Pages

Minggu, 18 Juni 2017

Langit Malam

Oleh : Dhito Nur Ahmad
(Harian Budaya, Fajar_ 2013)

Malam ini, aku seperti sebatang kayu yang selalu bisu, selalu diam.  Memandangi langit malam yang juga bisu. Segalanya terasa sunyi: bebintang yang kerlap-kerlip, hembusan angin malam yang menggerakkan dedaun, suara anjing yang menggonggong dari kejauhan, juga jalanan depan rumah yang nyaris lengang semalamam. Ini sudah jam sebelas malam, aku masih duduk pada sebuah bangku-bangku di depan rumahku, melihati bebintang di petala langit, sambil merenungi nasib, menakar masa depan yang nampak suram.
Seperti malam-malam sebelumnya, merenung di tempat ini selalu membuatku mengkhawatirkan masa depan. Inilah tahun pertamaku benar-benar hidup sebagai pengangguran. Setelah kuliah usai, dan kenangan manis semasa mahasiswa meninggalkanku, tak ada yang lebih menggelisahkan selain bayangan kehidupan di masa mendatang. Cerita tentang perkamen rahasia yang sesungguhnya masih tergulung di atas sana.
 “Akan jadi apakah aku ini? Bagaimanakah diriku nanti di masa depan? Akan jadi orang sukseskah?”
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menari di kepala, menyeruak begitu saja ke dalam pikiran. Menjadi semacam teka-teki yang belum bisa terjawab. Bagaimanapun, hidup adalah misteri, masa depan tetaplah rahasia. Dan hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Masih kuingat percakapanku dengan kakak tertuaku pada sebuah pagi. Ia serupa seorang dermawan yang membawakanku nasib baik. Serupa tetes hujan yang membasahi tanaman yang layu. Aku tengah duduk di beranda rumah saat dia menghampiriku.
“Dua puluh juta, hanya dua puluh juta. Bayangkan!” serunya. Dia mengatakan dengan mata seperti mau meloncat. Barangkali berharap saya akan melonjak kegirangan.
Tapi itu tidak kulakukan. Aku hanya tersenyum sekedarnya.
Daeng, bukan ini yang kuinginkan.” Kataku, datar.
Dia terkejut seperti tersengat kalajengking saat kumengatakannya.
“ Hah! Kenapa? Ini peluang yang bagus. Menjadi PNS. Impian semua orang, tak semua orang punya kesempatan seperti kamu.”
“ Tapi aku tidak tertarik, aku tidak suka cara itu.” kataku tak kalah sengit.
Dan, setelahnya. Tahukah kau apa yang dikatakannya? Dia menuduhku sok suci, bodoh, berambisi yang lemah, dan tak punya masa depan.
***
Sehari setelahnya, Ibu menghampiriku dengan hati-hati. Aku tahu, dia pasti telah terkena hasut. Di awal percakapan, kalimat yang muncul di mulut Ibu adalah: Nak, saya tak tahu nantinya kamu akan jadi apa, saya juga tak tahu hidupmu akan bagaimana. Tapi ketahuilah, hanya ini cara yang saya tahu agar masa depanmu lebih baik.
Ibu berkata dengan kalimat yang dilembut-lembutkan.
“ Apakah itu berarti Ibu telah meragukan kemampuanku? Dari manakah Ibu akan dapat uang dua puluh juta itu?”
“ Bukan, bukan nak, Ibu bukan meremehkanmu. Uang dua puluh juta itu tak masalah buat saya, asal masa depanmu bahagia. Saya bisa menjual sepetak tanah warisan, asal kamu jadi PNS dulu.”
Aku menghela nafas, menatapi bola mata Ibu dalam-dalam. Sebuah telaga tenang, telaga yang tak pernah kering akan kasih sayang. Aku paham maksud Ibu, bahwa ia sangat menginginkanku hidup makmur di masa depan, bahwa ia menginginkanku terlepas dari pedihnya kemiskinan. Sejak kecil, aku didiknya dengan penuh tulus, diajarkan cara membaca dan mengaji, bahkan aku dikuliahkan sampai sarjana. Dan sekarang? Ia bermaksud mengorbankan sepetak tanahnya demi kehidupanku.
Ah Ibu, maafkanlah daku ini. Barangkali aku telah durhaka. Tetapi bagaimanapun aku tetap tak mau menempuh cara itu. Aku harus tetap setia pada kebenaranku.
Makanya, saat itu juga kukatakan sejujurnya penolakanku pada Ibu.
Ia pias. Matanya remang, barangkali tak percaya. Dan setelahnya, ah… ada air mata di sudut matanya. Pandangannya seperti meminta sedikit alasan mengapa menolak tawarannya.
 “Ibu, aku tak mungkin bahagia dengan cara seperti itu. Itu cara pintas Bu, agama kita melarang.”
Perempuan yang telah membesarkanku itu kemudian tersedu di depanku. Membuatku juga merasakan serak yang tak tertahan di dada. Tapi aku tahu, ia hanya bisa tersedu, hanya bisa menangis, karena ia tak pernah kuasa merubah budaya dan keadaan.
“Uang dua puluh juta itu juga bukan sedikit Nak….” Lirihnya.
***
Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana sebuah budaya tumbuh. Sewaktu masih kecil, sogok-menyogok tak pernah ada dalam kebudayaan kami. Sekarang, sudah serupa pohon raksasa yang akarnya telah kokoh menancap pada peradaban. Barangkali zaman telah salah menjelma di hadapanku.
Jelas aku menolak. Karena aku tak mau menerima keadaan begitu saja, bahwa nanti aku akan mati dalam dosa bergenerasi. Aku akan mewariskan dosa-dosaku pada anak, cucu, dan cicitku kelak, dan menjadi serial dosa yang tak berkesudahan. Gajiku nanti adalah uang ilegal yang didapat dari cara yang salah. Akibatnya, istri dan anak-anakku nanti akan makan dan dibesarkan dari uang haram. Oh tidak! Aku tidak sudi.  
 “Daeng Tayang kemarin telah membeli mobil baru, Sanniasa telah menjadi kepala sekolah, dan si Ali mengganti motor bebeknya dengan motor besar seharga 25 juta.” Tukas kakakku di suatu hari.
Aku tahu niatnya baik, tapi aku juga tahu dia tidak tahu cara yang baik. Aku bisa saja mengambil peluangnya. Toh nanti tugasku hanya ikut tes, menjawab soal sekedarnya. Dan akhirnya lulus, meski harus menggeser orang lain yang harusnya lebih berhak. Pekerjaan ini juga tentu saja akan membawaku menuju kemakmuran, membuatku terhindar dari pedihnya kemiskinan, tapi bukan membawaku menyongsong kebahagiaan, bukan mengarahkanku pada kebaikan.
***
Akhirnya, aku hanya bisa mengadu pada langit malam. Aku selalu duduk pada sebuah bangku-bangku depan rumahku, memandangi bebintang yang berbaris di petala langit. Merenungi nasib, menakar masa depan. Aku tak tahu, nantinya aku akan jadi apa, aku juga tak tahu hidupku nanti akan bagaimana. Yang kutahu, ini adalah cara yang salah.  Bagaimanapun, sogok menyogok tak pernah dibenarkan dalam budaya dan agama kami.  Tak pernah!
Sementara itu, kesunyian terus saja meliputi malam. Bebintang kerlap-kerlip begitu saja, angin selalu berhembus menggerakkan dedaun pohon mangga di samping rumah, dan jalan depan rumah yang nyaris lengang semalaman. Selalu begitu. (*)

Makassar, September 2013

Rabu, 07 Juni 2017

Pada Beberapa Kesempatan....

Pada beberapa kesempatan, saya masih sering berpikir. Kapan yah saya bisa keluar negeri, kapan kira-kira bisa jalan-jalan jauh, menembus batas negara sendiri, berkelana hingga jauh. Ini memang impian sejak mahasiswa, yang pernah pupus lantaran nasib dan takdir yang tak dimengerti cara mainnya. Saya pernah banting stir, membelokkan visi dan jalan hidup. Tak kesampaian ke luar negeri, saya pun mengikuti program yang berpeluang memberiku sensasi yang sama, saya mengikuti program pemerintah yang bisa membawaku pergi dari tanahku sendiri.
Saya tidak tahu, dari mana ini bermula. Semenjak saya bisa mengenal dunia dari bacaan-bacaan dan media, telah tertanam di kepala bahwa alangkah datarnya hidup kalau di sini-sini saja. Saya banyak membaca kisah-kisah perjalanan, bertemu backpacker-backpaker berani yang bermodal nekad pergi ke tanah seberang. Di Maratua dahulu, saya berkenalan dengan pelancong kanada, polandia, amerika, perancis, belanda, china, dan banyak negara asia dan eropa. Saya senang menanyai latar belakangnya, dengan bahasa inggris seadanya. Saya bisa simpulkan, sederhana saja mereka adanya, rata-rata tidak kaya seperti yang kita duga, mereka lebih mengandalkan tekad, keinginan menderita, dan menghalau segala khawatir dan manja demi memenuhi pemenuhan perluasan wawasan dan pengalaman hidup.
“Uang tiket biaya perjalanan ambil dari mana, sir?”
Saya pernah beberapa kali dengan serius menanyakan hal itu pada turis yang berbeda. Yang kusadari kini bahwa itu ternyata pertanyaan bodoh bagi seorang anak muda yang telah beranjak dewasa. Apalagi kalau itu diajukan kepada diri, atau yang memulai misi dan tujuan setiap yang dilakukannya dari uang. Hampir pasti, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak ada, tidak bisa, tidak mungkin.
Dunia luas bisa disadari keberadaannya dari terbukanya pemikiran, meluaskan pandangan, yang bisa mendapatkan sesuatu yang tak terbayangkan, pengetahuan, pengalaman, kedewasaan, teknologi, dan ilmu. Orang-orang yang seperti inilah yang bisa menemui keajaiban, mendapati ajaib kuasa ilahi. Pemuda yang menggendong tas butut dengan persiapan sebisanya, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring, yang kalau menderita sekali menderita, kalau jaya sekali jaya raya. Kurang lebih sama dengan orang-orang bugis, minang, dan jawa, yang saat ini menguasai perdagangan nusantara. Mereka bisa mendiami kampung orang dengan jaya dan bisa ditemui di seantero  negeri. Berbekal tekad, nekad, dan keinginan,  
Tak pernah terbayang saya akan berlama-lama di kampung. Apalagi saat telah menamatkan sarjana, tak ada hikmah apapun yang bisa diperoleh dari setiap kisah menderita, tak ada pelajaran yang bisa diambil, selain kesan sempit dan miskin pengalaman. Orang-orang perantau, serendah apapun ilmunya, ternyata secara mentalitas lebih pemberani, lebih kuat dan tahan malang dibanding tuan tanah. Para pemuda yang ditugaskan belajar jauh di negara maju secara mandiri, cukup dengan bekal prinsip-prinsip agama di dadanya, akan memiliki daya inovasi dan inisiatif yang lebih. Imajinasi mereka bangkit, rasa percaya diri menggeliat, dan sekembalinya, membawa sejuta pengalaman, cerita, dan perenungan yang membentuk visi mereka.
Ini masih tertanam di pikiran saya. Belum pernah saya keluar negeri, tetapi memilih tinggal menetap di kampung adalah hal yang sulit dan rasanya menggelisahkan. Tidak ada pertaruhan, tidak ada penaklukan dan kemenangan. Pergi, menemui banyak tempat. Menghadapai kemungkinan-kemungkinan yang sulit ditebak, membaur bersama gelisah, kemungkinan buruk, dan surprized pada kenyataan-kenyataan baik yang dipersembahkan oleh Tuhan.
Merantau, menempa diri, itu akan memuliakan diri. Kita tak akan menggampangkan agama, hidup akan sangat dekat dan merasa butuh pertolongan Tuhan. Hidup akan mengenal antisipasi, tak ada pilihan bermalas-malasan, dan sangat mengandalkan diri dibanding mengharap pertolongan keluarga dan teman dekat.
Di rantau, Tuhan lebih dekat. Meminta dan mengharap pertolongannya lebih sering dilakukan, dengan kualitas ibadah yang lebih baik. Itu menurut saya, dan berdasar kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam hidup saya. 

Melihat Papua dari Perspektif yang Dekat


Sebuah rumah kecil dan mungil. Tempat bernyanyi banyak orang di dalamnya. Segalanya sederhana: rumah, pakaian, apa yang dimakan, harapan, dan mimpi-mimpi. Rumahnya dibangun sederhana dan seadanya, meski sesungguhnya kaya dan banyak uang. Penyikapan mereka terhadap hidup seadanya, tanpa keinginan bermegah-megah dan berbangga-bangga. Rumah mereka dibangun pada tempat yang kaya, dibelakangnya belantara dengan segudang gaharu, kayu belantara, tanah-tanah menjanjikan. Di hadapannya sungai bersambung ke laut, berhulu di gunung. Emas di perutnya, mutiara di lautnya, berlian di gunungnya, burung surga di langitnya. Tersedia.

Saya dengar bapak mereka kuat. Perempuan dan laki rupa sempurna. Berotot dan kekar, buat menyulam dunia dengan sejumput harapan yang gamang, dengan silaunya yang getir. Tapi kini, pondasinya telah ubanan, angin masih sepoi, tapi tak kunjung lagi bertengger di beranda-beranda rumah mereka. Bahkan disokongnya juga segala harapan dan cita-cita.

Papua, dengan rupa ramah dan eksotis. Sebuah persembahan agung dari sang pencipta. Penyikapan terhadap hidup sederhana saja adanya dan jelas hidup mereka -meski sederhana- lebih berbahagia dibanding kita. Tak banyak membandingkan, tak terlalu banyak perhitungan dan antisipasi. Kehidupan beragamanya juga harmonis, jauh lebih harmonis dibanding jawa. Islam berkembang dengan sangat baik dan eksis. Bahkan lebih eksis, jauh lebih mendalam dan aktif aktivitas keberadaannya dibanding yang berada dalam kungkungan dan lenaan mayoritas.

Saya berada dalam kondisi yang agama tidak boleh diabaikan. Dia penting, sepenting bernafas setiap 3 detik yang kalau tidak diikuti bisa merana. Dia berharga, seberarga secarik peta harta karun yang bisa memakmurkan di dunia.

Anak sekolahnya, bukan salah mereka kalau mereka belum secerdas yang di kota, hidup mereka terisolir, tinggal di belantara, di antara alam, gunung dan pantai-pantai. Tak banyak fasilitas belajar. Tapi secara moralitas, penghargaan mereka terhadap agama, pendidikan, orang tua, guru, bahkan terhadap diri, jauh lebih hebat dibanding para pelajar di makassar yang telah terbilang cerdas itu, yang telah punya banyak pilihan, dan sangat berpeluang jadi anak yang sopan, baik-baik, dan cerdas. Tapi aduhai, ditengah kemudahan itu, terlena dalam kubangan mayoritas. Menggampangkan perangai. Semakin cerdas, justru semakin sulit menghargai guru, agama, dan pendidikan.

Saya telah mengajar di banyak tempat. Telah mengajar di kota provinsi, di kabupaten, sampai pada daerah paling pedalaman. Sepanjang ingatan, telah bisa saya menarik garis pembanding, mengira-ngira kenapa, terheran-heran, kok bisa?! Melihati kenyataan, anak-anak pedalaman papua jauh lebih sopan dibanding siswa-siswa di kota. Lebih membahagiakan mengajar mereka.

Belajar dari papua, yang kita kenal keras kuat dan bebal itu. Ternyata setelah mendatanginya, setelah kita lihat dari perspektif yang dekat. Melihat kehidupannya, bagaimana mereka hidup, seperti apa mereka berprinsip dan berpikir, punya sisi menarik dan lebih maju dibanding yang di kota. Jauh lebih arif, jauh lebih indonesia, jauh lebih memahami agama, dibanding para sarjana, para orang yang telah diakui pintar, yang telah menghabiskan puluhan tahun sekolah. Jauh lebih pintar dari pencetus undang-undang ham dan perlindungan anak, para pengikut demokrasi, para analis pendidikan, para wartawan dan pemirsa tv.


Segalanya butuh dilihat dari perfektif yang dekat, termasuk pendidikan. Kalau pendidikan semakin merusak moral, berarti itu bukan peningkatan, ada hal yang butuh diubah. Karena hanya akan merusak esensi sesungguhnya dari pendidikan itu sendiri. Dan itulah yang terjadi pada dunia pendidikan sekarang. Banyak hal diartikan secara brutal. Semisal, kekerasan dalam kondisi apapun itu dilarang, setiap aktivitas fisik adalah kekerasan, guru adalah orang yang selalu dicurigai. 

Terimakasih Athirah

Tergerak hati saya untuk menuliskan. Sebuah pekerjaan asing, karena telah lama tidak saya lakukan. Semua tentang Athirah, sekolah kami, tempat kami belajar, yang merupakan sekolah kereen dan terbilang terbaik di negeri ini. Tak bohong orang bilang. Tak pernah saya temui sekolah dengan sistem seperti ini sebelumnya, dimana agama dan moralitas ditempatkan di atas apapun. Al-qur’an dijunjung tinggi, prestasi dibidik sempurna, dan martabat-budaya athirah tidak ditinggalkan. Tak pernah saya berpikir sebelumnya bisa bergabung, bahkan tak tinggi-tinggi impian saya terhadap sekolah ini. Tetapi, saya sangat bersyukur, bisa berkesempatan belajar, bergaul dengan guru-gurunya, dan menjadi bagian yang bisa memasuki kelas-kelasnya, menyapa siswa-siswanya, dan menjadi teman belajar saya.
Tidak keliru rupanya, sekolah ini diberi nama dengan begitu menarik dan percaya diri: Athirah. Mengingat nama itu merupakan interpretasi dari sebuah nama yang mulia, seorang ibu yang lembut, pendidik seorang pemimpin nasional yang tangguh, dan pengangkat harkat martabat bugis di mata dunia. Sejak dahulu, orang-orang bugis, unggul dibidang perdagangan, politik, dan keberanian. Dan itu, diharapkan tercurah juga pada setiap siswa Athirah, orang-orang yang berksempatan belajar di dalamnya, termasuk guru-gurunya.
Sekolah ini sederhana saja sebenarnya, dengan struktur dan sistem seperti sekolah kebanyakan. Yang tidak sederhana adalah, kualitas pemikiran guru-gurunya, kebersamaan yang mereka bentuk, kedisiplinan kerja, dan totalitas-dedikasi dalam menyelesaikan tugas.
Kalau kawan berkesempatan bergabung, setiap pagi jam 6.15 pagi, guru-guru pasti telah berkumpul disebuah ruang melaksanakan briefing, yang terkadang diisi dengan pengarahan kepala sekolah, tadabbur Al-qur’an, dan yang lebih sering adalah pembacaan bersama Surat Lukman. Itu, dilaksanakan dengan kebersamaan yang sangat terasa, percandaan yang mengakrabkan, hingga hanya ada cinta di hati mereka. Kegiatan briefing tersebut, selalu ditutup dengan doa’a yang agung, perwujudan pengharapan, bahwa setelah upaya terbaik dilaksanakan,  segalanya diserahkan kepada Allah, berharap dibantu dan diberi kekuatan serta petunjukNya. Kalau bertemu siswa-siswanya, kawan akan disapa “Assalamualaikum Pak.....” lalu tangan-tangan mungil mereka akan mencium tanganmu, senyum terbaik mereka akan ditumpahkan seluruhnya kepadamu.     
Athirah sungguh memberi saya banyak. Saya, dengan latar belakang mengajar di daerah 3t, yang terbiasa berhadapan dengan siswa-siswa pesisir dan pedalaman, yang berupaya maksimal bagaimana membuat siswa aktif di kelas, agar tidak gurunya saja yang aktif sendirian. Di Athirah, kami justru ditempa sebaliknya, kami diperhadapkan pada siswa-siswa yang superaktif, dengan pertanyaan macam-macam, reaksi yang berbeda, yang butuh dikendalikan, diarahkan, pada saat tertentu didiamkan, dan dibentuk. Penanganan yang berbeda tentu dibutuhkan, juga kesabaran, keikhlasan, dan semangat pengabdian.
Guru-guru Athirah, ketika memiliki seratus alasan untuk berhenti, menyerah, dan ogah2an, mereka hanya butuh satu alasan, satu saja, yang membuat mereka tetap tinggal dan bertahan, berjuang dan mengabdi, memberikan yang terbaik. Satu, yang mengalahkan banyak, yang punya kekuatan lebih, yang seolah puncak segala alasan dan kekuatan, yang dicipta Tuhan dengan formasi khusus di hati mereka: cinta.
Dan hari ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menerima pula surat cinta, dari siswa-siswa saya di Athirah, cinta sepenuh-penuh dari mereka, yang tentu saja tidak melibatkan perasaan aneh semacam sakit kepala dan usus.
Saya mengucap terimakasih. Atas segala haru, sedih, dan bahagia yang saling berbaur. Adik-adik saya yang baik, yang diluar dugaan saya, Alhamdulillah bisa saya diterima di kelas, menjadi bagian dari orang yang belajar bersama mereka. Siswa-siswa saya, yang super-aktif, yang cerewet, senang senyum-senyum kalau belajar, dan sangat rajin bertanya, meski pada hal-hal remeh dan tidak penting. Tetapi mengandung muatan sempurna, bahwa kemampuan untuk tampil di manapun, mentalitas orang-orang panggung, mereka miliki. Hingga tak heran sering menjuarai berbagai kompetisi bergengsi. Bersama mereka, kadang saya merasa melampaui diri, melebihi kemampuan yang kukenal, kadang pula merasa hilang diri, tak seperti yang kukenal.
Terimakasih Athirah, terimakasih teman-teman belajar saya. Atas senyum manis bapak kepala sekolah dan ketiga wakaseknya, Pak Aji (Zainuddin), Ibu AF, Ibu Hasni, teman-teman guru, juga adik-adik saya di kelas VIII.4 dan VIII.5, yang telah memberi warna, memberi saya pengalaman senang, bahagia, juga pengalaman marah, sedih. Sungguh sebuah pengalaman yang akan saya butuhkan di masa depan. Saya telah berupaya, memaksimalkan yang saya bisa, agar bisa menjadi teman belajar yang asyik, jadi serupa ibu yang penyayang, ayah yang melindungi, kakak yang pemarah, dan sahabat yang baik. Tetapi tetap, segala hal-hal baik yang diniatkan, yang dilakukan dengan cinta besar yang kita punya, selalu saja punya sisi kurang. Saya merasa ini bukanlah apa-apa, dan saya menjadi bukanlah siapa-siapa. Kisah saya akan berlanjut, menuju tempat yang berbeda.
Sebelum kisah saya berpindah, kami sempatkan berfoto bersama, dengan pimpinan dan guru-guru, dengan siswa-siswa saya. Saya merasa, ini merupakan keakraban yang tak biasa, sebuah sensasi kebersamaan yang tak mungkin ternilai dengan materi, dan itu telah kami kekalkan dengan foto bersama. Melengkapi sealur cerita yang telah kami ukir bersama di sekolah terlanjur kereen, dengan siswa-siswa yang Anggun, Unggul, dan Cerdas: Athirah.......
dna