Pages

Rabu, 07 Juni 2017

Terimakasih Athirah

Tergerak hati saya untuk menuliskan. Sebuah pekerjaan asing, karena telah lama tidak saya lakukan. Semua tentang Athirah, sekolah kami, tempat kami belajar, yang merupakan sekolah kereen dan terbilang terbaik di negeri ini. Tak bohong orang bilang. Tak pernah saya temui sekolah dengan sistem seperti ini sebelumnya, dimana agama dan moralitas ditempatkan di atas apapun. Al-qur’an dijunjung tinggi, prestasi dibidik sempurna, dan martabat-budaya athirah tidak ditinggalkan. Tak pernah saya berpikir sebelumnya bisa bergabung, bahkan tak tinggi-tinggi impian saya terhadap sekolah ini. Tetapi, saya sangat bersyukur, bisa berkesempatan belajar, bergaul dengan guru-gurunya, dan menjadi bagian yang bisa memasuki kelas-kelasnya, menyapa siswa-siswanya, dan menjadi teman belajar saya.
Tidak keliru rupanya, sekolah ini diberi nama dengan begitu menarik dan percaya diri: Athirah. Mengingat nama itu merupakan interpretasi dari sebuah nama yang mulia, seorang ibu yang lembut, pendidik seorang pemimpin nasional yang tangguh, dan pengangkat harkat martabat bugis di mata dunia. Sejak dahulu, orang-orang bugis, unggul dibidang perdagangan, politik, dan keberanian. Dan itu, diharapkan tercurah juga pada setiap siswa Athirah, orang-orang yang berksempatan belajar di dalamnya, termasuk guru-gurunya.
Sekolah ini sederhana saja sebenarnya, dengan struktur dan sistem seperti sekolah kebanyakan. Yang tidak sederhana adalah, kualitas pemikiran guru-gurunya, kebersamaan yang mereka bentuk, kedisiplinan kerja, dan totalitas-dedikasi dalam menyelesaikan tugas.
Kalau kawan berkesempatan bergabung, setiap pagi jam 6.15 pagi, guru-guru pasti telah berkumpul disebuah ruang melaksanakan briefing, yang terkadang diisi dengan pengarahan kepala sekolah, tadabbur Al-qur’an, dan yang lebih sering adalah pembacaan bersama Surat Lukman. Itu, dilaksanakan dengan kebersamaan yang sangat terasa, percandaan yang mengakrabkan, hingga hanya ada cinta di hati mereka. Kegiatan briefing tersebut, selalu ditutup dengan doa’a yang agung, perwujudan pengharapan, bahwa setelah upaya terbaik dilaksanakan,  segalanya diserahkan kepada Allah, berharap dibantu dan diberi kekuatan serta petunjukNya. Kalau bertemu siswa-siswanya, kawan akan disapa “Assalamualaikum Pak.....” lalu tangan-tangan mungil mereka akan mencium tanganmu, senyum terbaik mereka akan ditumpahkan seluruhnya kepadamu.     
Athirah sungguh memberi saya banyak. Saya, dengan latar belakang mengajar di daerah 3t, yang terbiasa berhadapan dengan siswa-siswa pesisir dan pedalaman, yang berupaya maksimal bagaimana membuat siswa aktif di kelas, agar tidak gurunya saja yang aktif sendirian. Di Athirah, kami justru ditempa sebaliknya, kami diperhadapkan pada siswa-siswa yang superaktif, dengan pertanyaan macam-macam, reaksi yang berbeda, yang butuh dikendalikan, diarahkan, pada saat tertentu didiamkan, dan dibentuk. Penanganan yang berbeda tentu dibutuhkan, juga kesabaran, keikhlasan, dan semangat pengabdian.
Guru-guru Athirah, ketika memiliki seratus alasan untuk berhenti, menyerah, dan ogah2an, mereka hanya butuh satu alasan, satu saja, yang membuat mereka tetap tinggal dan bertahan, berjuang dan mengabdi, memberikan yang terbaik. Satu, yang mengalahkan banyak, yang punya kekuatan lebih, yang seolah puncak segala alasan dan kekuatan, yang dicipta Tuhan dengan formasi khusus di hati mereka: cinta.
Dan hari ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menerima pula surat cinta, dari siswa-siswa saya di Athirah, cinta sepenuh-penuh dari mereka, yang tentu saja tidak melibatkan perasaan aneh semacam sakit kepala dan usus.
Saya mengucap terimakasih. Atas segala haru, sedih, dan bahagia yang saling berbaur. Adik-adik saya yang baik, yang diluar dugaan saya, Alhamdulillah bisa saya diterima di kelas, menjadi bagian dari orang yang belajar bersama mereka. Siswa-siswa saya, yang super-aktif, yang cerewet, senang senyum-senyum kalau belajar, dan sangat rajin bertanya, meski pada hal-hal remeh dan tidak penting. Tetapi mengandung muatan sempurna, bahwa kemampuan untuk tampil di manapun, mentalitas orang-orang panggung, mereka miliki. Hingga tak heran sering menjuarai berbagai kompetisi bergengsi. Bersama mereka, kadang saya merasa melampaui diri, melebihi kemampuan yang kukenal, kadang pula merasa hilang diri, tak seperti yang kukenal.
Terimakasih Athirah, terimakasih teman-teman belajar saya. Atas senyum manis bapak kepala sekolah dan ketiga wakaseknya, Pak Aji (Zainuddin), Ibu AF, Ibu Hasni, teman-teman guru, juga adik-adik saya di kelas VIII.4 dan VIII.5, yang telah memberi warna, memberi saya pengalaman senang, bahagia, juga pengalaman marah, sedih. Sungguh sebuah pengalaman yang akan saya butuhkan di masa depan. Saya telah berupaya, memaksimalkan yang saya bisa, agar bisa menjadi teman belajar yang asyik, jadi serupa ibu yang penyayang, ayah yang melindungi, kakak yang pemarah, dan sahabat yang baik. Tetapi tetap, segala hal-hal baik yang diniatkan, yang dilakukan dengan cinta besar yang kita punya, selalu saja punya sisi kurang. Saya merasa ini bukanlah apa-apa, dan saya menjadi bukanlah siapa-siapa. Kisah saya akan berlanjut, menuju tempat yang berbeda.
Sebelum kisah saya berpindah, kami sempatkan berfoto bersama, dengan pimpinan dan guru-guru, dengan siswa-siswa saya. Saya merasa, ini merupakan keakraban yang tak biasa, sebuah sensasi kebersamaan yang tak mungkin ternilai dengan materi, dan itu telah kami kekalkan dengan foto bersama. Melengkapi sealur cerita yang telah kami ukir bersama di sekolah terlanjur kereen, dengan siswa-siswa yang Anggun, Unggul, dan Cerdas: Athirah.......
dna


Tidak ada komentar:

Posting Komentar