Pages

Rabu, 07 Juni 2017

Melihat Papua dari Perspektif yang Dekat


Sebuah rumah kecil dan mungil. Tempat bernyanyi banyak orang di dalamnya. Segalanya sederhana: rumah, pakaian, apa yang dimakan, harapan, dan mimpi-mimpi. Rumahnya dibangun sederhana dan seadanya, meski sesungguhnya kaya dan banyak uang. Penyikapan mereka terhadap hidup seadanya, tanpa keinginan bermegah-megah dan berbangga-bangga. Rumah mereka dibangun pada tempat yang kaya, dibelakangnya belantara dengan segudang gaharu, kayu belantara, tanah-tanah menjanjikan. Di hadapannya sungai bersambung ke laut, berhulu di gunung. Emas di perutnya, mutiara di lautnya, berlian di gunungnya, burung surga di langitnya. Tersedia.

Saya dengar bapak mereka kuat. Perempuan dan laki rupa sempurna. Berotot dan kekar, buat menyulam dunia dengan sejumput harapan yang gamang, dengan silaunya yang getir. Tapi kini, pondasinya telah ubanan, angin masih sepoi, tapi tak kunjung lagi bertengger di beranda-beranda rumah mereka. Bahkan disokongnya juga segala harapan dan cita-cita.

Papua, dengan rupa ramah dan eksotis. Sebuah persembahan agung dari sang pencipta. Penyikapan terhadap hidup sederhana saja adanya dan jelas hidup mereka -meski sederhana- lebih berbahagia dibanding kita. Tak banyak membandingkan, tak terlalu banyak perhitungan dan antisipasi. Kehidupan beragamanya juga harmonis, jauh lebih harmonis dibanding jawa. Islam berkembang dengan sangat baik dan eksis. Bahkan lebih eksis, jauh lebih mendalam dan aktif aktivitas keberadaannya dibanding yang berada dalam kungkungan dan lenaan mayoritas.

Saya berada dalam kondisi yang agama tidak boleh diabaikan. Dia penting, sepenting bernafas setiap 3 detik yang kalau tidak diikuti bisa merana. Dia berharga, seberarga secarik peta harta karun yang bisa memakmurkan di dunia.

Anak sekolahnya, bukan salah mereka kalau mereka belum secerdas yang di kota, hidup mereka terisolir, tinggal di belantara, di antara alam, gunung dan pantai-pantai. Tak banyak fasilitas belajar. Tapi secara moralitas, penghargaan mereka terhadap agama, pendidikan, orang tua, guru, bahkan terhadap diri, jauh lebih hebat dibanding para pelajar di makassar yang telah terbilang cerdas itu, yang telah punya banyak pilihan, dan sangat berpeluang jadi anak yang sopan, baik-baik, dan cerdas. Tapi aduhai, ditengah kemudahan itu, terlena dalam kubangan mayoritas. Menggampangkan perangai. Semakin cerdas, justru semakin sulit menghargai guru, agama, dan pendidikan.

Saya telah mengajar di banyak tempat. Telah mengajar di kota provinsi, di kabupaten, sampai pada daerah paling pedalaman. Sepanjang ingatan, telah bisa saya menarik garis pembanding, mengira-ngira kenapa, terheran-heran, kok bisa?! Melihati kenyataan, anak-anak pedalaman papua jauh lebih sopan dibanding siswa-siswa di kota. Lebih membahagiakan mengajar mereka.

Belajar dari papua, yang kita kenal keras kuat dan bebal itu. Ternyata setelah mendatanginya, setelah kita lihat dari perspektif yang dekat. Melihat kehidupannya, bagaimana mereka hidup, seperti apa mereka berprinsip dan berpikir, punya sisi menarik dan lebih maju dibanding yang di kota. Jauh lebih arif, jauh lebih indonesia, jauh lebih memahami agama, dibanding para sarjana, para orang yang telah diakui pintar, yang telah menghabiskan puluhan tahun sekolah. Jauh lebih pintar dari pencetus undang-undang ham dan perlindungan anak, para pengikut demokrasi, para analis pendidikan, para wartawan dan pemirsa tv.


Segalanya butuh dilihat dari perfektif yang dekat, termasuk pendidikan. Kalau pendidikan semakin merusak moral, berarti itu bukan peningkatan, ada hal yang butuh diubah. Karena hanya akan merusak esensi sesungguhnya dari pendidikan itu sendiri. Dan itulah yang terjadi pada dunia pendidikan sekarang. Banyak hal diartikan secara brutal. Semisal, kekerasan dalam kondisi apapun itu dilarang, setiap aktivitas fisik adalah kekerasan, guru adalah orang yang selalu dicurigai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar