum sekedarnya, berharap dia menemukan sendiri kesunyian disenyumanku. Di sini, akan ada lelaki yang mengembara sendirian dalam sunyi, bersama imajinasi dan angan-angan.



Tapi uphy, aku ingin bercerita kepadamu, tentang kesunyian kenangan yang pelan-pelan telah meramaikan ingatanku. Bersama angin yang berhembus, dari je’ne berang sampai ke paotere, dari tanjung sampai ke penghibur, semua seolah mengabarkan tentang sebuah senja yang begitu menyedihkan, senja yang menunggu kedatanganmu, untuk mengganti keheningan jadi keramaian, kesunyian jadi sumringah.



Uphy, ini belum malam, senja masih merona. Burung camar masih terbang rendah di Lae-lae. Datanglah segera, lalu dengarkanlah cerita tentang seorang lelaki yang begitu menyedihkan karena menunggu kedatanganmu.

***

Uphy, Masihkah kau ingat, tentang hari yang pernah menelanjangi pikiranku? Kau harus tahu, bahwa diantara pantulan jingga sore ini, aku mengenangmu telah bersamaku pada suatu sore yang jingga, di kotamu. Saat itu, kita sama duduk di taman kota dekat rumahmu, dan kau bercerita tentang senja yang sangat kau kagumi, senja yang telah mampu membuatmu menulis puluhan puisi keindahan.



Aku pun sebenarnya tak hendak mengenangmu terlalu dalam, namun hari-hari yang melintas selalu menghadirkan senja yang jingga. Seolah menyapa dan mengingatkanku selalu padamu. 9 bulan berlalu bagaikan 9 hari, rentang waktu selalu berlalu begitu cepat dan tak menyisakan ruang diingatanku untuk melupakanmu. Gombalkah Uphy? Ah biarlah, aku tak peduli.



Sekarang, di Losari, tiba-tiba aku serasa berada dalam sebuah ruang, hanya kita berdua, tak ada sesiapa. Kau tersenyum, dan langsung membacakan puisi keindahanmu yang dulu pernah kau bacakan padaku. Dan aku, bagaikan buih-buih sabun yang melayang di udara. Jantungku berdegup kencang sekali. Aku merasakan kembali sebuah ritma yang 9 bulan lalu pernah menjangkitku.



“Kau...” Kataku tertahan saat menyaksikan perempuan bugis itu telah tampak sangat jelas di hadapanku. Kau seperti biasa, berdiri begitu saja, mematung. Matamu kemudian menerawang, jauh. Aku merasa senja telah berbaik hati padaku saat ini, aku merasa telah benar-benar melihat rupamu.



Anjungan ini sederhana saja sebenarnya, tapi kau nampak sangat mengaguminya. Losari, yang dirancang dengan menampilkan 4 etnis pribumi sulawesi selatan. Dan kau, begitu ingin banyak tahu cerita tentang losari, bukannya ingin mendengarkan cerita tentang senja yang telah lama kupersiapkan buatmu.

Baiklah uphy, aku akan bercerita saja tentang losari, aku sungguh tak kuasa melawan keinginanmu, aku begitu lemah di hadapanmu.



Ini merupakan salah satu monumen kebanggaan Makassar. Tempat sepasang kekasih, senja, turis, penguasa, pengamen, pengemis, penyair, dan pelancong memainkan lakonnya sendiri. Bagiku, losari selalu menawarkan kebisuan -meski tidak untuk hari ini- seolah menyediakan sepenggal keindahan, tapi sejatinya adalah kamuflase kehidupan yang menyesatkan.



Ini juga merupakan monumen kampanye para penguasa. Tempat orang-orang yang mengaku nasionalis membangga-banggakan losari sebagai karya monumentalnya, meski harus menggeser alokasi dana yang harusnya lebih berguna. Losari, bagiku merupakan lambang kapitalis, tempat orang-orang membangun fisik, dan lupa membenahi moril dan akhlak penghuninya. Budaya penguasa kota ini tentu tak lain cerita, uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, hotel, sekolah bertingkat, mall, dan seabrek keindahan fisik lainnya, dibangun dan dibanggakan kepada orang-orang.



Ah, atau barangkali aku saja yang terlalu sentimentil Uphy?! Entah, yang jelas cerita tentang losari akan selalu mengingatkan betapa budaya asli kita tidak lagi beroleh tempat penting. Lihat saja tingkah sepasang kekasih yang duduk di Altar itu, seolah seorang komunis yang tak pernah mengenal agama dan Tuhan. Kataku sambil menunjuk altar rumah yang menyerupai bangunan Pallawa di Toraja.



Kau hanya tersenyum, remeh sekali, sambil mengernyitkan dahi ke pantulan senja yang menyembul di atas awan. Atau barangkali kau menganggapku telah merayumu dengan cerita tak masuk akal?



Tak hanya itu, sesungguhnya ada banyak sekali cerita tentang losari, bukan hanya tentang budaya penguasa yang mementingkan fisik, atau tentang perangai turisnya yang seolah tak beragama, tapi juga banyak cerita lain, tentang seorang lelaki yang sedang kasmaran hingga tak mampu menangkap keindahan senja, tentang anak pantai yang sedang mengarak perahu ke laut untuk mencari ikan, atau tentang warna air yang tak lagi kebiruan karena sampah kota, juga ada cerita tentang pulau lae-lae yang begitu eksotis di sore hari.



Di Losari, angin akan tetap berhembus, dari je’ne berang sampai ke paotere, dari tanjung sampai ke penghibur, jauh membentang sepanjang selat makassar.

Ketika matahari makin jingga. Kita, bagaikan sepasang kekasih yang sedang duduk di bangku-bangku pantai. Lalu, tiba-tiba segalanya begitu hening, hanya ada satu dua orang yang tampak lalu lalang di belakang kita. Pengemis, pengamen, dan turis-turis seolah terbuai pada sunset yang membayang.

Di losari petang ini. Serombongan burung camar melintas di udara, dua diantaranya terbang rendah menyapa permukaan laut yang tak pernah berhenti bergerak. Matahari pun sudah bersembunyi di peraduannya, angin berhembus perlahan, menjemput malam di makassar.

Makassar, 20 Oktober 2012