Pages

Minggu, 21 Desember 2014

Senyum Anak-anak Teluk


Saya sungguh terharu pada perjuangan anak-anak Teluk Alulu untuk dapat sekolah. Kehidupan mereka taklah anak-anak sekolah kebanyakan di Indonesia. Kampung mereka jauh di pulau, ditempuh dengan darat sejauh 7 kilo meter, lalu dilanjutkan dengan perahu kecil (katinting) selama satu jam perjalanan. Mereka, umumnya adalah anak-anak nelayan, kopra, dan pemanjat kelapa. Hidup melarat di kampung terluar, terpencil, dan tertinggal. Di sana, mereka terabaikan, dikampung yang seolah ditelan laut luas, sejak kecil tak pernah berkenalan dengan listrik pemerintah, bahkan ada yang mengaku tak pernah menonton tv, hingga Indonesia yang di kepalanya hanyalah sebatas pulau tinggalnya saja.

Saya pernah ikut berlibur ke kampung mereka, menyebrang dengan katintin yang mereka nahkodai sendiri. Di katinting, mereka bercerita tentang kampong mereka dan berjanji mengantarkanku ke tempat-tempat yang indah. Di kampung merekalah saya paham: Seorang anak, berusia belia yang belum mengerti hidup dan tak ngerti pentingnya sekolah, harus berjuang melewati beratnya rintang, meninggalkan kampung dan belajar merantau sejak smp untuk dapat sekolah. Mereka, sudah harus sadar sejak dini, melawan orang tua saat masih kecil lantaran pesimisme orang tua-tua pedalaman yang masih tak percaya dengan sekolah. Kalau tidak, taklah bisa mereka sekolah, menjadi bagian anak-anak kebanyakan yang setelah tamat SD tinggal di kampung membantu ayah menangkap ikan dan bertani kopra.
*Buat Mereka, Teluk Aluluan: Elsi, Reki, Tio Van Hoten, Septori, Lili Trikia, Ari Andi Ramadan, Wardi, Achmad Rido, Sanipa, Bella Sheilvia, Emy Syafitri, Sarwenda, dan Yoland


Maratua, Berbahagia dalam Keterbatasan

*(Risto, SMPN 27 Berau di Pulau Maratua)

Maratua… merupakan salah satu pulau penempatan peserta SM-3T Universitas Negeri Makassar. Terletak di Pulau terluar Kabupaten Berau-Kaltim, yang berbatasan laut langsung dengan dua negara tetangga (Malaysia dan Filipina). Hanya terdapat dua kendaraan menuju ke sana, yang pertama dengan menggunakan kapal barang, butuh 12 jam kurang lebih perjalanan dari Tanjung Redeb dengan kendaraan ini, berbiaya normal 50 ribu rupiah (biasanya sang nahkoda menggratiskan untuk guru-guru yang mengabdi di pulau). Sedangkan, akses yang kedua bisa ditempuh dengan speedboat, ditempuh 4 jam dengan biaya 250 ribu rupiah. Pulau ini berpenduduk asli Suku Bajau, berbaur dengan suku perantau yang kebanyakan Bugis dan Jawa.

Sejak pertama kali datang, rasanya tak ada yang paling sakit saat mengetahui dan mengalami segala realitas kehidupan daerah pedalaman yang terpencil dan terisolir. Tak pernah ada listrik pemerintah, penerangan hanya mengandalkan genset yang menyala dari maghrib hingga jam 10 malam. Barang-barang kebutuhan sangat mahal, air hanya mengandalkan hujan, dan tak ada signal, satu-satunya tempat bersignal adalah di dermaga (Dermaga Pelepas Rindu). Maka, angin malamlah yang lebih banyak menyaksikan, angin yang sejak beratus-ratus tahun lalu selalu setia menggerakkan pepohon kelapa yang berbaris rapi di semenanjung. Saya selalu setia di dermaga, melepas rindu pada dunia luar. Beranjak bersama malam, dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya.

Sebagai daerah terpencil, dan berbatasan laut langsung dengan Negara tetangga. Salah satu masalah terbesar adalah nasionalisme. Kemampuan terbaik selalu berusaha kuberikan, membantu peserta didik bergembira dalam belajar. Memastikan, bahwa mereka, anak-anak negeri dalam keadaan baik-baik saja, tak kurang suatu apa di dadanya, tak pudar segala semangat di hatinya. Kami tak hanya belajar di kelas, berdialog diselingi canda dan tawa, biar mereka terbahak meski suguhan situasi sama sekali tak menawan

Hingga akhirnya secara perlahan, saya telah semakin bisa beradaptasi, telah makin cinta pada masyarakatnya yang ramah, terharu pada perjuangan anak-anak pulau untuk dapat sekolah, dan terpesona pada kecantikan alam Maratua yang para turist menjulukinya sebagai “paradise islandTak apa beras mahal, dan kami hidup dalam segala keterbatasan, tapi Maratua, selalu menawarkan petualangan yang mengasyikkan, membuatku mampu menaklukkan banyak hal dan makin merasa sebagai “laki-laki”… dan akhirnya, saya makin menyadari suatu hal… bahwa Semakin terbatas, semakin kita menemukan banyak alasan untuk berbahagia.