Pages

Jumat, 20 November 2015

Andai Dia Masih di Sini


Alhamdulillah, tunai sudah impian keluarga kecil saya. Sebuah impian kecil, tercipta sejak dulu, didoakan sejak lama, yang diharapkan almarhum ibu. Sangat besar keinginan beliau mewujudkannya dahulu, bahkan saat beliau masih sakit, beliau (masih kuingat) pernah membisiku satu kalimat. Mengungkapkan kekhawatirannya, kalau-kalau tak sempat menikahkan anak tertuanya. Itu tidak boleh, itu dosa. Dia ingin melihat cucu, punya menantu, berbesan.

Tapi aih, takdir, atau sesuatu yang telah diatur sang maha pencipta berkehendak lain. Saya tidak menyesalinya, (sekarang telah) merasa tak perlu terlalu lama memikirkannya, merasa tak perlu memarahi takdir. Bahkan itu, impian kecil itu, diam-diam menjadi impian saya juga. Dan hari ini, alhamdulillah. Sekarang, di alam sana, melalui cermin ajaib yang diberikan Allah. Pasti ibu telah menontong, semoga bahagia ia.

Ibu menganggapku sudah laki-laki, sudah sanggup menjaga orang, terutama diri dan saudara perempuan saya.Tapi aih, saya masih sangat malu. Barangkali ibu tengah geleng-geleng kepala di alam sana… Untuk diri saya saja belum bisa, malah dipercaya utk orang lain. Beliau… yang tidak sekolah, tapi paham segala gelagak, tahu sakit anak muda seperti saya. Membuat saya kini berpikir-pikir, jangan2 itu semua benar…. jangan-jangan selama ini saya tdk berkembang, karena terlalu banyak kemudahan? Terlalu banyak fasilitas? Bahkan sudah mulai percaya pada hape yang smart tapi isi kepala makin tidak? Jangan-jangan benar….. Saat semua sudah tercukupi, kita malah menggampangkan perangai, kita malah mengabaikan agama… Dan justru sulit sekali menemukan alasan utk berbahagia. Aih, hidup, takdir, atau apapun yang ada padanya, memabukkan!

Sekarang, setelah musim hujan itu usai, setelah saya benar-benar bisa menerima kepergian. Saya kadang merasa, cinta kami itu, memang perlu dididik dengan jarak. Agar dia semerbak suatu nanti, karena tak mungkin di dunia, siapatahu bisa disurga. Itu…. bukan karena islam menaruh ibu sebagai orang nomor satu ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya. Tapi memang karena, ah- seperti kamu tahu-, laki-laki mudah sekali ditaklukkan dengan kelembutan. Ibuku lembut sekali, seperti -(*ini yang ingin sekali saya katakan) –, mirip sekali dengan besan perempuannya kini. Maka kubayangkanlah kini, pikiran berandai-andai yang hadir begitu saja di pikiranku: Andai beliau masih di sini. Betapa sebuah keakraban besar 2 keluarga akan tercipta dengan hebat.

Saya tahu beliau ada, melihatku, mengetahui semua yang kulakukan, mengamati perkembangan ilmuku, perilakuku, dosaku, juga kebaikanku. Seperti kata Uzt.Felix: Selama tak bersama, kalau memang ada cinta, gantikanlah canda dengan do’a, isilah malam dengan munajat, agar kelak bisa berjumpa, kalau tidak di dunia, siapatahu bisa di surga.

Daan… saya ingin sekali berucap terimakasih. Keluarga besar saya, yang membantu, mendukung, mendoakan. Mungkin saya saja yang memang mudah terharu, (karena ini memang) mengharukan! Islam, mengenal menikah sebagai acara sakral penyempurna agama, pencipta bahagia dan keturunan yang diberkahi. Menjadikannya ibadah, yang mesti dimudahkan jalannya, serta dalam proses yang sederhana. Semoga pernikahan ini diberkahi, dijadikan penentram jiwa buat keduanya, dijadikan sakinah mawaddah marahmah. Aamiin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar