Pages

Minggu, 21 Desember 2014

Senyum Anak-anak Teluk


Saya sungguh terharu pada perjuangan anak-anak Teluk Alulu untuk dapat sekolah. Kehidupan mereka taklah anak-anak sekolah kebanyakan di Indonesia. Kampung mereka jauh di pulau, ditempuh dengan darat sejauh 7 kilo meter, lalu dilanjutkan dengan perahu kecil (katinting) selama satu jam perjalanan. Mereka, umumnya adalah anak-anak nelayan, kopra, dan pemanjat kelapa. Hidup melarat di kampung terluar, terpencil, dan tertinggal. Di sana, mereka terabaikan, dikampung yang seolah ditelan laut luas, sejak kecil tak pernah berkenalan dengan listrik pemerintah, bahkan ada yang mengaku tak pernah menonton tv, hingga Indonesia yang di kepalanya hanyalah sebatas pulau tinggalnya saja.

Saya pernah ikut berlibur ke kampung mereka, menyebrang dengan katintin yang mereka nahkodai sendiri. Di katinting, mereka bercerita tentang kampong mereka dan berjanji mengantarkanku ke tempat-tempat yang indah. Di kampung merekalah saya paham: Seorang anak, berusia belia yang belum mengerti hidup dan tak ngerti pentingnya sekolah, harus berjuang melewati beratnya rintang, meninggalkan kampung dan belajar merantau sejak smp untuk dapat sekolah. Mereka, sudah harus sadar sejak dini, melawan orang tua saat masih kecil lantaran pesimisme orang tua-tua pedalaman yang masih tak percaya dengan sekolah. Kalau tidak, taklah bisa mereka sekolah, menjadi bagian anak-anak kebanyakan yang setelah tamat SD tinggal di kampung membantu ayah menangkap ikan dan bertani kopra.
*Buat Mereka, Teluk Aluluan: Elsi, Reki, Tio Van Hoten, Septori, Lili Trikia, Ari Andi Ramadan, Wardi, Achmad Rido, Sanipa, Bella Sheilvia, Emy Syafitri, Sarwenda, dan Yoland


Maratua, Berbahagia dalam Keterbatasan

*(Risto, SMPN 27 Berau di Pulau Maratua)

Maratua… merupakan salah satu pulau penempatan peserta SM-3T Universitas Negeri Makassar. Terletak di Pulau terluar Kabupaten Berau-Kaltim, yang berbatasan laut langsung dengan dua negara tetangga (Malaysia dan Filipina). Hanya terdapat dua kendaraan menuju ke sana, yang pertama dengan menggunakan kapal barang, butuh 12 jam kurang lebih perjalanan dari Tanjung Redeb dengan kendaraan ini, berbiaya normal 50 ribu rupiah (biasanya sang nahkoda menggratiskan untuk guru-guru yang mengabdi di pulau). Sedangkan, akses yang kedua bisa ditempuh dengan speedboat, ditempuh 4 jam dengan biaya 250 ribu rupiah. Pulau ini berpenduduk asli Suku Bajau, berbaur dengan suku perantau yang kebanyakan Bugis dan Jawa.

Sejak pertama kali datang, rasanya tak ada yang paling sakit saat mengetahui dan mengalami segala realitas kehidupan daerah pedalaman yang terpencil dan terisolir. Tak pernah ada listrik pemerintah, penerangan hanya mengandalkan genset yang menyala dari maghrib hingga jam 10 malam. Barang-barang kebutuhan sangat mahal, air hanya mengandalkan hujan, dan tak ada signal, satu-satunya tempat bersignal adalah di dermaga (Dermaga Pelepas Rindu). Maka, angin malamlah yang lebih banyak menyaksikan, angin yang sejak beratus-ratus tahun lalu selalu setia menggerakkan pepohon kelapa yang berbaris rapi di semenanjung. Saya selalu setia di dermaga, melepas rindu pada dunia luar. Beranjak bersama malam, dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya.

Sebagai daerah terpencil, dan berbatasan laut langsung dengan Negara tetangga. Salah satu masalah terbesar adalah nasionalisme. Kemampuan terbaik selalu berusaha kuberikan, membantu peserta didik bergembira dalam belajar. Memastikan, bahwa mereka, anak-anak negeri dalam keadaan baik-baik saja, tak kurang suatu apa di dadanya, tak pudar segala semangat di hatinya. Kami tak hanya belajar di kelas, berdialog diselingi canda dan tawa, biar mereka terbahak meski suguhan situasi sama sekali tak menawan

Hingga akhirnya secara perlahan, saya telah semakin bisa beradaptasi, telah makin cinta pada masyarakatnya yang ramah, terharu pada perjuangan anak-anak pulau untuk dapat sekolah, dan terpesona pada kecantikan alam Maratua yang para turist menjulukinya sebagai “paradise islandTak apa beras mahal, dan kami hidup dalam segala keterbatasan, tapi Maratua, selalu menawarkan petualangan yang mengasyikkan, membuatku mampu menaklukkan banyak hal dan makin merasa sebagai “laki-laki”… dan akhirnya, saya makin menyadari suatu hal… bahwa Semakin terbatas, semakin kita menemukan banyak alasan untuk berbahagia.
  

   

Minggu, 14 September 2014

Catatan Perjalanan (29 Bolang SM-3T) Di Berau*

Oleh: Dhito Nur Ahmad (Risto)

Sore, 29 Agustus 2014, setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan serta menyinggahi tempat-tempat yang asing. Akhirnya sampailah kami di Kabupaten Berau. Sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Kalimantan timur. Kami, rombongan sarjana mendidik (SM-3T), berjumlah 29 orang, didampingi dua dosen kereen kami (Pak Suardi dan Pak Jumadi), bermaksud ke Berau bukan untuk berwisata, bukan pula untuk jalan-jalan, tapi malam itu di kepala kami telah tergambar bahwa esok, kami akan masuk dalam sebuah ruangan yang (cukup) mewah, ada banyak orang, ada tepuk tangan meriah, spanduk yang dibentangkan besar-besar di hadapan, dan pajangan foto-foto yang dideretkan rapi di dinding. Pun, Pak Bupati akan menyambut kami secara khusus. Sekadar seremonial, yang pastinya akan ada ucapan selamat, akan ada ceramah panjang tentang pentingnya pembangunan kualitas pendidikan, foto-foto bersama, juga jabat-jabat tangan bersama. Dan itu semua dilakukan dengan ramah dan dipaskan untuk mngena di hati.

Dan betullah, pertama kali datang, di penjemputan area bandara kami disambut dengan hangat sekali oleh Pak Prapto, pak wakil kadis yang katanya diutus khusus oleh Kepala Dinas untuk menyambut kami. Senyumnya lebar, kumisnya tipis, serta punya tata kesopanan yang seukuranku berlebihan. Kami diangkut dengan dua bus, masing-masing menuju ke hotel yang berbeda (Hotel Sanggam dan Nirwana). Berau adalah sebuah kabupaten yang tak bisa dianggap kecil, perjalanan dari bandara ke hotel kami rasakan lumayan jauh, 25 kilo kurang lebih. Kabupaten yang  beribukota Tanjung Redeb ini merupakan kota yang sedang berkembang dan membangun, dimana-mana kami disuguhi dengan pemandangan pekerja-pekerja proyek yang sedang memperbaiki jalan, di jalan-jalan umum kita disugui dengan pajangan-pajangan semacam: mohon maaf, jalan sedang dalam perbaikan, atau maaf, jalan Anda sedang dialihkan. Saya kemudian teringat tentang beberapa literatur dan berita yang pernah saya baca dan dengar, bahwa kaltim ini merupakan kota industri yang kaya dan punya sikap dermawan tak terkira. Penghasil batu bara, gas alam, dan minyak tertinggi, dan itu semua diserahkan dengan kereen dan elegan sekali pada asing. Sementara, telah kusaksikan sekarang, kotanya sendiri tak terlihat maju, dari rumah-rumah penduduknya tampak bahwa mereka belum sesungguhnya sejahterah. Dan saya yakin mereka telah dilukis dengan sangat professional oleh asing untuk tunduk dan patuh. Maka terngianglah di benak saya sebuah tindak yang paling saya benci: Kolonialisme.

Malam hari, akhirnya bertemulah 14 anak muda bugis-makassar yang sedang mengawali rantau di Kota Berau. Di hotel, pertemuan selalu makin kami intensifkan, percandaan dan segala hal remeh-temeh tentang tugas mulia, meluruskan niat, sikap patriotik, kemungkinan situasi buruk, dan juga tentang…hm, cinta, selalu kami bicarakan dengan hangat dan akrab. Hingga kami rasa tak ada ruang bagi kami untuk bersedih. Saya, zam, chaerul, dan iccank, menjadi serupa komoditi ekspor berkualias selangit diantara 10 perempuan-perempuan lain teman kami (chepi, ully, mirna, misna, kasma, lia, ani, irma, erna dan dillah). Scara… kami berempat adalah pria baik hati dan jauh dari sifat sombong (-__-)

Selain itu, tak lupa pula kami bicarakan tentang Paskhas, maksudku, kisah-kisah yang kami lewati bersama di asrama Paskhas-AU. Dalam hal ini, chepi, sebagai wanita paling cerewet dan mengaku diri paling cantik (heheh) paling banyak bercerita. Segala yang bernama penderitaan bersama, tentara-tentara yang keras tapi punya sikap lembut mengagumkan itu, tentang muasal niat kenapa bergabung di sm3t, tentang kemungkinan hidup malang selama setahun, juga tentang kejadian-kejadian lucu saat camping bersama di lereng bukit moncongloe, maros. Ah chepi dan ully adalah yang paling tau, telah sangat jago bercerita dan sepertinya sudah berpengalaman dengan segala hal yang berhubungan dengan perasaan. Dan saya? Yang merasa berkarakter asli pendiam dan berusaha memosisikan diri senyambung mungkin, tak banyak berkomentar apa-apa. Tapi atas nama kesetiakawanan, sebagai sumber untuk lebih banyak belajar, pun sebagai bahanku untuk menulis, kudengarkan semuanya baik baik, kusimpan di memoriku, juga kurekam beberapa adegan yang menurutku penting.

Maka betullah, saya memang yang harus lebih banyak belajar. Pertemuan kami selanjutnya, saya mengalami banyak hal yang mesti kupelajari lagi, semisal bagaimana menambah confident saat jadi korban percandaan teman, bagaimana membuat orang tertarik dan terkagum-kagum dengan ceritaku, juga tentang cara memberi semangat dan bangga pada diriku sendiri melebihi caraku melakukannya pada orang lain.

Apa yang terjadi pada kami selama berada di hotel, telah cukup menunjukkan bahwa kami sudah sangat akrab. Rahasia-rahasiaan telah sebagian besar dibongkar, hingga akhirnya kami harus mengakhiri moment kebersamaan itu dengan perpisahan yang mengharukan. Saya bersedih tentu saja. Moment terakhir kebersamaan, saat teman-teman sehotel, juga teman lain yang menginap di hotel nirwana bertemu bersama, pada sebuah acara penyambutan oleh bupati, kepala dinas, camat-camat, dan kepsek-kepsek di sebuah ruangan. Kami harus saling merelakan, Zam, sang wakorkab –bersama Pardin- bertugas di Kelay, mengajar anak suku dayak dalam Kalimantan. Ainun, sang sekretaris sekaligus inisiator dan yang paling banyak ide tentang kami, bersama Ika, Eni, Syifah, dan Innah di tempatkan di Kepulauan Derawan, sebuah pulau wisata yang indah dan terluar. Sementara Chepi, sang bendahara, bersama Kasma bertugas di Talisayang. Teman-teman yang lain, tersebar rata ke banyak daerah (Segah, Batu Putih, Tabalar, Biatan, dan Maratua) berjauhan satu sama lain.

Sebelum berpisah, tentu saja ritual yang tak kami lupakan adalah berfoto bersama, berlatarkan gedung dinas kota Tanjung Redeb, ke-29 orang teman, bersama kedua dosen pendamping kami (pak suardi dan pak jumadi) yang setelahnya menyalami kami dengan hangat sekali, membisiki kami kalimat menyemangati (terutama analogi adaptasi pisangnya Pak Suardi), dan juga mengingatkan kami untuk tetap menguatkan koordinasi.

Kami merasa masih harus bertemu dalam waktu yang tidak (terlalu) lama, untuk saling bercerita pengalaman di penempatan, untuk menyampaikan hasil observasi awal sebagai bahan program kerja pengabdian, mengalternatifkan segala masalah yang mungkin saja dihadapi teman di lokasi, dan juga memantapkan segala hal yang berhubungan dengan koordinasi. Kami (saya, zam, ainun, chepi dan teman lain) adalah orang yang paling membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Terutama, tentu saja kerjasama dan kebersamaan dari teman-teman SM-3T Berau yang lain, semoga segala yang telah dipogramkan dengan mantap sekali dapat berjalan dengan mengagumkan dan berujung pada hasil pengabdian yang mengesankan.

Akhirnya, sampailah kami di masing-masing penempatan. Saya makin merasakan, makna kebersamaan dan hangatnya persahabatan justru setelah kami berpisah. Sebuah sensasi membahagiakan, dan selalu saya rindukan. Sampai jumpa pada kisah indah kita yang lain. Salam hangat dari kami, dari pulau indah dan terluar, Maratua. (Dhito, Adi, Ilu, dan Putu)
*korkab


Rabu, 27 Agustus 2014

Sedang Ingin Berkisah

Kawan, sini. Marilah sini! Duduklah di dekatku, saya ingin bercerita. Bersediakah kau mendengarnya? Bersedia yah! Ayolah! Jangan gitu ah, saya akan senang sekali jika kau bersdia jadi pendengarku. Baiklah, untuk mempersingkat waktu-_- kumulai saja ceritanya. Begini. Penahkah kau melihat skawanan jin yang berdiskusi berhadap-hadapan selayaknya manusia? Pernahkah kau mengadakan pembicaraan dengan teman-temanmu untuk kuliah di negeri jin? Atau percayakah kamu jika jin itu sendiri sekarang tengah duduk bersamamu dan membantumu membaca catatan ini? Percaya? Hoh, tidak? Hm… baiklah, saya juga tak percaya bahwa kau akan percaya. Tapi sudahlah. Saya tak akan bercerita tentang itu. Tak sekarang. Saya akan bercerita tenang kami, kita, dan sealur cerita yang kami ukir dengan sangat sderhana bersama teman-teman seperjuangan di PASKHAS TNI-AU.
Siapakah kami dan bagaimanakah kami? Ah, biarlah itu jadi lipatan rahasia yang cukup kami saja yang tahu. Kau tak perlulah, atau ah, baiklah, begini, jika kamu sangat ingin tahu, dan ingin merasai pula, lebih mendekalah, saya akan membisikimu: di sana itu, membahagiakan, lebih dari sekdar cinta pertama, lebih, lebih dari skdar itu.
Jika kau ingin menjadi bahagia, kau tak perlu bersusah-susah sekolah tinggi-tinggi, bekerja keras pagi-malam, atau memburu jabatan yang disediakan Negara. Cukuplah kau jadikan dirimu menderita semenderita mungkin, sakit sesakit mungkin, menangis semenangis mungkin. Lalu kemudian kamu kemudikan dirimu ke tempat yang lain, bandingkan stelahnya, itulah bahagia. Atau kusarankan bgini, kalau perlu, cambuklah dirimu di suatu hari, hari setelahnya kamu akan merasai dan benar-benar menikmati sensasi: alangkah bahagianya hidupmu.
Itulah yang tengah kurasakan kawan, dan itulah pelajaran pertama yang bisa kubagi padamu, dan bahagia itu, benar-benar bisa kurasakan setelah diajar mngubah keadaan buruk yang sngaja diciptakan itu jadi pembahagia. Dan diakhir cerita, kami betul-betul merasakan bagaimana kebersamaan itu, bagaimana disiplin itu, bagaimana mengatur diri itu.
Di sini pula, kami belajar saling mencintai (cinta yang bukan melibatkan rasa yang aneh itu yah!) Pun, kisah kami akan tetap seperti ini adanya. Dan… inilah dia….. teman-teman saya….



Di sini kami saling mengingatkan diri, bahwa di luar sana, ada spesies yang sangat berbahaya buat kita, yaitu mahluk aneh dan ditakdirkan hidup dalam raga kita, sesuatu yang kadang mnyetir kita jatuh cinta, benci, selalu ingin bersenangsenang, menunda hal penting, dan bermain fb lama-lama. Besok lusa, dengan mudahnya ia akan mengarak kita ke pembuangan. Ingat itu yah, teman-teman…..
Jika kamu punya pacar dan berkata tak bisa melupakanmu, maka mulai sekarang mulailah blajar lupa (utk sementara). apalagi kalau yg mengatakan bahwa setiap saat yang dipikirannya selalu ada kamu, tanyakanlah satu tambah satu jumlahnya berapa. jika jawabannya adalah kamu, maka betullah. jika tidak, berarti dia pmbohong kelas amatiran yang utk sementara harus kamu lupakan -_-. Tapi jika kamu punya teman baik dan mengatakan hal serupa padamu, percayalah, ia bukan sahabat, bukan, tapi makhluk yang harusnya membuatmu bersiap-siap jika kisah hidupmu nanti meluncur sangat menyakitkan. Masuk akal?
Akhirnya, saya ingin mengakhiri cerita ngawur ini dengan ucapan selamat. Selamat. Kepada kawan-kawan seperjuanganku di bawah ini.


Tetaplah semangat, tunjukkan yang terbaik, jadikan kebersamaan adalah nafas kita (togetherness is our breath). Insya Allah impian kita bersama terwujud, melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan anak bangsa, dan mewujudkan generasi emas Indonesia. Ingat, kata komandan PASKHAS TNI-AU: Modalnya hanya semangat, semangat.  itu saja.


Selasa, 12 Agustus 2014

Pada Musim Hujan Kali Ini…


Menurutmu, bagaimanakah rasanya kehilangan orang yg paling dicintai dalam hidup? Sakit pastinya. Bagiku, seperti kehilangan satu-satunya harapan untuk hidup. Pernyataan itu sebenarnya pernah kuungkapkan dalam status saya di fb (agak lamami). sesuatu yang juga tak kutau mengapa saya merasa perlu membaginya. Tapi sungguh, saya pernah merasa menyesal sekali karena menuliskanya. Bahkan, sering ingin marah pada diri saya. Belakangan ini, saya merasa terlalu dikuasai sama fb, hingga segala sesuatunya mesti dishare, mesti melapor. Itulah, sebenarnya saya pun tidak bgitu nyaman sama orang yg terlalu sering curhat di fb. Ingin sekali kukatakan, bahwa fb itu bukan apa2, tak harus menjadi semacam candu yang mudah sekali mengatur hidup. Sebenanya, saya pun telah beberapa kali berencana menutup akun saya, meskpun tak pernah jadi sampai sekarang.

Dari dulu memang kusadari, saya memang tak pandai mengungkapkan sesuatu dengan cara yang lucu dan menyenangkan, tak pernah saya bisa menggoda orang dengan ceita tak masuk akal namun disenangi, apalagi membuat org menangis karena ceritaku. Mungkin seperti yang selama ini org sangka: saya terlalu gugup, terlalu pesimis. Maka kuputuskan saja untuk mengungkapkan segalanya dengan menulis. Sesuatu yang menurutku lebih saya kuasai ketimbang berbicara langsung.

Makanya, saat ini kuputuskan untuk menuliskan semuanya, dan mungkin takkan kujawab tentang musabab pertanyaan yg kulontarkan di awal tadi. Kalau saya bersedih, mestikah ada alasannya? Harusnya ya, segala sesuatu yg terjadi memang butuh alasan. Tapi ini? Saya sendiri tak tau bisa bgini, hingga saya merasa tak butuh alasan utk bersedih, atau lebih tepatnya tak perlu kukatakan padamu alasannya, karena tak dikatakan pun pasti tahu. Pun, saya tak bgitu senang dgn nasehat yang memintaku tabah, sabar, dan semacamnya.

Kehilangan org dicintai memang sakit. Seperti kehilangan segalanya, kekuatannya mampu melenyapkan segala mimpi, bahagia, dan membuat kita seolah tak berjarak dengan sepi. ia hadir begitu saja tanpa kuasa dibendung, tanpa bisa dicegah, lalu kemudian  membawa lari satu2nya alasan utk melanjutkan hidup. Sekedar tahu saja, ia sangat mencintaiku, bahkan sebelum kepergiannyapun namaku selalu disebutnya, bahwa betapa ia ingin diriku jd org . Dan betapa aku pun berupaya mewujudkan yg ia inginkan dariku, tapi tak sempat lagi.

Lamami memang beliau pergi, sudah lebih 8 bulan, tepat di akhir tahun, dan dimusim hujan. Tapi sejak saat itu selalu ada masalah dengan diri kalau sedang sendirian, kalau bukan takut, pasti menangis, dan hujan menjadi musim yg datang tak beraturan di hati, semaunya. Lalu, semuanya terjadi begitu saja, seperti tak membutuhkan alasan utk terjadi. Juga menjadi slah satu pengompor utk mewujudkan cita-cita lamaku untuk pergi, dirantau, meninggalkan makassar dan kampungku.

Entah ini karena apa, sy merasa kek… hidupku bermula dari situ. Dan lagi2 entah knp, pada musim hujan kali ini saya mrasa perlu menuliskan ini dsini. Juga, ini adalah rencana ksekian saya utk tak terlalu aktif membuka fb saya, atau membukanya hanya utk sesuatu yg penting saja.



Rabu, 06 Agustus 2014

Kengerian di Televisi


(Persepsi Pribadi)

Saya sungguh berharap suatu nanti akan kembali ke alam, tanpa televisi, dunia yg orang sebut hiburan itu, yg –sungguh- mengeraskan hati itu, yang gemar menyajikan informasi menyesatkan itu.

Saya memang hanya bisa menulis, mengekspresikan penilaian melalui tulisan dan tak mampu melakukan yang lebih, semisal program tandingan, atau menggalang massa untuk menolak, juga kalau kukirimkan ke media pasti tak dimuat, pasti. Tapi tahukah? Sakit, sakit skali rasanya, saat melihat keponakan, adik, sepupu, tante, bahkan nenek saya yang telah sangat gemar tertawa (tidak pernahmi kayaknya menangis karena terharu), dihadapan acara tak bermutu, semisal fesbukers, dahsyat, yks, family100, dan yang semisalnya.  

Kualitas seseorang sangat ditentukan oleh 2 hal: kualitas bacaan dan tontonan. Dan pemerintah kalau benar-benar memihak rakyat (bkan pengusaha media) sebenarnya punya kesempatan dan tempat yang emas utk mencerdaskan melalui siaran TV -benahiki itu media kassian- ia harusnya benar-benar tahu mana siaran yang layak, yang boleh. Jangan justru kita diperlakukan seperti orang stress semua yang butuh hiburan berlebih.

Juga, mestinya, orang-orang pintar dinegeri ini, yang kita sebut pakar itu, atau ahli itu, tahu betul dampak dari sesuatu yang kita sebut hiburan itu, sesuatu yang tiap hari disuguhkan itu, yang selalu berusaha membuat ketawa itu. Bahwa sebenarnya, telah  menjadi alat perusak moral buat anak-anak dan remaja kita. Mengapa? (jawab sendirimi nah! -__-)

Kebanyakan hadir pula seorang sinis, seolah bijak padahal tak peduli “Kalau tak suka, yah gampang, tinggal pencet remot dan ganti chenel” masalahnya tak sesederhana ituki karaeng, masih banyak masyarakat kita yang tak tau memilih, tak tahu mana baik dan buruk, tak tahu memilih mana yg merusak anaknya mana tidak, bahkan ada pula tak tahu apa itu pilihan, mereka hanya diajarkan definisi memilih=mencoblos. Ada pula orang yang sedang ada masalah dgn kepalanya, lalu terhidang pula masalah di tv, semakin masalahlah ia. Dan yang terbanyak, orang yg telah sungguh tahu baik buruk tapi punya keputusan mengejutkan.

Okelah, tv itu dibutuhkan utk informasi. Sekedar itu saja, jangan dilebihkan dari kebutuhan. Tak usahmi 24 jam siarannya, tak perluji 5 kali sehari beritanya kalau selalu ituji diulang2 dan tidak adami lagi berita penting, tak usahmi tambah acara lagi kalau tidak adami lg acara baik-baik ditau. Kasian itu pemirsa kasian, dia tak tahu dia sedang menonton pembodohan, mmboroskan waktunya, dan menonton yang sia-sia. Pembodohan tragedi pilpres misalnya, sebenarnya ini bkn kemenangan rakyat, tapi kemenangan metrotv dan kekalahan tvone, orang2 kreatif dibalik media iniji yang sebnarnya yang paling banyak berperang, yang menggalang dukungan, menciptakan opini, yang bilang jangko kampanye hitam pdhal dia yang begitu, yg ingatkan org2 penting utk netral pdhal dia yg tidak, yg menyerukan pemilu damai pdhal dia yang pancing….

Mengerikan sekali itu televisi. Banyak siaran tak penting dan ambisi pribadi didalamnya. Disanami diajarkan demokrasi, definisi toleransi yang salah, juga ditanamkan dikepalanya org bahwa seksi itu boleh, islam tak larang. Dan masalah ini tak semudah ungkapan “tinggal pencet remot dan ganti chenel”. Ada tanggungjawab moral dan kode etik di dalamnya.
*DNA

Di Akhir Cerita*


Oleh: Dhito Nur Ahmad

Di akhir cerita, yang kulakukan hanyalah merelakan, menemukan dirimu di tempat biasa, mengelus-elus lembut rambut panjangmu, memeluk lehermu erat sambil menahan diri agar tak menangis. Lalu melihatimu berdiam di tempat pemotongan, diikat setelahnya, lalu berontak tak berdaya lantaran sesuatu telah digorokkan di lehermu. Pun, di akhir cerita ini, aku hanya bisa menangis.

Tapi hari ini, pagi-pagi sekali, kau masih berdiri di halaman rumah. Memakan remeh-temeh rumput yang sejak bertahun lalu selalu tumbuh di situ, dan bersedia menemanimu. Iballang, kudaku, masih juga seperti dulu, gagah perkasa, kuat dan pendiam.

Aku duduk di tangga rumah, melempar pandang sejauh mungkin: ke awan-awan langit, ke sawah di hamparan, dengan sungai yang berkelok di tengahnya. Sebentar lagi, kau akan pergi, dan kampung akan riuh. Orang-orang akan berpesta, keluarga terdekat akan datang, dan kau akan semakin menjauh. Ingin sekali rasanya aku mengajakmu ke hamparan sawah itu. Paling tidak di sana kita akan melepas rindu pada hamparan rumput di pematang, juga aliran air sungai yang selalu setia mengalir sejak dulu.

Ataukah kau juga sudah rindu teman masa kecil kita itu? Mari! Kita berkunjung lagi, Mengunjungi palung ingatan terjauh, kisah masa kecil, sesuatu yang bernama kenangan. Ketika aku mengajakmu ke sawah, mengusir pipit, berjalan di pematang. Bermain di sungai, mandi-mandi. Lalu aku akan makan bersama dengan anak gembala, dengan ubi dan jagung bakar hasil kebun. Lalu kita akan pulang menjelang senja, dan kau tetap setia menawarkan punggungmu untuk kutunggangi, melewati pematang yang melengkungi hamparan sawah luas yang menguning. Ah, kenangan!

“Tak perlu terlalu dipikirkanlah, Nak” suara Ayah tiba-tiba menimpali

“Tidak, Ayah.” Suaraku serak, sedikit menyembunyikan kesedihan.

Tak mungkinlah ia merasakan pesta desahan itu, tak mungkinlah ia bisa mengerti sesuatu yang ada dalam hatiku ini. Bahwa nanti, aku harus merelakan kuda kesayanganku, sahabat masa kecilku ini disembelih, lalu digunakan untuk berpesta. Tak tega.

Sejak sepekan lalu, rumah Daeng Simba telah dibanjiri orang. Orang kampung datang beramai-ramai, menggelar tikar di Paladang, bermain domino dan kartu reme. Sehari lagi pesta berlangsung, tiga hari kedepan kampung akan riuh. Orang akan berpesta, elekton sudah siap, panggung sudah didirikan, dan ballo’ sudah tertampung berbaskom-baskom di belakang rumah. Sebagai orang berada, juga merupakan keturunan karaeng. Merupakan sebuah aib jika tak ada pesta besar, tak kedengaran elok jika tak ada tiga ekor kuda besar yang dibariskan di halaman rumah sebelum disembelih untuk pesta pernikahan. Juga beberapa keluarga yang datang membariskan mobil di halaman.  

Yuly, gadis semata wayangnya. Telah siap dilepas bersama suaminya. Sejak sepekan lalu, ia tak diizinkan kemana-mana, dirumah saja, menghabiskan waktu di depan cermin, mempercantik diri, menatap ranjang baru yang terbuat dari kayu jati. Kasur dan sepreinya mungkin sudah diganti, lembut mewangi, menyejukkan hati sembari menunggu hari yang membahagiakan banyak orang itu.

 “Berapa uang?” begitu tanya Daeng Kebo, membuka percakapan malam ramai itu.

Daeng Simba tersenyum, tak banyak tingkah, berusaha merendah.

“Tidak banyak Nak. Hanya sedikit beras, uang dan perhiasan. Tak perlu banyak-banyak, asal ada pembeli asam dan garam.” Begitu ia katakan, sambil tersenyum tentu saja.

“Sedikitkah itu Karaeng? Lima kuintal beras, uang 50 juta, juga dengan 20 gram emas. Panaik yang setimpal, Karaeng.” Seru yang lain.

Mereka pun terdiam. Tak ada yang bermaksud bersuara, karena diam sudah cukup menjawab semuanya. Pun, sudah beberapa hari ini, orang-orang telah berkumpul di rumahnya, menggelar tikar di Paladang, makan bersama, bermain domino, minum kopi, juga kue-kue yang telah ia sediakan. Sudah tak tertakar jumlah biaya yang telah ia habiskan.  

Tak seperti bertahun lalu, kampung tempat lahirku ini tidak lagi senyap. Orang-orangnya masih sama, tapi budayanya sudah berbeda. Pernikahan. Acara tersakral yang pernah kulihat, kini tak lagi jadi acara suci untuk menyempurnakan agama, tapi menjadi budaya beribut-ribut, pertunjukan kelas sosial, juga pesta besar sebagai lambang kemakmuran sang empunya pesta.

Aku terdiam, terpaku sendiri di depan rumah. Menatapi Iballang, kuda perkasa itu. Teman sejak kecil. Aku menolak, tak setuju.

“Itu kuda terakhir kita, Ayah. Janganlah dijual pada Daeng Simba” sanggahku hari itu.

“Ayah sudah tua nak, tak sanggup lagi memelihara kuda ini. Semenjak kau kuliah, dan menghabiskan banyak waktu di kota. Ayah sendirilah yang harus menyabit rumput setiap pagi dan sore, untuk makan kudamu ini.”

“Pun, tak banyak lagi padang rumput di kampung ini, hampir semuanya telah berganti kebun, sawah, dan rumah penduduk.” Ia melanjutkan.

***

Banrimanurung, kampung kami, kampung yang terletak di ujung barat Jeneponto. Di sini, bertahun-tahun kami hidup sederhana, apa adanya, mengandalkan hasil sawah, kebun, dan peternakan. Dan damai, pun tak pernah menolak untuk memeluk rumah sederhana kami. Di sinilah, pusat pemeliharaan kuda, sejak dulu. Sejak aku bisa mengingat, kuda tak pernah lepas dari budaya kami. Hampir setiap rumah memelihara kuda. Kuda merupakan teman mandi di sungai, kendaraan pribadi saat bepergian jauh, tenaga pembajak sawah, kendaraan pengangkut hasil pertanian, dan juga punya daging yang enak saat pesta pernikahan atau sunatan.

Namun, sejak teknologi masuk kampung, populasi kuda makin menurun. Telah ada motor sebagai kendaraan bepergian, traktor untuk membajak sawah, dan mobil untuk mengangkut hasil pertanian. Peradaban pun telah hampir sepenuhnya berganti. Pekerjaan orang telah banyak yang beralih dan tak banyak lagi yang tertarik meneruskan memelihara kuda.  

Aku bersedih, hanya bisa bersedih. Dan di akhir cerita, yang kulakukan pun hanyalah merelakan, menemukan dirinya di tempat biasa, mengelus-elus lembut rambut panjangnya, memeluk lehernya erat sambil menahan diri agar tak menangis. Lalu melihatinya berdiam di tempat pemotongan, diikat setelahnya, lalu berontak tak berdaya lantaran sesuatu telah digorokkan di lehernya. Pun, di akhir cerita ini, aku hanya bisa menangis.

Makassar, 2014
*Harian Budaya, Fajar

 

Minggu, 25 Mei 2014

Paham!


Oleh: Dhito Nur Ahmad

Apa yang kau pahami tentang senyum yang terpasang di pinggir jalan?
Apa yang kau pahami tentang pepohon yang berbuah poster?
Apa yang kau pahami tentang artis-artis dari Jakarta?
Apa yang kau pahami tentang kotak-kotak  suara?
Apa yang kau pahami tentang gugatan ke MK?
Apa yang kau pahami tentang demokrasi?
Lalu                         
Apa yang kau pahami tentang Tuhan?
Bangkala Barat, 2014

Selasa, 06 Mei 2014

Kehadapan Liku Camba

Oleh: Dhito Nur Ahmad
Ke hadapan aliran Liku Camba, aku menggugat. Kemanakah kini anak-anak menghabiskan masa bermainnya? Dimanakah jernih dingin aliran sungai yang dahulu begitu indah? Juga nyanyi riang beburung di atas dahan? Kemana?
Di pinggirannya kini aku berdiri. Memandangi riak airnya yang dipermainkan angin, mengalir menembus celah lanra yang tumbuh liar di tepi sungai. Mendengarkan suara Ibu yang dahulu melarangku berenang terlalu jauh ke dalam sungai.
“Jangan jauh-jauh, Nak!”
Atau perkataan. “Tidak Boleh!”
“Kenapa, Bu?
“Airnya dalam, berbahaya!”
“Saya jago berenang Bu, tak usah khawatir.”
Kukatakan itu pada Ibu. Lalu, tanpa menunggu beliau menyahut lagi, aku segera berlari ke pinggir sungai, bergabung dengan teman-teman lain. Melompat ke sungai, berenang, bermain giri’-giri’. Itulah surga kenanganku, peristiwa yang tak pernah kulupa, bahkan selalu kurindukan sampai sekarang.
Sekarang, anak-anak sudah tak bersedia mandi-mandi sore di situ. Entah mengapa. Mungkin tak tertarik, atau aliran sungai itu tak lagi memesona mereka. Entah. Pun, telah banyak yang berubah. Di pinggiran sungai itu, pernah tumbuh pohon asam, lebat. Saking lebatnya, sebagian tubuhnya dikujurkan ketengah sungai dan menutupi separuh jembatan bambu yang melintang. Dulu di sanalah anak seumuranku menjadikannya tempat berlompat ke air, bermain giri-giri, sembari menunggu kerbau selesai mandi di bagian bawah sungai.
Sekarang orang-orang hanya lalu-lalang di situ. Tak pernah lagi kulihat ada anak bertelanjang dada, bermain giri’-giri’, atau sekedar singgah lalu melompat ke sungai. mereka hanya lewat, kebanyakan telah dengan mobil atau motor mereka, tak singgah, tak berminat. Paling-paling hanya melirik, melepaskan pandangan sejenak, berlalu, kemudian lewat lagi, melirik lagi. Begitu saja seterusnya.
Di sinilah kini aku berdiri. Mendengarkan Liku Camba bercerita. Apa yang ia katakan? Tidak ada. Tak terdengar. Hanya alirannya yang sedikit mempermainkan ingatan.
“Saat peradaban tumbuh, anak-anak lebih sibuk dengan tv, hp, dan playstation. Dan sungai, kehilangan rerimbun pohon, anak-anak, kerbau-kebau, dan ibu-ibu yang mandi dan mencuci baju.”
Begitu ceritanya.
Zaman telah memperlakukannya dengan kejam. Tidak lebih dari perampok, mengambil semua jejak kejayaan: saat airnya masih mengalir jernih, dan disanalah anak sekolah mandi pagi, lalu lewat saat pulang-pergi sekolah. Di sana pulalah para warga menangkap ikan, mencuci baju, memandikan kerbau. Bisa dibilang aktivitas warga tak terpisahkan dengan sungai ini.
“Sekarang, apa yang bisa dimaknai dari hp yang canggih, tv yang mengabarkan kekacauan, sawah yang ditumbuhi beton, dan playstation yang menggantikan petak umpet?”
“Tak lagi ada orang yang ngobrol tentang hujan semalam yang sangat deras, tentang tanaman padi yang disinggahi banyak burung pipit, atau tentang kerbau Daeng Sijaya yang kemarin melahirkan anak kembar dua. Zaman telah berbeda, orang lebih banyak bercerita tentang si Anu kemarin yang diputuskan sama pacarnya, tentang kawin cerai para artis, tentang pemilu yang sebentar lagi, tentang demonstrasi ricuh di ibu kota, atau tentang harga kedelai yang melambung.”
Ke hadapan aliran Liku Camba kuadukan semua itu. Apa yang ia katakan? Tidak ada. Tak terdengar. Hanya alirannya yang sedikit dipermainkan angin.
***
Masih segar di ingatan. Sepuluh tahun lalu, wajah kampungku sebagian besar masih bentangan sawah, sungai, dan hutan-hutan kecil yang melingkar. Di ujung timur, tepatnya di sebelah kanan tak jauh dari rumahku, masih membentang gagah Liku Camba, sebuah sungai jernih yang membentang dari Lompobattang sampai ke Teluk Bangkala. Di pinggiran sungai itulah saya menghabiskan masa kecil. Kusadari betapa beruntungnya diriku masih sempat menikmati kampungku yang indah dan subur. Di sanalah saya pernah keluyuran bersama teman sepermainan, berlayar dengan perahu bambu dari Silanu sampai ke Batuloe, bermain petak umpat di rawa-rawa, menjebak tekukur di pinggiran hutan. Jika siang tiba kami akan bermain di sungai, dan pulang dengan membawa ikan gabus.
Sekarang, tak ada lagi wajah Liku Camba yang gagah dan damai itu, dia telah berubah dan tak nyaman lagi ditempati bermain dan mandi-mandi. Pepohonan pun kian habis. Sawah dan rawa-rawa telah ditumbuhi rumah dan gedung bertingkat.
Hutan jati yang kukenal membentang sepanjang Bukit Leang-leang. Kini telah menjelma kebun jagung dan rumah-rumah. Kuingat betul, dahulu di sanalah biawak bersarang. Di pucuk pohon jati itu banyak sekali burung jalak dan bukkuru’ yang tinggal. Saya terkenang masa-masa berburu dahulu, di sana kami sering menangkap burung dengan menggunakan ketapel dan perangkap yang terbuat dari anyaman bulu ekor kuda. Terkadang juga hanya mengejutkannya yang sedang bertengger di pucuk pepohon, lalu terbanglah mereka bersamaan, memenuhi langit kampungku yang biru bersih. Sekarang, tak pernah lagi kulihat rombongan burung yang terbang di langit  kampungku.
Tak terasa waktu telah lama berjalan. Mengalir begitu saja, seperti aliran Liku Camba itu. Bertahun-tahun kutinggalkan kampungku lantaran melanjutkan pendidikan di kota. Bertahun pula kurindukan surga kenangan masa kecil yang pernah kuukir di kampung ini. Masih teringat nasehat Daeng Nuntung dahulu, juga nasehat para warga yang lain.
“Mandilah di sungai, tapi jangan pernah buang hajat di sana, Nak!”
“Kenapa Daeng?” tanya seorang teman.
“Sungai adalah sumber kehidupan kita, kebersihannya harus dijaga.” Jawabnya meyakinkan.
Pun Ibuku, pernah menasehatiku.
“Nak, jagalah sungai ini. Tak usah kau pelihara layaknya tanaman. Biarkan saja ia mengalir, pastikan ia bersih” begitu nasehatnya hari itu.
Jadinya, sepanjang ingatan, sungaiku dahulu sangatlah bersih. Tak pernah ada sampah plastik yang mengapung di atasnya, apalagi kotoran manusia. Paling hanya dedaun pohon, atau busa sabun yang berasal dari ibu-ibu yang mencuci.
Tapi kini, kesadaran yang seperti itu telah mulai hilang. Geliat zaman telah berhasil merampok kebiasaan bersih mereka, barangkali.
“Saat peradaban tumbuh, anak-anak lebih sibuk dengan tv, hp, dan playstation. Dan sungai, kehilangan rerimbun pohon, anak-anak, kerbau-kebau, dan ibu-ibu yang mandi dan mencuci baju.” Aliran Liku Camba bercerita.
Aku menggugat, ke hadapannyalah kini aku menggugat.
Bangkala Barat, 20 Maret 2014