Tergerak hati saya untuk menuliskan.
Sebuah pekerjaan asing, karena telah lama tidak saya lakukan. Semua tentang
Athirah, sekolah kami, tempat kami belajar, yang merupakan sekolah kereen dan terbilang
terbaik di negeri ini. Tak bohong orang bilang. Tak pernah saya temui sekolah
dengan sistem seperti ini sebelumnya, dimana agama dan moralitas ditempatkan di
atas apapun. Al-qur’an dijunjung tinggi, prestasi dibidik sempurna, dan martabat-budaya
athirah tidak ditinggalkan. Tak pernah saya berpikir sebelumnya bisa bergabung,
bahkan tak tinggi-tinggi impian saya terhadap sekolah ini. Tetapi, saya sangat
bersyukur, bisa berkesempatan belajar, bergaul dengan guru-gurunya, dan menjadi
bagian yang bisa memasuki kelas-kelasnya, menyapa siswa-siswanya, dan menjadi
teman belajar saya.
Tidak keliru rupanya, sekolah ini
diberi nama dengan begitu menarik dan percaya diri: Athirah. Mengingat nama itu
merupakan interpretasi dari sebuah nama yang mulia, seorang ibu yang lembut,
pendidik seorang pemimpin nasional yang tangguh, dan pengangkat harkat martabat
bugis di mata dunia. Sejak dahulu, orang-orang bugis, unggul dibidang
perdagangan, politik, dan keberanian. Dan itu, diharapkan tercurah juga pada
setiap siswa Athirah, orang-orang yang berksempatan belajar di dalamnya,
termasuk guru-gurunya.
Sekolah ini sederhana saja
sebenarnya, dengan struktur dan sistem seperti sekolah kebanyakan. Yang tidak
sederhana adalah, kualitas pemikiran guru-gurunya, kebersamaan yang mereka
bentuk, kedisiplinan kerja, dan totalitas-dedikasi dalam menyelesaikan tugas.
Kalau kawan berkesempatan bergabung,
setiap pagi jam 6.15 pagi, guru-guru pasti telah berkumpul disebuah ruang
melaksanakan briefing, yang terkadang diisi dengan pengarahan kepala sekolah,
tadabbur Al-qur’an, dan yang lebih sering adalah pembacaan bersama Surat Lukman.
Itu, dilaksanakan dengan kebersamaan yang sangat terasa, percandaan yang
mengakrabkan, hingga hanya ada cinta di hati mereka. Kegiatan briefing
tersebut, selalu ditutup dengan doa’a yang agung, perwujudan pengharapan, bahwa
setelah upaya terbaik dilaksanakan,
segalanya diserahkan kepada Allah, berharap dibantu dan diberi kekuatan
serta petunjukNya. Kalau bertemu siswa-siswanya, kawan akan disapa “Assalamualaikum
Pak.....” lalu tangan-tangan mungil mereka akan mencium tanganmu, senyum
terbaik mereka akan ditumpahkan seluruhnya kepadamu.
Athirah sungguh memberi saya banyak.
Saya, dengan latar belakang mengajar di daerah 3t, yang terbiasa berhadapan
dengan siswa-siswa pesisir dan pedalaman, yang berupaya maksimal bagaimana
membuat siswa aktif di kelas, agar tidak gurunya saja yang aktif sendirian. Di
Athirah, kami justru ditempa sebaliknya, kami diperhadapkan pada siswa-siswa
yang superaktif, dengan pertanyaan macam-macam, reaksi yang berbeda, yang butuh
dikendalikan, diarahkan, pada saat tertentu didiamkan, dan dibentuk. Penanganan
yang berbeda tentu dibutuhkan, juga kesabaran, keikhlasan, dan semangat
pengabdian.
Guru-guru Athirah, ketika memiliki
seratus alasan untuk berhenti, menyerah, dan ogah2an, mereka hanya butuh satu
alasan, satu saja, yang membuat mereka tetap tinggal dan bertahan, berjuang dan
mengabdi, memberikan yang terbaik. Satu, yang mengalahkan banyak, yang punya
kekuatan lebih, yang seolah puncak segala alasan dan kekuatan, yang dicipta
Tuhan dengan formasi khusus di hati mereka: cinta.
Dan hari ini. Untuk pertama kalinya
dalam hidup, saya menerima pula surat cinta, dari siswa-siswa saya di Athirah, cinta
sepenuh-penuh dari mereka, yang tentu saja tidak melibatkan perasaan aneh
semacam sakit kepala dan usus.
Saya mengucap terimakasih. Atas
segala haru, sedih, dan bahagia yang saling berbaur. Adik-adik saya yang baik,
yang diluar dugaan saya, Alhamdulillah bisa saya diterima di kelas, menjadi
bagian dari orang yang belajar bersama mereka. Siswa-siswa saya, yang super-aktif,
yang cerewet, senang senyum-senyum kalau belajar, dan sangat rajin bertanya,
meski pada hal-hal remeh dan tidak penting. Tetapi mengandung muatan sempurna,
bahwa kemampuan untuk tampil di manapun, mentalitas orang-orang panggung,
mereka miliki. Hingga tak heran sering menjuarai berbagai kompetisi bergengsi.
Bersama mereka, kadang saya merasa melampaui diri, melebihi kemampuan yang
kukenal, kadang pula merasa hilang diri, tak seperti yang kukenal.
Terimakasih
Athirah, terimakasih teman-teman belajar saya. Atas senyum manis bapak kepala
sekolah dan ketiga wakaseknya, Pak Aji (Zainuddin), Ibu AF, Ibu Hasni, teman-teman
guru, juga adik-adik saya di kelas VIII.4 dan VIII.5, yang telah memberi warna,
memberi saya pengalaman senang, bahagia, juga pengalaman marah, sedih. Sungguh
sebuah pengalaman yang akan saya butuhkan di masa depan. Saya telah berupaya,
memaksimalkan yang saya bisa, agar bisa menjadi teman belajar yang asyik, jadi
serupa ibu yang penyayang, ayah yang melindungi, kakak yang pemarah, dan
sahabat yang baik. Tetapi tetap, segala hal-hal baik yang diniatkan, yang
dilakukan dengan cinta besar yang kita punya, selalu saja punya sisi kurang.
Saya merasa ini bukanlah apa-apa, dan saya menjadi bukanlah siapa-siapa. Kisah saya
akan berlanjut, menuju tempat yang berbeda.
Sebelum kisah saya berpindah, kami sempatkan berfoto bersama, dengan
pimpinan dan guru-guru, dengan siswa-siswa saya. Saya merasa, ini merupakan
keakraban yang tak biasa, sebuah sensasi kebersamaan yang tak mungkin ternilai
dengan materi, dan itu telah kami kekalkan dengan foto bersama. Melengkapi
sealur cerita yang telah kami ukir bersama di sekolah terlanjur kereen, dengan
siswa-siswa yang Anggun, Unggul, dan Cerdas: Athirah.......
dna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar