(Refleksi Akhir Studi)
“Sehebat apapun seorang pria, pria manapun itu,
lihatlah, selalu ada wanita manis di dekatnya, mendampinginya. Karena hidup
tidak pernah sempurna untuk dijalani seorang diri” (Anonim)
Ahhaaay..... Kalau itu ditarik ke kehidupanku,
siapakah wanita manis itu? Orang jawakah? Orang Bugiskah? Orang Makassarkah?
Atau jangan-jangan orang sekampungku sendiri!? Hohoh. Aku tak pernah tau, hanya
Dia yang maha tahu. Semuanya telah tertulis di perkamen rahasia di atas sana.
Hanya saja, aku ingat, aku selalu berharap (dan semoga begitu) dia adalah orang
terbaik yang dianugerahkan Allah kepadaku.
Aku tahu, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik,
demikian juga sebaliknya. Aku sadar, manusia akan dipertemukan dengan orang yg
sekualitas dengannya. Lalu bagaimana dgnku, bagaimana kualitas rupa dan diriku?
Aah, aku malu mengatakannya padamu kawan, aku. Seorang manusia kebanyakan,
manusia yang sangat biasa, bahkan terlalu biasa. Hanya saja aku tak mau
mengidentikkan diriku dengan manusia-manusiaan seperti yang pernah dikatakan
dosen sastraku, tidak, aku tidak mau kawan. Aku. Seorang yang berasal dari sebuah
keluarga yang berpenghasilan rendah, keluarga sederhana - kalau tidak mau
dikatakan miskin- yang sedang mengais kepercayaan diri dari lingkungannya, yang
menyusun rencana untuk dapat sekolah, meski hanya bermodal nekad, do’a dan
sedikit harap.
Rupa? Ah, rasanya ini lebih memalukan untuk
diperkatakan. Tapi biar, biar kawan tahu. Aku selalu merasa cermin di kamarku
itu selalu berbohong kepadaku. Makanya aku tak pernah menyukainya. Dialah yang
mengatakannya padaku bahwa aku tak pernah gagah, jelek, jelek sekali, tapi
entah, atau barangkali hanya cermin di kamarku itu yang telah membohongiku, aku
berharap begitu, sangat berharap.
Yah, waktu telah bergulir lama sekali di hadapanku. 23 tahun. Berupa-rupa peristiwa telah menjumpaiku, aku telah berkenalan
dengan banyak hal, berjabat dengan berupa-rupa warna kehidupan. Dan dari serentetan
warna itu hal apa yang bisa kuambil sebagai pelajaran? Aku malu kawan, malu
sekali, bahwa telah bertahun-tahun aku hidup, telah berpuluh tahun aku sekolah,
dan lihatlah aku hari ini, mengenal diriku saja aku belum bisa.
Aku malu. Waktu telah berganti, dari detik, ke menit,
ke hari, ke pekan, ke bulan, ke tahun, dan sampai pada ke 23 tahun umurku hari
ini. Telah banyak hal yang berganti, presiden telah berganti, gubernur telah
berganti, bupati di kabupatenku telah banyak kali berganti, gelarkupun sudah
berganti, tetapi sepertinya isi kepalaku belum berganti.
Aku malu. Bahwa meratapi apa yang telah terjadi hanya
sebuah kebodohan. Bahwa menyiksa diri dalam kubangan penyesalan hanya berakibat
pada kekesalan pada diri sendiri. Toh, semua telah berlalu, telah habis dimakan
waktu.
Kawan, aku tak hendak
mengatakan bahwa aku tengah galau dengan kesendirianku sekarang, tidak. Aku hanya
merasa tengah menyia-nyiakan banyak sekali waktuku. Berpuluh tahun kawan, 5
hari lagi genaplah 24 jatah umur yang telah kuhabiskan, entah berapa lagi jatah
umur yang disimpankan Tuhan untukku. Entah bagaimanakah akan kuhabiskan sisa
usiaku? Masihkah seperti hari-hari kemarin? Entah.
Sekarang. Aku tengah
menanggung beban berat. Bagaimanapun, sarjana, di mata orang adalah orang yang
pintar, orang ahli di bidangnya, sementara aku? Ahh…. Aku tak tahu, dengan
bagaimana kan kutanggung beban yang di letakkan di pundakku itu.
Tuhan….. aku tak tahu
bagaimana.
Sementara, tahu kah kawan? hatiku,
selalu menuntut untuk menjadikan diriku orang yang layak diperhatikan oleh
langit. Manusia yang manusia, bukan manusia-manusiaan. Laki-laki yang laki-laki
jiwa raganya.
Malam ini, pada kisah yang
kawan baca ini, anggap saja aku tengah berkisah pada langit. Kawan tau kan? Tak
banyak manusia yang bisa dipercaya di masa ini. Makanya, langit adalah kawan
paling perhatian yang kupunya. Kuharap, langit tak pernah bosan dengan
kisah-kisahku…..
D. N. Ahmad
Makassar, 7 Maret 2013….