*(Risto,
SMPN 27 Berau di Pulau Maratua)
Maratua…
merupakan salah satu pulau penempatan peserta SM-3T Universitas Negeri
Makassar. Terletak di Pulau terluar Kabupaten Berau-Kaltim, yang berbatasan
laut langsung dengan dua negara tetangga (Malaysia dan Filipina). Hanya terdapat
dua kendaraan menuju ke sana, yang pertama dengan menggunakan kapal barang, butuh
12 jam kurang lebih perjalanan dari Tanjung Redeb dengan kendaraan ini, berbiaya
normal 50 ribu rupiah (biasanya sang nahkoda menggratiskan untuk guru-guru yang
mengabdi di pulau). Sedangkan, akses yang kedua bisa ditempuh dengan speedboat,
ditempuh 4 jam dengan biaya 250 ribu rupiah. Pulau ini berpenduduk asli Suku
Bajau, berbaur dengan suku perantau yang kebanyakan Bugis dan Jawa.
Sejak
pertama kali datang, rasanya tak ada yang paling sakit saat mengetahui dan mengalami
segala realitas kehidupan daerah pedalaman yang terpencil dan terisolir. Tak
pernah ada listrik pemerintah, penerangan hanya mengandalkan genset yang menyala
dari maghrib hingga jam 10 malam. Barang-barang kebutuhan sangat mahal, air
hanya mengandalkan hujan, dan tak ada signal, satu-satunya tempat bersignal
adalah di dermaga (Dermaga Pelepas Rindu). Maka, angin malamlah yang lebih banyak menyaksikan, angin
yang sejak beratus-ratus tahun lalu selalu setia menggerakkan pepohon kelapa
yang berbaris rapi di semenanjung. Saya selalu setia di dermaga, melepas rindu
pada dunia luar. Beranjak bersama malam, dari satu kesepian menuju kesepian
berikutnya.
Sebagai daerah terpencil, dan berbatasan laut langsung
dengan Negara tetangga. Salah satu masalah terbesar adalah nasionalisme. Kemampuan
terbaik selalu berusaha kuberikan, membantu peserta didik bergembira dalam
belajar. Memastikan, bahwa mereka, anak-anak negeri dalam keadaan baik-baik
saja, tak kurang suatu apa di dadanya, tak pudar segala semangat di hatinya.
Kami tak hanya belajar di kelas, berdialog diselingi canda dan tawa, biar
mereka terbahak meski suguhan situasi sama sekali tak menawan
Hingga
akhirnya secara perlahan, saya telah semakin bisa beradaptasi, telah makin cinta
pada masyarakatnya yang ramah, terharu pada perjuangan anak-anak pulau untuk
dapat sekolah, dan terpesona pada kecantikan alam Maratua yang para turist
menjulukinya sebagai “paradise island”
Tak apa beras mahal, dan kami hidup
dalam segala keterbatasan, tapi Maratua, selalu menawarkan petualangan yang
mengasyikkan, membuatku mampu menaklukkan banyak hal dan makin merasa sebagai
“laki-laki”… dan akhirnya, saya makin menyadari suatu hal… bahwa Semakin
terbatas, semakin kita menemukan banyak alasan untuk berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar