Sebuah rumah kecil dan
mungil. Tempat bernyanyi banyak orang di dalamnya. Segalanya sederhana: rumah,
pakaian, apa yang dimakan, harapan, dan mimpi-mimpi. Rumahnya dibangun sederhana
dan seadanya, meski sesungguhnya kaya dan banyak uang. Penyikapan mereka
terhadap hidup seadanya, tanpa keinginan bermegah-megah dan berbangga-bangga.
Rumah mereka dibangun pada tempat yang kaya, dibelakangnya belantara dengan
segudang gaharu, kayu belantara, tanah-tanah menjanjikan. Di hadapannya sungai
bersambung ke laut, berhulu di gunung. Emas di perutnya, mutiara di lautnya,
berlian di gunungnya, burung surga di langitnya. Tersedia.
Saya dengar bapak
mereka kuat. Perempuan dan laki rupa sempurna. Berotot dan kekar, buat menyulam
dunia dengan sejumput harapan yang gamang, dengan silaunya yang getir. Tapi
kini, pondasinya telah ubanan, angin masih sepoi, tapi tak kunjung lagi
bertengger di beranda-beranda rumah mereka. Bahkan disokongnya juga segala
harapan dan cita-cita.
Papua, dengan rupa
ramah dan eksotis. Sebuah persembahan agung dari sang pencipta. Penyikapan terhadap
hidup sederhana saja adanya dan jelas hidup mereka -meski sederhana- lebih
berbahagia dibanding kita. Tak banyak membandingkan, tak terlalu banyak
perhitungan dan antisipasi. Kehidupan beragamanya juga harmonis, jauh lebih
harmonis dibanding jawa. Islam berkembang dengan sangat baik dan eksis. Bahkan
lebih eksis, jauh lebih mendalam dan aktif aktivitas keberadaannya dibanding
yang berada dalam kungkungan dan lenaan mayoritas.
Saya berada dalam
kondisi yang agama tidak boleh diabaikan. Dia penting, sepenting bernafas
setiap 3 detik yang kalau tidak diikuti bisa merana. Dia berharga, seberarga
secarik peta harta karun yang bisa memakmurkan di dunia.
Anak sekolahnya, bukan
salah mereka kalau mereka belum secerdas yang di kota, hidup mereka terisolir,
tinggal di belantara, di antara alam, gunung dan pantai-pantai. Tak banyak
fasilitas belajar. Tapi secara moralitas, penghargaan mereka terhadap agama,
pendidikan, orang tua, guru, bahkan terhadap diri, jauh lebih hebat dibanding
para pelajar di makassar yang telah terbilang cerdas itu, yang telah punya
banyak pilihan, dan sangat berpeluang jadi anak yang sopan, baik-baik, dan
cerdas. Tapi aduhai, ditengah kemudahan itu, terlena dalam kubangan mayoritas. Menggampangkan
perangai. Semakin cerdas, justru semakin sulit menghargai guru, agama, dan
pendidikan.
Saya telah mengajar di
banyak tempat. Telah mengajar di kota provinsi, di kabupaten, sampai pada
daerah paling pedalaman. Sepanjang ingatan, telah bisa saya menarik garis
pembanding, mengira-ngira kenapa, terheran-heran, kok bisa?! Melihati
kenyataan, anak-anak pedalaman papua jauh lebih sopan dibanding siswa-siswa di kota. Lebih membahagiakan mengajar mereka.
Belajar dari papua, yang kita kenal keras kuat dan bebal itu. Ternyata setelah mendatanginya, setelah kita lihat dari perspektif yang dekat. Melihat kehidupannya, bagaimana mereka hidup, seperti apa mereka berprinsip dan berpikir, punya sisi menarik dan lebih maju dibanding yang di kota. Jauh lebih arif, jauh lebih indonesia, jauh lebih memahami agama, dibanding para sarjana, para orang yang telah diakui pintar, yang telah menghabiskan puluhan tahun sekolah. Jauh lebih pintar dari pencetus undang-undang ham dan perlindungan anak, para pengikut demokrasi, para analis pendidikan, para wartawan dan pemirsa tv.
Segalanya butuh dilihat
dari perfektif yang dekat, termasuk pendidikan. Kalau pendidikan semakin
merusak moral, berarti itu bukan peningkatan, ada hal yang butuh diubah. Karena
hanya akan merusak esensi sesungguhnya dari pendidikan itu sendiri. Dan itulah
yang terjadi pada dunia pendidikan sekarang. Banyak hal diartikan secara
brutal. Semisal, kekerasan dalam kondisi apapun itu dilarang, setiap aktivitas
fisik adalah kekerasan, guru adalah orang yang selalu dicurigai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar