Pada
beberapa kesempatan, saya masih sering berpikir. Kapan yah saya bisa keluar
negeri, kapan kira-kira bisa jalan-jalan jauh, menembus batas negara sendiri,
berkelana hingga jauh. Ini memang impian sejak mahasiswa, yang pernah pupus
lantaran nasib dan takdir yang tak dimengerti cara mainnya. Saya pernah banting
stir, membelokkan visi dan jalan hidup. Tak kesampaian ke luar negeri, saya pun
mengikuti program yang berpeluang memberiku sensasi yang sama, saya mengikuti
program pemerintah yang bisa membawaku pergi dari tanahku sendiri.
Saya
tidak tahu, dari mana ini bermula. Semenjak saya bisa mengenal dunia dari
bacaan-bacaan dan media, telah tertanam di kepala bahwa alangkah datarnya hidup
kalau di sini-sini saja. Saya banyak membaca kisah-kisah perjalanan, bertemu backpacker-backpaker
berani yang bermodal nekad pergi ke tanah seberang. Di Maratua dahulu, saya
berkenalan dengan pelancong kanada, polandia, amerika, perancis, belanda,
china, dan banyak negara asia dan eropa. Saya senang menanyai latar belakangnya,
dengan bahasa inggris seadanya. Saya bisa simpulkan, sederhana saja mereka
adanya, rata-rata tidak kaya seperti yang kita duga, mereka lebih mengandalkan
tekad, keinginan menderita, dan menghalau segala khawatir dan manja demi memenuhi
pemenuhan perluasan wawasan dan pengalaman hidup.
“Uang
tiket biaya perjalanan ambil dari mana, sir?”
Saya
pernah beberapa kali dengan serius menanyakan hal itu pada turis yang berbeda.
Yang kusadari kini bahwa itu ternyata pertanyaan bodoh bagi seorang anak muda
yang telah beranjak dewasa. Apalagi kalau itu diajukan kepada diri, atau yang
memulai misi dan tujuan setiap yang dilakukannya dari uang. Hampir pasti,
jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak ada, tidak bisa, tidak mungkin.
Dunia
luas bisa disadari keberadaannya dari terbukanya pemikiran, meluaskan
pandangan, yang bisa mendapatkan sesuatu yang tak terbayangkan, pengetahuan,
pengalaman, kedewasaan, teknologi, dan ilmu. Orang-orang yang seperti inilah
yang bisa menemui keajaiban, mendapati ajaib kuasa ilahi. Pemuda yang
menggendong tas butut dengan persiapan sebisanya, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung sebagai pencuci piring, yang kalau menderita sekali
menderita, kalau jaya sekali jaya raya. Kurang lebih sama dengan orang-orang
bugis, minang, dan jawa, yang saat ini menguasai perdagangan nusantara. Mereka
bisa mendiami kampung orang dengan jaya dan bisa ditemui di seantero negeri. Berbekal tekad, nekad, dan keinginan,
Tak pernah terbayang saya
akan berlama-lama di kampung. Apalagi saat telah menamatkan sarjana, tak ada
hikmah apapun yang bisa diperoleh dari setiap kisah menderita, tak ada
pelajaran yang bisa diambil, selain kesan sempit dan miskin pengalaman. Orang-orang perantau, serendah apapun ilmunya,
ternyata secara mentalitas lebih pemberani, lebih kuat dan tahan malang
dibanding tuan tanah. Para pemuda yang ditugaskan belajar jauh di negara maju secara
mandiri, cukup dengan bekal prinsip-prinsip agama di dadanya, akan memiliki daya
inovasi dan inisiatif yang lebih. Imajinasi mereka bangkit, rasa percaya diri
menggeliat, dan sekembalinya, membawa sejuta pengalaman, cerita, dan perenungan
yang membentuk visi mereka.
Ini
masih tertanam di pikiran saya. Belum pernah saya keluar negeri, tetapi memilih
tinggal menetap di kampung adalah hal yang sulit dan rasanya menggelisahkan.
Tidak ada pertaruhan, tidak ada penaklukan dan kemenangan. Pergi, menemui
banyak tempat. Menghadapai kemungkinan-kemungkinan yang sulit ditebak, membaur
bersama gelisah, kemungkinan buruk, dan surprized pada kenyataan-kenyataan baik
yang dipersembahkan oleh Tuhan.
Merantau,
menempa diri, itu akan memuliakan diri. Kita tak akan menggampangkan agama,
hidup akan sangat dekat dan merasa butuh pertolongan Tuhan. Hidup akan mengenal
antisipasi, tak ada pilihan bermalas-malasan, dan sangat mengandalkan diri
dibanding mengharap pertolongan keluarga dan teman dekat.
Di
rantau, Tuhan lebih dekat. Meminta dan mengharap pertolongannya lebih sering
dilakukan, dengan kualitas ibadah yang lebih baik. Itu menurut saya, dan
berdasar kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam hidup saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar