Oleh: Dhito Nur Ahmad
Awan jingga sedang berarak di langit kampungku senja itu.
Seperti kemarin, dan hari kemarinnya lagi, matahari gemerlap di ujung hari.
Musim barat telah berlalu, dan angin kemarau sudah datang menghembus,
mempermainkan kerudung penutup rambut Ammak yang telah keperakan.
Tak pernah kuliat Ammak begitu murung sesore ini.
Biasanya, Ammak telah mandi, tergesa bersibuk di dapur, menyiapkan makanan
malam, lalu menyiapkan diri menyambut maghrib. Tapi senja ini berbeda, telah
kudapati Ammak dengan tubuh ringkihnya, terduduk sambil sesekali terbatuk-batuk
di bale bambu depan rumah, sendirian, dengan penutup rambut berkibar
dipermainkan angin kemarau yang berhembus. Ini adalah malam jumat, akan ada
ritual tak biasa yang akan kami jalani, merupakan kebiasaan keluargaku untuk
mengaji bersama. Tapi senja ini, akankah Ammak lupa pada hal itu?
“Ada apa Ammak termenung sendiri di sini?” tanyaku.
“Tidak, saya suka di sini, menunggu maghrib.” begitu ia
bilang, gagal menyembunyikan duka di wajahnya.
Setelah maghrib selesai, dan Ammak telah pulang dari
masjid samping rumah. Ammak kemudian memanggil kami semua, anak-anaknya,
mengaji bersama di ruang tamu, mendengungkan bersama surah Al-kahfi. Saya,
ayah, dan keempat saudaraku mengusir sunyi malam yang menguasai maghrib
itu.
“Al-kahfi itu melindungi kita dari fitnah dajjal” begitu
pernah ia bilang.
Atau
“Nak, ini sudah akhir zaman, rajin-rajinlah kau mengaji.”
Hal itu dikatakannya ketika malam jumat dan ia dapati
diriku sedang bermalas diri di kamar sehabis maghrib, atau sedang tidak di
rumah dari sore hari hingga melangkahi maghrib.
Setelahnya, Ammak akan meraih piring, menyiapkan
segalanya di dapur, lalu makan bersama dengan sesekali diingatkan baca
bismillah. Hal itu berlanjut hingga malam merangkak sunyi, dan masjid
mengumandangkan adzan isya.
Hari selanjutnya, kudapati lagi Ammak dengan kebiasaan
barunya. Duduk berlama-lama di bale bambu depan rumah, menunggu maghrib,
sendiri. Entah apa yang telah menyelimuti pikirannya. Saya dan kakak tertuaku pun menyampari.
“Apakah gerangan yang Ammak khawatirkan? Begitu kakak
bertanya, sedikit mengejutkan Ammak yang sepertinya sedang sibuk dengan sesuatu
yang ia lafadzkan di bibirnya.
“Ah, tidak. Menunggu maghrib.” begitu ia berkata, jawaban
yang sama.
“Di sini dingin, Ammak sedang sakit batuk. Angin kemarau
tak baik buat kesehatan Ammak”
Ammak tersenyum, seperti hendak menyiapkan sebuah nasehat
kepada kami.
“Sini, duduklah di sini!” ajaknya.
“Apakah kau khawatirkanku, Nak?” tanyanya pada kakakku
itu.
“Tentu saja, Ammak.”
“Kalau begitu saya ingin bertanya kepadamu Nak. Engkau
berdua adalah laki-laki. Engkau punya tanggung jawab lebih, dan diharuskan
menjaga kedua adik perempuanmu itu. Seperti apakah kehidupanmu nanti
sepeninggalku?”
“Mengapa bertanya begitu, Ammak?”
“Nak, hidup ini misteri, tak pernah ada yang tahu segala
hal yang akan terjadi esok, kita hanya perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Bahwa hidup, mati, jodoh, dan segala yang berkaitan dengan kehidupan ini telah ditentukan
dalam perkamen rahasia di atas sana, di lauh mahfudz, yang telah ditulis lima puluh ribu tahun sebelum manusia
diciptakan. Satu hal, kematian adalah sesuatu yang
pasti terjadi, pasti terjadi, dan pasti terjadi.”
“Ammak telah menyekolahkan kami, telah mendidik kami
tentang agama, mengajarkan Al-Quran sejak kecil, hingga islam dan Allah telah
menyatu dalam jiwa kami, mengalir dalam darah kami. Sekiranya belum cukup,
Allah tahu betapa keras perjuangan Ammak menjadikan kami semua orang baik.”
begitu jawaban kakak tertuaku.
Lalu Ammak pun tersenyum, lalu mengatupkan kedua
tangannya pada pundak kami berdua. Dia memelukku lama, hingga kurasakan
perasaan aneh menjalari hati.
“Saya tak bisa memberimu apa-apa Nak.”
“Ah Ammak, jangan bilang begitu.” Kataku.
Lalu ammak pun menutup ceritanya dengan nasehat.
“Nak, Ammak sudah tua. Berbuatlah baik. Paling tidak di
akhirat sana kita masih bisa bertemu, melepas rindu. Kalau ada salah satu dari
kita salah jalan, kita tak akan pernah lagi bertemu. Bukankah kalian sayang
pada Ammak?”
Senja kemudian turun bersama semilir angin kemarau dan
taluan suara adzan yang menembus celah rerimbun dedaun nangka.
Saya lalu paham setelah sepekan kemudian.
Itu adalah hari terakhir Ammak mendekapku, mengajakku ngobrol bersama dan duduk
berhadapan, karena sepekan setelahnya Ammak telah berpulang, pergi bersama
kenangan kebersamaan yang berarak ke arah langit, menjauh.
Waktu itu, malam jumat. Bergantilah bacaan surat al-kahfi
menjadi surat yasin. Dilantunkan bersama, dibacakan nyaring. Juga, para
keluarga datang, menangis bersama. Dan berhari setelahya, sepi lebih sering
berlama-lama di rumah.
Ammak, hingga malam berlarut, dan ramadhan yang sebentar
lagi. Nasehat dan wajahnya selalu hinggap retinaku, selalu membayang di
hadapan. Satu-satunya hal yang paling kusesali adalah, setelah Ammak tiada,
kami tak berhasil mempertahankan kebiasaan baik itu. Malam jumat, setelah
maghrib selesai, biasanya ayah telah tak di rumah, kakak telah sibuk dengan
laptopnya, dan kedua adik perempuanku menyiapkan dirinya untuk menonton
sinetron favoritnya.
***
“Nak, berbuatlah baik. Paling tidak di akhirat sana kita
masih bisa bertemu, melepas rindu, kalau ada salah satu dari kita salah jalan,
kita tak akan pernah lagi bertemu. Bukankah kalian sayang pada Ammak?”
Masih terngiang di kepala nasehat terakhir Ammak. Waktu
itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan Ammak, kami sungguh menyayanginya.
Pun ia, takut kami kehilangan agama, kehilangan pegangan dalam hidup.
Hingga waktu berlalu, dan ramadhan yang telah
berkali-kali berganti. Ketakutan itu berangsur terlupa, rasa sayang itu menjadi
memudar. Satu hal yang paling kusadari, bahwa geliat zaman telah mengaburkan segala
nasehat bijaknya, seolah hanya cerita picisan yang sulit dipercaya. Malam
jumat, malam yang paling dimuliakan Ammak, kehilangan pesonanya. Tak pernah
lagi ada mengaji bersama, hilang berangsur-angsur. Dilupakan (*).
Bangkala Barat, Mei 2016
Buat Ammak, yang semoga bahagia di
sana.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar