Pages

Kamis, 27 Agustus 2015

Sebuah Pagi di Pulau Sangalaki

Ada sebuah pernyataan paling menggoda, paling bikin gugup, paling menggetarkan, dan melakukannya punya resiko terlalu besar. Tetapi dengan tidak mengikrarkannya, menjadikan kita dianggap kurang manusia, dan ke(normal)manusiaan kita dipertanyakan. Ada sebuah pernyataan paling menakutkan tapi juga sekaligus membawa senyum harap, membawa kebahagiaan sekaligus kesedihannya, kesenangan sekaligus airmatanya, ketenangan sekaligus kesakitannya. Duhai… pernyataan apakah kiranya itu, dari manakah gerangan pernyataan itu berasal, dan untuk apa sebenarnya ia ada?
Semua kalimat itu, muncul pada sebuah pagi, di sebuah pantai di Sangalaki. Merasa sendiri dan (dianggap) menyedihkan, saya melihat cakrawala mengerut, membentuk garis seperti tali, di sanalah menggantung segala angan dan pertanyaan-pernyataan itu. “Kebahagiaan dan kesakitan hanya persoalan beda sensasi, tergantung bagaimana kita menikmati dan memaknainya”. Tak pernah ada masalah dengan tangisan pertama kita, pun tak kan pernah ada masalah dengan tangisan selanjutnya, entah dengan alasan apapun, mau itu karena sakit, difitnah, dimaki, atau merasa kehilangan hal yang tak pernah dimiliki (heheh, apamitu?!). Seperti saat seorang sahabat pernah menulis: “Dik, jika dia betul2 belahan jiwa yg memang diciptakan untukmu, kemanapun engkau pergi, bagaimanapun keadaan perasaanmu padanya, dan seberapapun jauhnya jarakmu dengannya, suatu saat dia akan kembali dan menjadi milikmu. Kalau tidak, berarti dia bukan (si)apa2, dan se-suatu- orang yg bukan (si)apa2 tak pantas utk merisaukanmu”. Pun hidup, yang akan terus mengalir serup air, biarkan saja ia mengalir, lalu kita pun bergerak bersama alirannya. Sederas apapun arusnya, patuhi aturan main, terus memperbaiki diri, arus tenang akan datang sendiri pada momennya.
Lalu kuingat lagi seorang kawan akrab di Makassar, saat masih menempuh pendidikan. Punya cita-cita mendapatkan perempuan (baik). Rupanya seleranya dianggap terlalu tinggi oleh orang lain (meskipun saya menganggapnya tidak). Seorang islam, cerdas, istiqomah, dan menjaga diri. Dan memang, susah, tidak mudah, sangat. Sebab, zaman tak lagi mengizinkan orang-orang seperti itu eksis dan bertahan. Lalu tiba-tiba sekarang, seperti telah menjadi keajaiban ilahi, kawan akrab saya itu sekarang telah terduduk pula di sini, di Sangalaki, bersama saya, dalam kepala saya. Ia hidup, masih hidup sebenarnya, meski telah sekarat, dan hampir-hampir mengubur keinginan mulianya itu.
Dulu ia masih bertahta, dinaungi sayap-sayap malaikat, membuatnya sanggup pergi membuktikan diri sebagai laki-laki. Memenuhi impian masa kecilnya untuk tak lahir dan besar di sarang. Di sangalaki, begitu banyak penjelasan kudapat, ia bergantung pada pepohon rimbun nan elok di pesisir, bertaburan diantara pepasir, dan terbaca di punggung tukik. Penjelasannya asli dan tak rumit, datang di kepalaku yang biasanya hanya bersedia menyediakan penjelasan yang menyenangkan hati saja. Saya, dan kawanku seperjalanan, para guru dan beberapa siswa, disiang hari sembari menunggu air pasang. Banyak bercerita, para senior yang telah matang ilmunya dan panjang pengalamannya masng-masing berbagi kisah, tentang cerita cinta mereka.
Saya kemudian teringat penjelasannya Bang Tere Liye, beliau pernah menulis: Permasalahan atau urusan hidup itu persis seperti rumput di halaman. 100 kali kita potong, rapikan, perindah, maka 100 kali pula rumput tersebut tumbuh lagi, tinggi, berantakan. Terus saja begitu, ada-ada saja masalah/urusan baru yg muncul. Oleh karena sudah demikian kodratnya, maka drpd mengeluh, berputus asa, lebih baik siapkan peralatan yg baik, sisihkan waktu, dan jangan malas segera disiplin memotong rumputnya, agar terus indah dilihat sepanjang waktu.
Berdasar dari cerita cinta yang dijelaskan para guru senior. Saya menemukan banyak definisi yang salah (ini berdasar persepsi saya), lalu inilah yang barangkali iseng dikatakan di hadapan siswa-siswa di kelas, mencitrakan begitu dalam tingkah lakunya. Pengalaman saya, karena saya termasuk pria baik hati dan tidak sombong (prĂȘt tt), sangat sering ditanyai siswa tentang pacarnya, saat sperti itu, slalu kuarahkan, kubahasakan halus sebaik mungkin dengan satu arah yang pasti: Sudah, putuskan saja pacarmu itu, dek!. Dengan tujuan, agar ia hidup normal dan baik-baik saja, tak perlu galau-galau untuk hal tak penting.   
Tapi masalahnya, orang seperti ini di zaman sekarang akan tertindas, diabaikan, tersingkir. Ia berada pada pilihan pelik, mempertahankan prinsipnya atau tersingkir dari dunia tempatnya hidup dan bernaung, artinya ia hidup tapi seolah tidak karena tak diakui lingkungannya, tak ada tempat berekspresi. Dan itu tidak mudah, kasihan juga. Bagaimana kalau ia tak sanggup? Bagaimana kalau ia tak cukup kuat menahan itu semua? 
Tentulah tak pernah kusalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Makin hari, pepohon kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah, tanah-tanah dibeli orang asing lalu digerusnya kekayaan alam kita, rumah-rumah ditimpali informasi sesat di layar kaca, yang mengajari anak2 kita hidup lebay dan kurangajar. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran di jalan dan keramaian-keramaian. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Anak muda pun lebih suka bergerombol di pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Pasangan terpaksa menikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, kasus memalukan yang terjadi di luar nikah. …….dst.
Di sunyi sangalaki, bergantung sisi kontemplasi. menggantungkan hal-hal miris yang terjadi, membenarkan betapa propaganda yahudi yang digencarkan melalui media yang dikuasainya telah berhasil, membuat kita jadi orang-orang kalah, kalah total. Mereka seperti mampu mengerahkan ratusan iblis untuk membekuk orang-orang pintar yang bertengger di lembaga-lembaga Negara, guru dan pelajar-pelajar yang ada di kampus dan sekolah-sekolah. Telah kita lihat betul keampuhan sihir-sihir mereka.
Lalu, setelah segalanya terjadi, setelah kini segalanya sudah jadi hal biasa dan (terkesan) tak dosa lagi. Sesuatu yang sebetulnya disadari sejak dulu tapi terjadi begitu ajaib, seperti sesuatu yang alamiah, mengelabuhi akal pikiran dan terjadi begitu saja, tak dipedulikan begitu saja. Menyeret kita semua, masuk neraka secara berjamaah, nanti! Lalu apa yang hendak kamu (kita) lakukan? sesuatu yang entah bertanya padaku. Ah, aku hanya rindu kawan lamaku, rindu masa-masa semangat memperjuangkan idealisme asing yang menggetarkan dan sangat beresiko, yang membuat dunia tak menerima dan menyingkirkan penganutnya dari atasnya. Di Sangalaki, saya kemudian berpikir tentang pulang. Apa yang bisa kukatakan (pada-Nya) di sana setelah pulang nanti?  

Masyarakat Bajau, Tentang Kepuhunan dan Kisah Cinta Remajanya


*Sebuah riset sosial, yang berdasar persepsi pribadi penulis!
“Jangan pergi dulu dek, singgah dulu sebentar. Nanti Kepuhunan!”
Sesuatu berdebar di hati saya saat perbincangan kami pertama kali dengan komunitas masyarakat Bajau. Saat itu, saya yang serupa mahluk asing (dari luar angkasa), hinggap secara misterius di sebuah komunitas komunal (suka berkelompok), yang tak kutahu adatnya bagaimana, apa agamanya, makanannya apa, dsb. Dan saat itu, kujumpai kalimat aneh pertama kali: Kepuhunan. Yang selanjutnya, biasanya terdengar lebih lengkap: Jangan dulu pergi, nanti kepuhunan.
Sekarang telah kumengerti benar, kepuhunan, yang merupakan bahasa yang paling sering saya temui di Maratua… Adalah Sejenis mitos, (sejenis pamalik) yang dipercayai, dipopulerkan, dan dianut secara turun-temurun. Masyarakat Bajau yang ramah dan punya sikap pemurah tak terkira, akan merasa tidak senang saat menawari makanan dan tidak di makan. “Nanti kepuhunan” mereka bilang.
Kepuhunan dalam bahasa bajau, artinya: tertimpa pohon, sebuah bahasa kiasan yang berarti pula: celaka, kena balak, tidak beruntung diperjalanan. Hal ini sesuai dengan falsafah kehidupan laut mereka yang hati-hati dan tidak boleh sembarang bertingkah. Kalimat sejenis, misalnya; Jangan main-main di laut, atau jangan buang perangai di laut” Artinya, bisa saja terjadi bahaya, balak yang diluar kendali kita, yang disebabkan oleh setan.
Mereka sudah mengerti, pusatnya setan ada di laut, kerajaan setan bertempat di laut, dan iblis pun memimpin, merencanakan, dan mengendalikan pasukannya untuk menyesatkan manusia, dilaut. Makanya, di masyarakat suku Bajau, kalau ditawari makanan, harus makan. kalau dipanggil singgah untuk minum teh, harus minum dulu biar sedikit. Kalau akan memancing, dipesankan untuk tidak main-main (di Makassar saat bepergian, orang tua kita akan berpesan, hati-hati di jalan - pembeda) Saya pikir, itu juga berkenaan dengan kepercayaan tradisional mereka yang (sekarang) telah berbaur dengan islam, di dada mereka.  
Masyarakat bajau, cewek-ceweknya cantik-cantik, manis-manis (seperti gula), dan senang berkumpul. Saat melihatnya pertama kali, kubayangkankanlah situasi kampungku di masa lalu, saat saya masih SD. Di sore hari, cewek-cewek telah berduyung-duyung ke sumur memakai daster, mereka berkumpul di sana bukan untuk mandi sebagai tujuan utama, melainkan ngobrol dan cerita-cerita. Di sini, fenomenanya agak mirip, kalau sore dan sedang tak main volly, cewek-cewek berdaster akan terlihat berjalan bersama (sekarang sudah berubah, yg berdaster justru ibu-ibu), berkumpul di dermaga, berkumpul di sana membentuk lingkaran. Hape di tangan masing-masing.
Saban malam, usai isya, usai segala aktivitas seharian yang membosankan dan itu-itu saja. Para remaja kemudian akan menghambur lagi ke dermaga. Duduk bergelap-gelap dengan masing-masing menenteng hape (hanya di sini tempat bersignal). Di sanalah para setan berkerumun, di sanalah awal mula semua pertemuan, menemani anak-anak muda yang duduk mojok berpasangan tanpa menghiraukan orang lain. Seperti telah mahfum olehmu, kawan. Di zaman sekarang, remaja mana sih yang tak punya pacar? Kegilaan pada dunia kecil ini seperti cacar yang menyerang hati remaja-remaja Indonesia. Pun, sekumpulan remaja pedalaman Kalimantan terasing di pulau. Tentu saja kecuali dua orang pria perantau Makassar yang pernah tinggal di perumahan kompleks sekolah -_-
Kisah cinta mereka skeptik. Berpacaran, ---biasanya budaya berpacaran mereka dilakukan semenjak smp, putus-nyambung dengan orang yang berbeda, hingga akhirnya putus, atau (harus) menikah, bukan karena nikah paksa seperti dalam novel sitti nurbaya, tapi karena terpaksa nikah---, ketemuan, duduk berdua di dermaga. Para lelaki tak mengenal cinta sebagai perjuangan, pengorbanan untuk mengejar panaik yang banyak, terpaksa berpisah karena lanjut sekolah, kisah cinta terbentur adat, atau karena ditolak karena alasan-alasan ekonomi dan keturunan. Tak, masyarakat bajau tak mengenal itu. Mereka mengenal menikah dalam proses yang sederhana, tak berkelok seperti adat bugis, terjadi begitu saja, dan tak terkesan begitu sakral penuh adat.
Barangkali (ini hanya barangkali), tak ada diantara mereka yang pernah membaca kisah cinta romeo-juliet, fahri-aisyah, laila-majnun, ikal-a ling, arai-zakiah, atau kisah cinta semacamnya yang butuh pengorbanan, semisal kisah cinta yang sang wanitanya telah terlanjur mengunci hatinya baik-baik, lalu kuncinya dilempar ke dasar samudra dan sang laki-laki mesti mendapatkannya terlebih dahulu. Dasar samudra itu sangat gelap, butuh senter tercanggih buatan jepang. Celakanya, kunci itu dijaga oleh tujuh ekor hiu gergaji yang besar, hiu itu ganas-ganas, dan hanya bisa ditaklukkan dengan racun penawar khusus agar hiu itu mabuk dan tertidur. untuk mendapatkan racun penawar itu, dibutuhkan bertapa 40 hari 40 malam, tak makan tak minum disebuah goa angker. Untuk ke sana harus izin dulu sama penjaga gua, membawa seorang perawan berkulit putih yang tinggal di sebuah desa di afrika………dst. 
Tapi kisah cinta mereka tetaplah pada kegilaannya. Semua cerita tak masuk akal, yang tidak butuh penjelasan, yang (orang bilang) buta itu, tetaplah mereka jalani segitunya. Seperti kebanyakan remaja tak tegas, yang umumnya takkan mampu mengendalikan peran dan diri. yang akhirnya jatuh pada kubangan penyesalan, seperti air yang jatuh di pembuangan.
Pada Remaja Bajau, saat ada pesta pernikahan, dikenal pula istilah: acara muda-mudi. Berupa acara buat para anak muda (yg biasanya) bersama pasangannya masing-masing (yang tak punya pasangan akan merasa terasing), menghadiri pesta di malam hari. Tak tanggung-tanggung, disediakan tempat untuk senang-senang, di malam hari pula. Dihibur biduan khusus, saban malam beberapa akan berjoget bersama, ditemani goyang dumang, morena, dan music discotik.

Seni dan hiburan, adalah dunia mereka, olahraga adalah detak nafas mereka. Sebuah apresiasi membanggakan apabila terdapat acara seni atau olahraga di kampung, menunjukkan identitas khas yang melekat pada budaya mereka. Unik dan Mengesankan!
*Dhito Nur Ahmad

Berkenalan dengan Alam Maratua

Kawan, sudah pernahkah kalian ke Maratua? Atau begini, sudah kenalkah kalian dgn Maratua, atau paling tidak pernah mendengar atau membaca nama Maratua? Mari, akan kuajak kalian berkenalan. Mr. Robert, bule’ dari polandia pernah kumintai pendapatnya, ia berujar: Very beautiful young man. Like a little paradise! Maratua, terletak di utara, keindahannya tak diumbar-umbar, tak terlalu diekspose, hingga tentulah tak sepopuler pantai Kuta di Bali, Pantai Senggigi di Mataram, alam Raja Ampat, atau pantai Losari di Makassar. Tak. Maratua berbeda. Ia tersembunyi, jauh ke utara, di batas laut Negara tetangga. Ada banyak destinasi yang bisa kawan kunjungi dan nikmati. Kalau suatu nanti kawan berkunjung ke sini, dan jika kalian berjalan di sepanjang pulau yang melengkung seperti huruf J, kalian akan disambut dengan udara yang lembut dan segar, udara yang tak dingin dan tak panas, seperti memang telah ditakar Tuhan untuk dipaskan di hati. Kemudian, lihatlah ke sekitar: pepohon yang masih belantara, dan monyet-monyet bergelantungan di atasnya, laut yang berpendar biru muda, menjilati pasir putih, beburung yang terbang, dan delta yang melengkung seperti telah disolek secantik mungkin oleh Tuhan.
Mari! Mari kawan, akan kubawa kalian jalan-jalan mengelilingi pulau eksotik ini. Pertama, akan kukenalkan kalian kampung tempat tinggalku. Kampung Payung-Payung, merupakan bagian dari empat kampung yang ada di pulau: Bohebukut, Bohesilian, dan Teluk Alulu. Saat kalian ke Payung-Payung, tentu saja kalian turun di ujung dermaga. Berjalanlah kalian di sepanjang dermaga itu. Keluar dari dermaga menuju perkampungan, kalian akan disambut dengan gapura besar, memampangkan sopan sebuah tulisan penuh adat “ Selamat Datang di Objek Wisata Pulau Maratua Kabupaten Berau”, dengan patung penyu di kanan kiri sebagai pengawal. Selepasnya, rumah kecil-kecil berbaris tak rapat, jalan lurus-lurus tak beraspal, dan para pejalan tak beralas kaki lalu lalang di bahunya. Di kanan kiri jalan tertata rapi sekali pepohon kelapa, berjejer memanjang seperti barisan upacara. lalu seratus meter dari tempat itu, hanya diantarai sebuah lapangan sepak bola, terdapatlah sebuah sekolah, tempatku mengukir kisah bersama adik-adik siswa. Antara dermaga, lapangan sepak bola, masjid, dan sekolah, merupakan pusat kampung payung-payung. Di dominasi warna hijau dan biru.
Di hadapan kampung itu, sedikit menjauh, terdapat pulau cermin raksasa di tengah laut: Pulau Kakaban, tempat ubur-ubur terbaik dunia berada. Di sebelah baratnya, terdapatlah pulau Sangalaki, merupakan tempat penangkaran penyu alami. Penampakannya kecil seperti spot di tengah laut, pasirnya bersih dan dipenuhi bekas rayapan penyu. Telah pernah kami kelilingi dengan jalan kaki di putih pasirnya, dibelai semilir anginnya.
Mari, kita ke utara, menemui gugusan pulau lain yang ada. Tepatnya di ujung terutara, terbentanglah dua pulau kembar, bernama Bakungan. Saya telah dua kali ke sana, tidur2an di dermaga panjangnya, dan menatap berlama-lama ke utara. Tak ada apa-apa lagi setelahnya, kecuali lautnya yang sangat biru pertanda sangat dalam, membentang kosong hingga ke filipina.
Jika kalian pernah berkunjung ke Maratua, saya yakin kalian pasti akan mengingatnya sampai sekarang. Saat matahari pertama kali menyinari bumi, kalian akan disambut dengan kicauan burung yang bersahutan, monyet yang berangkulan. Lalu, dari pantulan embun yang membasahi pepohon bermunculan warna-warni seperti pelangi, seperti selendang para bidadari yang selalu menari penuh bahagia. Para warga telah mengenal kedamaian adalah nafas, seperti detak jantung yang berdentam setiap detik, alam di kampung adalah hidup mereka. Kalau kawan ke sini, demi Tuhan, kawan tidak akan menemui air yang meninggi yang menggenangi rumah, tidak akan pernah ada kemacetan-kemacetan menjengkelkan, suara-suara bising kendaraan, dan keadaan yang runyam saat anak-anak muda turun ke jalan dan melempar batu sembarangan.
Di selat, terdapat 4 gugusan pulau cantik, hanya dua yang berpenghuni (rumah wisata) yaitu Pulau Papandangan dan Nusa Kokok. Pulau tercantik dan menjadi icond adalah Pulau Papandangan (atau lebih popular disebut pulau Nabuko –disebut begitu karena wisata pulau ini dikelola perusahaan wisata jerman yang bernama PT. Nabucco--).
Sebenarnya saya telah beberapa kali ke Nabuko dan saya tak pernah bosan dengan sensasinya. Sebab air laut pandai sekali memainkan peran. Ketika surut tiba, tampaklah pasir putih membentang yang bagus ditempati main-main dan berkejar-kejaran. Jikalau pasang, tempat itu jadi laut dangkal yang dirambati berbagai jenis ikan jinak, itu berarti aktivitas snorkeling jadi mengesankan. Saya pernah melihat penampakannya dari atas gunung putih, daratan tertinggi maratua. Dari sana, Nabuko begitu menggoda dengan penataan artistik. Pantainya dikelilingi rumah-rumah bule menghadap kelaut dengan teras memanjang sampai ke laut dikokohi tiang-tiang yang panjang. Dari puncak gunung itu pula, tampak deretan kelapa yang berbaris. Kalau air surut, pasir putih akan membentang membentuk lingkaran tak jauh dari hadapannya sampai ke Pulau Nusa Kokok. Di siang hari, di sanalah bule-bule berjemur sepanjang surut.
***
Kalau hujan turun, pelangi warna-warni selalu. Berpadu puncak pepohon kelapa dan chery yang tumbuh banyak di pekarangan. Kalau panas, laut akan menghembuskan nafas segarnya ke pulau, meniup pepohon dan segenap mahluk-mahluk yang ada di bawahnya. Ketika kita ingin memancing, tak perlu jauh-jauh ke tengah laut, di ujung dermaga pun, bisa dapat ikan. Mata kalian akan kian terbuka, ketika melihat penyu menyerbu pagi di dermaga, selalu. Ada ratusan penyu yang selalu datang ke pantai, memutar-mutar, bermain-main di air dangkal, sambil sesekali menyembulkan nafasnya ke udara.
Sementara, sekolah kami (SMPN 27 Berau) beragam buah meneduhinya. Cabang-cabang buah kedondong tinggi berkilat-kilat memampangkan buahnya yang ranum menguning dan tak dipedulikan, kalau pagi burung-burung segala rupa rajin bermain-main di situ, meloncat-loncat penuh bangga ke pohon ketapang, nangka, kates, lalu menjarah buah-buah cherry yang tumbuh di depan rumahku. Saat kupusatkan pendengaranku pagi-pagi, duduk bersila memejamkan mata di teras, serupa pekunfu shaolin yang sedang bertapa, saya begitu dapat merasai semilir angin yang menggerakkan dedaun, dan bunyi-bunyi beburung itu seperti mahluk-mahluk dari surga yang meniupkan keindahan sampai ke kalbu.
Mari, kawan. Akan kuajak lagi kalian ke Kampung Bohesilian, di sini terdapat Objek wisata Teluk Pea, Ombok-Ombok, Gua Angkal-Angkal, Danau Haji Mangku, dan Goa Sembat. Hutannya luas, belantara dan curam. Sementara, di Kampung Bohebukut yang merupakan ibukota kecamatan, terdapat Maratua Paradise, Maratua guest house, Goa Organ, Danau Tanah Bambang, dan Goa Keheabok. Antara kampung Bohebukut dan Payung-Payung, terdapat lagi danau besar nan cantik: Haji Buang, begitu damai dan asli. Kalau kawan bersampan ke tengahnya, akan kawan temui segala rupa ubur-ubur dan monyet2 yang berangkulan di deltanya. Kalau dari gunung putih, penampakannya serupa kelokan ular bercabang: Mengesankan.
Kalau ada waktu, berkunjunglah suatu nanti, kawan! Akan kawan temui sebuah dunia yang kan membuatmu jatuh cinta pada alam, pada petualangan…. Kawan!

*Dhito Nur Ahmad (Peserta SM-3T UNM di Maratua) 

Rabu, 26 Agustus 2015

Dalling, Kesenian Artistik Masyarakat Bajau

Kalau kawan pernah berkunjung ke Mayarakat suku Bajau, tinggal beberapa hari di sana, atau menghadiri salah satu pesta rakyatnya, pasti akan berkenalan dengan kesenian ini. Sebuah tarian, yang tentulah tak sepopuler Tari Saman di Aceh, Tari Jaipongnya Jawa Barat, Cakalelenya Papua, Tari Kecak di Bali, atau Tari Pakarena dari Makassar. Tapi Dalling, tetaplah eksis di komunitasnya, tetaplah pada ciri khasnya yang unik dan elegan. Merupakan tarian khas suku Bajau, kesenian yang sangat dicintai masyaraktnya, dipelajari dan ditarikan cewek-ceweknya sejak kecil, lalu dipentaskan pada setiap event, tak terkecuali di sekolah, atau event khusus (semisal pramuka) di tingkat kabupaten dan provinsi. Kalau Kawan orang penting dan suatu nanti ke Bajau, pasti juga akan disambut dengan tarian ini, memikat!
Selayaknya tarian bermuasal story sebagai tarian penyambut tamu atau penghibur raja di masa lalu, tarian ini mengutamakan kekompakan, ditarikan dengan glamour, elegan, dan diiringi musik khusus yang semarak, selayaknya tarian kebanyakan. Yang berbeda adalah pergerakannya lincah dan bisa dengan bebas divariasi sesuai kesepakatan para penari tanpa takut melanggar hak cipta.
Tak seperti tarian lain yang telah memiliki pergerakan khusus, dalling memiliki banyak sekali jenis, banyak variasi, dan banyak versi, yang kesemuanya itu bernama dalling, tanpa nama khas dari satu jenis movement. Inilah yang berbeda, dan ini menjadikan setiap tariannya tak terikat pada suatu kesepakan gerakan oleh penciptanya di masa lalu.
Masyarakat suku bajau yang memiliki apresiasi seni yang luarbiasa, juga aktivitas di pulau yang tak menyediakan banyak pilihan, membuat orang-orangnya haus hiburan. Membuat kesenian ini begitu popular. Saban hari, saat terjadi pesta rakyat, atau penyambutan pejabat, mengalirlah musik semarak, diiringi gadis-gadis yang (barangkali) sengaja dipilih yang cantik-cantik yang bergerak seiring sejalan menarikan tarian ini. Apalagi ditambah cewek-cewek suku bajau yang memang cantik-cantik dan manis-manis (hehe..h.)
(Tia, Welin, Lili, Elsa)
Tim Dalling Kelas VII SMP27
(Wirda, Emy, Amelia, Ariva)












Di sekolah, pada dua event seni yang pernah kami laksanakan (porseni sekolah dan Jambore kecamatan). Kompetisi dalling menjadi hal yang paling diminati, paling banyak pesertanya, paling ditunggu-tunggu, dan saat tampil paling banyak ditepuktangani. Mengenai hal ini, saya dan Adi (Peserta sarjana mendidik di SMPN 27 Berau) merupakan yang paling tertarik dan banyak bertanya, scaara kami berdua adalah dua pria baik-baik -__- yang belum banyak mengenal kebudayaan bajau.
Tak banyak yang paham, bahkan mungkin anak2 suku bajau pun belum banyak yang mengerti, Dalling membuatku terpaku pada dua keheranan: mengapa euphoria orang-orang sebegitu besarnya pada pertunjukan dalling, dan mengapa penarinya selalu anak muda (biasanya cewek-cewek)  Saya pernah secara khusus bertanya ke seorang siswa, yang juga penari dalling. Apakah tidak risih menari gaya begitu di hadapan semua orang? Yang gerakannya (Menurut pendapatku) terlalu bebas buat anak-anak (apalagi anak gadis), hingga tentu saja bertentangan jauh dgn agama mereka, yang pertanyaanku itu justru dibalikkannya padaku: mengapa mesti risih?
Saya pun sampai pada kesimpulan, ini memang kesenian yang fantastif, yang murni kesenian, yang selalu, tak ada karya seni yang sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah persoalan subyektifitas penilai. Justru, acungan jempol dan perasaan bangga sangat layak diberikan atas kecintaan masyarakat suku Bajau pada produk keseniannya. Keinginan mereka agar Dalling tetap eksis telah sunguh-sungguh terwujud, dan ini adalah sisi fantastis lain yang patut untuk diapresaisi…. Dan itu membuatku menemukan banyak alasan untuk berbahagia, tinggal di komunitas masyarakat suku Bajau.
Dhito Nur Ahmad