Pages

Selasa, 31 Mei 2016

Cantik Itu Sakit



Oleh : Dhito Nur Ahmad

Aku mengenal pria itu dua bulan lalu. Dia datang bersama senja dan menyejukkan tubuhku dengan sinaran lembutnya. Betulkah dia mencintaiku? Entah. Yang kutau dia bilang mencintaiku, kemudian setelahnya melukaiku dengan teramat dalam. Bahkan menggelapkanku ke dalam bayangan hitam yang kelam, aku hampir saja tak mendapat petunjuk pulang setelah kejadian itu.
***
Sebuah hari yang tak sederhana, aku mengenalnya pada suatu hari yang tak kumengerti. Hari itu, aku telah mendapati diriku berada pada sebuah tempat bersamanya. Hanya kami berdua. Saat itu, masih sore. Masih kulihat cahaya matahari yang memantul di balik jendela wisma. Sepi, tak ada suara, hanya suara letupan jantung yang kurasa terasa merobek dada. Tentu saja kau telah tau apa yang telah kami perbuat saat itu.
Setelah itu, keadaan tambah senyap. Perasaan itu pun lenyap. Dia memintaku untuk melupakan semua kejadian itu. Aku pun tak ada pilihan lain selain menerima kejadian sore itu. Lalu kami, dia dan aku berpisah seolah tidak pernah terjadi apa pun, membawa sejuta penyesalan yang mungkin akan diratapi suatu saat nanti. Kawan!  inilah cinta dan kekasih yang pertama menyalamiku. Sesuatu yang banyak dipuja-puja jutaan manusia di bumi
Ceritanya sederhana. Aku, adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di kotaku. Jauh sebelum aku di sini, aku adalah wanita kebanyakan di kampungku. Aku hidup jauh di pelosok kabupaten. Sebuah desa kecil yang damai, Bertani dan berkebun adalah aktifitas utama di desaku, termasuk ayahku. Meskipun begitu, desaku tergolong maju, masyarakatnya makmur. Mungkin seperti desa kebanyakan di kabupatenku, yang sedikit berbeda adalah adat dan kultur masyarakat di desaku yang mendapat pujian dari banyak kalangan. Desaku terkenal sebagai basis kultur islam yang kokoh, sebuah anugerah terindah yang di anugerahkan Allah kepada desaku. Tentu saja termasuk aku dan sanakku.
Aku besar di pesantren, dari TK sampai Madrasah Aliyah semua kuhabiskan di kampung halamanku sendiri. Belajar ilmu agama dan segala unsur pendidikan yang berlaku di pesantren. Semua menyenangkan, hidupku sangat ceria. Tapi itu dulu, dulu sekali ketika aku belum mengenal dunia secara luas.
Setamat Aliyah, adalah semacam ketakterdugaan ketika aku berkesempatan untuk kuliah di Makassar, kota pusat pendidikan dan peradaban modern di Indonesia timur. Tanah baru, suasana baru, dan tentunya dengan tantangan yang baru.
Maka, di sinilah aku sekarang. Berkenalan dengan langit dan tanah lain yang tak pernah kutemui di kampungku. Sangat mengasyikkan, lambat laun aku semakin merasakan sebuah perkembangan kehidupan. Kadang-kadang terbersit di pikiranku akan tidak enaknya kehidupanku dulu. Tak seperti sekarang, dulu tak pernah aku untuk sekedar jalan-jalan di mall, nontong di bioskop, atau sekedar ke tempat wisata yang indah dan menenangkan. Aku begitu merasakan kebebasan yang tak terhingga, tak ada lagi aturan ketat kampungku yang seakan memenjarakan, jilbab kutanggalkan, karena keadaan yang tak memungkinkan. Pun melihat teman-temanku melepas jilbabnya saat pulang kuliah. Sekarang baru kurasai semuanya. Wuuih..! hidup ini indah ternyata!
Semua berawal pada suatu hari. Aku masih ingat hari itu. Sore. 12 November 2010. Aku melihat sebuah gejolak yang resah pada kedalaman mata seorang lelaki. Saat itu dia memujiku cantik, wanita tercantik yang pernah ia lihat. Setelahnya, dia kemudian bilang mencintaiku dan menanyaiku perasaanku terhadapnya. Dan aku menolaknya, lalu pergi di hadapannya. Tapi, peristiwa itu tidaklah membuatnya menyerah, dia mengejarku dengan berbagai macam caranya. Dia sungguh perhatian terhadapku. Jika bertemu di kampus, dia selalu menggodaku, selalu bilang bahwa aku ini cantik.
Lalu betulkah aku cantik? Aku tidak tahu. Yang kutahu teman-temanku pun sering bilang begitu. Lalu hal apakah yang bisa kuambil dari kecantikan ini?
Sepekan setelahnya, aku berjumpa dengannya secara tak sengaja, di kos seorang kawan, matanya begitu dalam memandangiku, menembus jauh di relung hatiku. Dia mengenalkanku dengan suatu keadaan yang sama sekali asing buatku. Sore itu, hatiku telah ditaklukkannya tanpa perlawanan. Dia telah merubahku menjadi kekasihnya, laki-laki yang telah membuatku menjadi ember yang siap menampung apa pun yang ditumpahkan kepadaku. Aku sendiri tak tahu, senangkah aku dengan kejadian itu. Cintakah aku kepadanya? Entah! Yang jelas dia bilang cinta kepadaku, dan aku pun mengangguk pasti ketika sore itu dia menanyaiku hal serupa.
Di tempat itu lah kami sering duduk berdua. Menggunakan waktu yang telah tersedia untuk kami. Hari itulah kami larut dalam sebuah kenangan yang mungkin akan menjarahku seumur hidup. Kelarutan dihadapan kekasih adalah bayangan bau neraka yang menyengat, tapi itu nanti dirasakan pada saat kekasih itu telah tiada. Kurasai betul, bahwa sungguh tak mudah untuk hidup dalam dunia yang aneh ini. Aku, cinta, dan dosa cinta begitu tipis perantaranya, seperti berada dalam satu dunia yang sulit dipilah. Namun, itulah aku. Wanita kebanyakan abad ini. Wanita yang mungkin tak aneh di masa yang menjunjung tinggi budaya baru yang tak berpendirian.
Setelah itu kami berdua terhenyak. Dan mulai sama-sama perih dengan keadaan yang tak tertahankan. Semua menyayat, seakan mau membunuhku karena kubang penyesalan yang amat dalam.
Lalu, bencikah aku padanya? Cintakah aku padanya? Aku sungguh tak tahu apakah aku membencinya atau mencintainya, yang jelas dia pernah bilang mencintaiku.
Makassar, 2010