Alhamdulillah, tunai sudah impian keluarga kecil saya. Sebuah impian kecil, tercipta sejak dulu, didoakan sejak lama, yang diharapkan almarhum ibu. Sangat besar keinginan beliau mewujudkannya dahulu, bahkan saat beliau masih sakit, beliau (masih kuingat) pernah membisiku satu kalimat. Mengungkapkan kekhawatirannya, kalau-kalau tak sempat menikahkan anak tertuanya. Itu tidak boleh, itu dosa. Dia ingin melihat cucu, punya menantu, berbesan.
Tapi aih, takdir, atau sesuatu yang telah diatur sang maha
pencipta berkehendak lain. Saya tidak menyesalinya, (sekarang telah) merasa tak
perlu terlalu lama memikirkannya, merasa tak perlu memarahi takdir. Bahkan itu,
impian kecil itu, diam-diam menjadi impian saya juga. Dan hari ini, alhamdulillah.
Sekarang, di alam sana, melalui cermin ajaib yang diberikan Allah. Pasti ibu
telah menontong, semoga bahagia ia.
Ibu menganggapku sudah laki-laki, sudah sanggup menjaga
orang, terutama diri dan saudara perempuan saya.Tapi aih, saya masih sangat
malu. Barangkali ibu tengah geleng-geleng kepala di alam sana… Untuk diri saya
saja belum bisa, malah dipercaya utk orang lain. Beliau… yang tidak sekolah,
tapi paham segala gelagak, tahu sakit anak muda seperti saya. Membuat saya kini
berpikir-pikir, jangan2 itu semua benar…. jangan-jangan selama ini saya tdk
berkembang, karena terlalu banyak kemudahan? Terlalu banyak fasilitas? Bahkan sudah
mulai percaya pada hape yang smart tapi isi kepala makin tidak? Jangan-jangan
benar….. Saat semua sudah tercukupi, kita malah menggampangkan perangai, kita
malah mengabaikan agama… Dan justru sulit sekali menemukan alasan utk
berbahagia. Aih, hidup, takdir, atau apapun yang ada padanya, memabukkan!
Sekarang, setelah musim hujan itu usai, setelah saya
benar-benar bisa menerima kepergian. Saya kadang merasa, cinta kami itu, memang
perlu dididik dengan jarak. Agar dia semerbak suatu nanti, karena tak mungkin
di dunia, siapatahu bisa disurga. Itu…. bukan karena islam menaruh ibu sebagai
orang nomor satu ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya. Tapi memang karena, ah- seperti
kamu tahu-, laki-laki mudah sekali ditaklukkan dengan kelembutan. Ibuku lembut
sekali, seperti -(*ini yang ingin sekali saya katakan) –, mirip sekali dengan
besan perempuannya kini. Maka kubayangkanlah kini, pikiran berandai-andai yang
hadir begitu saja di pikiranku: Andai beliau masih di sini. Betapa sebuah
keakraban besar 2 keluarga akan tercipta dengan hebat.
Saya tahu beliau ada, melihatku, mengetahui semua yang
kulakukan, mengamati perkembangan ilmuku, perilakuku, dosaku, juga kebaikanku.
Seperti kata Uzt.Felix: Selama tak bersama, kalau memang ada cinta, gantikanlah
canda dengan do’a, isilah malam dengan munajat, agar kelak bisa berjumpa, kalau
tidak di dunia, siapatahu bisa di surga.
Daan… saya ingin sekali berucap
terimakasih. Keluarga besar saya, yang membantu, mendukung, mendoakan. Mungkin
saya saja yang memang mudah terharu, (karena ini memang) mengharukan! Islam,
mengenal menikah sebagai acara sakral penyempurna agama, pencipta bahagia dan
keturunan yang diberkahi. Menjadikannya ibadah, yang mesti dimudahkan jalannya,
serta dalam proses yang sederhana. Semoga pernikahan ini diberkahi, dijadikan
penentram jiwa buat keduanya, dijadikan sakinah mawaddah marahmah. Aamiin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar