Pages

Jumat, 14 Desember 2012

Cerita Tentang Losari

Bersama kenangan, akan selalu ada cerita tentang kesedihan. Ketika matahari telah mulai temaram di ufuk barat, juga burung camar yang pulang ke sarang. Dan langit yang selalu berwarna lembayung, selalu begitu, selalu sunyi. Lalu, bersama hembusan angin akan ada cerita kesenduan, tentang kesunyian pandangan seorang lelaki yang melihat siluet senja di balik kaca mobil yang melintas di losari.



Di sini, kemurungan itu tercipta begitu saja. Remeh sekali, seremeh pertanyaan seorang turis yang suatu senja datang- entah dari mana- dan bertanya tentang kesunyian, aku hanya tersenyum sekedarnya, berharap dia menemukan sendiri kesunyian disenyumanku. Di sini, akan ada lelaki yang mengembara sendirian dalam sunyi, bersama imajinasi dan angan-angan.



Tapi uphy, aku ingin bercerita kepadamu, tentang kesunyian kenangan yang pelan-pelan telah meramaikan ingatanku. Bersama angin yang berhembus, dari je’ne berang sampai ke paotere, dari tanjung sampai ke penghibur, semua seolah mengabarkan tentang sebuah senja yang begitu menyedihkan, senja yang menunggu kedatanganmu, untuk mengganti keheningan jadi keramaian, kesunyian jadi sumringah.



Uphy, ini belum malam, senja masih merona. Burung camar masih terbang rendah di Lae-lae. Datanglah segera, lalu dengarkanlah cerita tentang seorang lelaki yang begitu menyedihkan karena menunggu kedatanganmu.

***

Uphy, Masihkah kau ingat, tentang hari yang pernah menelanjangi pikiranku? Kau harus tahu, bahwa diantara pantulan jingga sore ini, aku mengenangmu telah bersamaku pada suatu sore yang jingga, di kotamu. Saat itu, kita sama duduk di taman kota dekat rumahmu, dan kau bercerita tentang senja yang sangat kau kagumi, senja yang telah mampu membuatmu menulis puluhan puisi keindahan.



Aku pun sebenarnya tak hendak mengenangmu terlalu dalam, namun hari-hari yang melintas selalu menghadirkan senja yang jingga. Seolah menyapa dan mengingatkanku selalu padamu. 9 bulan berlalu bagaikan 9 hari, rentang waktu selalu berlalu begitu cepat dan tak menyisakan ruang diingatanku untuk melupakanmu. Gombalkah Uphy? Ah biarlah, aku tak peduli.



Sekarang, di Losari, tiba-tiba aku serasa berada dalam sebuah ruang, hanya kita berdua, tak ada sesiapa. Kau tersenyum, dan langsung membacakan puisi keindahanmu yang dulu pernah kau bacakan padaku. Dan aku, bagaikan buih-buih sabun yang melayang di udara. Jantungku berdegup kencang sekali. Aku merasakan kembali sebuah ritma yang 9 bulan lalu pernah menjangkitku.



“Kau...” Kataku tertahan saat menyaksikan perempuan bugis itu telah tampak sangat jelas di hadapanku. Kau seperti biasa, berdiri begitu saja, mematung. Matamu kemudian menerawang, jauh. Aku merasa senja telah berbaik hati padaku saat ini, aku merasa telah benar-benar melihat rupamu.



Anjungan ini sederhana saja sebenarnya, tapi kau nampak sangat mengaguminya. Losari, yang dirancang dengan menampilkan 4 etnis pribumi sulawesi selatan. Dan kau, begitu ingin banyak tahu cerita tentang losari, bukannya ingin mendengarkan cerita tentang senja yang telah lama kupersiapkan buatmu.

Baiklah uphy, aku akan bercerita saja tentang losari, aku sungguh tak kuasa melawan keinginanmu, aku begitu lemah di hadapanmu.



Ini merupakan salah satu monumen kebanggaan Makassar. Tempat sepasang kekasih, senja, turis, penguasa, pengamen, pengemis, penyair, dan pelancong memainkan lakonnya sendiri. Bagiku, losari selalu menawarkan kebisuan -meski tidak untuk hari ini- seolah menyediakan sepenggal keindahan, tapi sejatinya adalah kamuflase kehidupan yang menyesatkan.



Ini juga merupakan monumen kampanye para penguasa. Tempat orang-orang yang mengaku nasionalis membangga-banggakan losari sebagai karya monumentalnya, meski harus menggeser alokasi dana yang harusnya lebih berguna. Losari, bagiku merupakan lambang kapitalis, tempat orang-orang membangun fisik, dan lupa membenahi moril dan akhlak penghuninya. Budaya penguasa kota ini tentu tak lain cerita, uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, hotel, sekolah bertingkat, mall, dan seabrek keindahan fisik lainnya, dibangun dan dibanggakan kepada orang-orang.



Ah, atau barangkali aku saja yang terlalu sentimentil Uphy?! Entah, yang jelas cerita tentang losari akan selalu mengingatkan betapa budaya asli kita tidak lagi beroleh tempat penting. Lihat saja tingkah sepasang kekasih yang duduk di Altar itu, seolah seorang komunis yang tak pernah mengenal agama dan Tuhan. Kataku sambil menunjuk altar rumah yang menyerupai bangunan Pallawa di Toraja.



Kau hanya tersenyum, remeh sekali, sambil mengernyitkan dahi ke pantulan senja yang menyembul di atas awan. Atau barangkali kau menganggapku telah merayumu dengan cerita tak masuk akal?



Tak hanya itu, sesungguhnya ada banyak sekali cerita tentang losari, bukan hanya tentang budaya penguasa yang mementingkan fisik, atau tentang perangai turisnya yang seolah tak beragama, tapi juga banyak cerita lain, tentang seorang lelaki yang sedang kasmaran hingga tak mampu menangkap keindahan senja, tentang anak pantai yang sedang mengarak perahu ke laut untuk mencari ikan, atau tentang warna air yang tak lagi kebiruan karena sampah kota, juga ada cerita tentang pulau lae-lae yang begitu eksotis di sore hari.



Di Losari, angin akan tetap berhembus, dari je’ne berang sampai ke paotere, dari tanjung sampai ke penghibur, jauh membentang sepanjang selat makassar.

Ketika matahari makin jingga. Kita, bagaikan sepasang kekasih yang sedang duduk di bangku-bangku pantai. Lalu, tiba-tiba segalanya begitu hening, hanya ada satu dua orang yang tampak lalu lalang di belakang kita. Pengemis, pengamen, dan turis-turis seolah terbuai pada sunset yang membayang.

Di losari petang ini. Serombongan burung camar melintas di udara, dua diantaranya terbang rendah menyapa permukaan laut yang tak pernah berhenti bergerak. Matahari pun sudah bersembunyi di peraduannya, angin berhembus perlahan, menjemput malam di makassar.

Makassar, 20 Oktober 2012



3 komentar:

  1. Tulisannya keren. Bahasanya mengalir dan tertata. Banyak info yang bisa diambil dari tulisan ini. Seain kisah romantis pastinya.

    Uphy..??? Jadi penasaran.

    BalasHapus
  2. hehehe... ini hanya penamaan Dikpa, sangat dibutuhkan untuk penguatan karakter tokoh. uphy itu mewakili jutaan nama yg bisa kupake... ckckck

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus