Pages

Senin, 16 Maret 2015

Maratua, Paradigma Sosial dan Pendidikan!

Maratua, adalah salah satu pulau yang terdapat di kabupaten berau, kaltim. Berpenduduk 40% perantau, yang berasal dari banyak daerah yang berbeda. Pulau ini berpenduduk asli Suku Bajau, dan juga didiami suku perantau: Bugis, Makassar, buton, dayak, jawa, dan Lombok. Tidak keliru rupanya pulau ini dijadikan sebuah pulau pariwisata oleh pemerintah kabupaten berau. Alamnya indah, pohonnya banyak, dan pantainya bersih berpasir putih.

Di pulau inilah, kami (sarjana mengajar SM-3T Univeritas Negeri Makassar) ditempatkan, menjadi salah satu pulau yang dianggap perlu diberdayakan oleh pemerintah. Tidak tanggung-tangung, saya (Dhito), ditempatkan bersama 3 teman lain (Putu, Adi, Chaerul), menjadi bagian dari rombongan (keluarga) besar SM-3T UNM, memaksimalkan berbagai macam persiapan, dididik dengan keras, lalu di sebar ke banyak daerah di Indonesia (Berau, Manokwari, Teluk Bintuni, Waropen, Kepulauan Sitaro, dan Kepulauan Aru)

Di Kabupaten Berau, kami berangkat berombongan dari Makassar sampai ke sini. Maka berkumpullah kami, ke-29 peserta sarjana mendidik di kabupaten yang beribukota Tanjung Redeb ini, disambut, difasilitasi, lalu disebar ke berbagai kecamatan (Maratua, Derawan, Batuputih, Tabalar, Talisayan, Kelay, Segah, dan Biatanhilir)

Saya, yang ditempatkan di pulau maratua. Lalu apa yang terjadi dengan kami, dan bagaimana keadaan alam, penduduk, dan pendidikan di pulau ini? Kami mengalami semacam shock condition, menyalami berbagai macam peristiwa yang mengejutkan dan diluar perkiraan, dipaksa beradapatasi dengan cepat, dan dibuat pontang-panting melayani siswa-siswa. Kami dianggap orang yang sangat pintar, bahkan terlalu pintar untuk seukuran kepala mereka. Mampu bekerja selayaknya mesin, mengajar dari pagi sampai jam pulang, dan mampu mengajarkan hampir semua mata pelajaran yang tak ada gurunya.

Kami mempercayai sepenuhnya bahwa untuk menciptakan pendidikan berkualitas dan mencetak siswa yang ideal diperlukan berbagai macam sarana vital pendukung. Semakin lengkap sarana pendidikan yang ada, semakin tinggi pula peluang untuk mencerdaskan. Siswa-siswa di maratua, tepatnya di SMPN 27 Berau, nampaknya mengalami masalah pada hal itu, disamping (tentu saja) kualifikasi guru dari segi kualitas dan kuantitas yang kurang.

Maka tentulah, hal yang mudah kita perkirakan akan terjadi, tak perlulah kita tanyakan kualitas siswa-siswa. Mereka tinggal dilingkungan terisolir, air bersih mngandalkan hujan, barang-barang dua kali lipat lebih mahal dibanding Makassar, tak ada listrik, dan juga tentu saja tak ada tv dan radio. Maka hasilnya adalah, mereka kebanyakan masih kesulitan memaknai beberapa kata yang didaerah lain sudah lazim diucapkan, seperti kata: definisi, tragedi, tragis, kritis, motto, apresiasi, dan semboyan.

Positifnya banyak juga. Kebanyakan orang tua-tua mereka sopan, sangat sopan malah, apalagi kalau sama guru. Meski tak serupa halnya dengan siswa-siswa, yang kebanyakan bandel selayaknya anak remaja kebanyakan. Hal santer dan paling mudah disalahpahamkan saat ia memanggil kau pada gurunya, tapi setelah mempelajari seksama, saya berkesimpulan bahwa itu bagian dari budaya mereka, bagian dari kebiasaan umum yang sulit dirubah, dan itu berterima sebagai hal yang sopan dalam lingkungan umum mereka. Hal positif lainnya, tentu saja mereka terhindar dari efek buruk teknologi, dan masih mengandalkan permainan traditional.

Sebuah kisah, beberapa bulan saya di maratua. Ada rombongan artis datang dari Jakarta, termasuk diantaranya jenifer lopes, budi doremi, dan rombongan kru tv, mereka sedang syuting acara “paradise” di kompas tv dan “mancing mania” di trans7 (kalau tidak salah). mereka stay di sana selama tiga hari, pada sebuah tempat penginapan yang kebetulan berdekatan dengan tempat tinggal saya.
Sore hari mereka menghambur bersama ke Dermaga Pelepas Rindu (disingkat DPR), satu-satunya dermaga bersignal, berbaur dengan masyarakat, mereka berusaha menyapa, dan tak ada diantara mereka yang merespon berlebih atau memperlakukannya selayaknya fans seperti di daerah lain. Tak ada yang peduli, tak ada yang ingin foto bersama, atau lebih tepatnya tak ada yang mengenali, bahkan tak ada yang tahu bahwa mereka ini adalah yang sering nongol di tv. Saya kemudian membayangkan kotaku, Makassar. Di sana, artis diperlakukan selayaknya orang mulia, dipuja dan dijadikan idola. Kedatangannya direspon dengan segala macam tindakan aneh, panggung diirikan, orang dikumpulkan, dijadikan tempat beriklan, wartawan didatangkan, lalu menjelmalah artis itu seolah berhala yang punya banyak penyembah.

Sisi kurangnya, siswa tak update informasi ilmu terbaru. Kualitas intelektual siswa stagnan dan itu-itu saja. Di sekolah pekerjaan guru makin berat.




Perubahan kualitas siswa yang tidak dibarengi perubahan kualitas guru mrupakan sebuah kemustahilan, sedangkan perubahan itu sendiri menjadi keniscayaan yang pasti dan harus terjadi. Sebutlah misalnya, apa yang terjadi di smp 27 berau, meskipun fasilitas sekolahnya bisa dibilang standarlah untuk daerah sekelas maratua yang terluar dan terisolir, tapi secara kuantitas mereka kekurangan guru, ditambah lagi jika salah satu guru punya urusan di tanjng redeb, bisa berpekan-pekan baru kembali. Penyebabnya apa? Karena ombak, perahu yang melintas kurang, speedboat yang harganya mencapai 300ribu sekali pergi, dan juga (sebagian besar karena) kesadaran pengabdian mreka yang masih kurang. Belum lagi secara kualitas, kualifikasi mereka belumlah layak disebut ideal, meskipun kata ideal ini masih menjadi sesuatu yang sangat luas untuk diperbincangkan.

Meski, tahukah? gaji PNS di sini berkisar antara 8- 12 juta per bulan, kepala sekolah tentulah lebih dari itu. Gaji PTT (Honorer kalo di Makassar) di sini mencapai 5,2 juta per bulan. Tapi secara kualitas kerja, memprihatnkan untuk diperkatakan, kawan. Pengawas sekolah meski ada dan bergaji tapi (seolah) tak pernah ada, tak pernah ke sekolah (smp 27) lihat keadaan. Itulah sisi lain yang mengherankan dan perlu dijawab. Pemerintah bukannya tak tahu, sekretaris dinas pernah curhat ke saya dan mengatakan penyakit guru-guru di Berau, yang kebanyakan malas dan sulit diatur. Tapi ia menunjukkan optimism bahwa semoga sm-3t banyak membantu di situ.


Di Sekolah saya (mungkin jg di sekolah lain di berau). Bahan pemicu pertengkaran antarguru adalah uang Bosda dan Bosnas yang jumlahnya tak kira-kira itu. Jumlahnya ratusan juta, sementara yang hendak dibiayai tak banyak, maka jadilah dilemma. mengelola uang bukanlah keahlian guru. Perdebatan sering terjadi, belum lagi guru dan kepala sekolah yang mengurusi itu biasanya sangat lama dikota mengurusi dana BOS dan meninggalkan tugas utamanya di pulau.