(kisah yang entah kebetulan atau tidak)
Malam itu (Selasa, 27 Agustus 13)
saya mengunjungi rumah om saya yang terletak di BPH (Bumi Permata Hijau)
Talasalapang. Namanya Ustads Hasan, saya sering memanggilnya Utadz. Beliau
merupakan imam dan sekaligus tinggal di masjid kompleks tersebut. Bersama
istri, dan seorang anaknya yang masih TK yang bernama Alim.
Malam itu kami mengobrolkan banyak
hal (lebih tepatnya curhat). Saya tahu beliau adalah orang pintar, selain
karena sekarang sudah hampir bergelar doktor di UIN, saya juga sering melihatnya
tampil di TVRI, memandu acara diskusi bertemakan agama dan budaya atau
membawakan berita berbahasa mandar (beliau adalah orang mandar).
Mula-mulanya, kami membicarakan
tentang efek-efek demokrasi yang sudah muncul sekarang, (lebih banyak tentang
pemilu bupati di daerah saya –Jeneponto- yang akan berlangsung September nanti).
Dan kami sama-sama setuju bahwa demokrasi itu merusak tatanan budaya tradisi
yang telah dibangun bertahun-tahun. Saya pun lantas berkata bahwa dulu masih
seringka lihat orang bergotong-royong membangun rumah, saling senyum kalau
bertemu di jalan, saling hormat dan menghargai, tapi sekarang karena seringmi
terjadi pemilu tidak seperti itumi, makin banyakmi orang bumbeknya karena beda
pilihan. Makin seringmi orang menipu, dan yang tertipu makin banyak tongmi. Tidak
ditaumi mana yang mau diikuti, napejabat pemerintah dia paling jago menipu. Dia
hanya tertawa, kemudian menjelaskan dengan rinci idealnya sebuah demokrasi. Dia
pun mencontohkan dengan kisah tentang pnglamannya waktu tnggal di Amerika.
Bgaimana gaya demokrasi mereka. Meski begitu, tetap saja kami tidak beroleh
solusi.
Entah bagaimana ceritanya kami
tiba-tiba langsung membicarakan tentang pendaftaran pns. Dan didepannya saya
mengakui bahwa sekarang sudah adami yang tawarika akan nauruskan pndaftaran PNS
dengan bayaran 60 juta (didaerah tetangga kabupatenku), tapi tidak mauka terima,
karena percaya masih bisaja bersaing. Dia tersenyum, yang paling kuingat adalah
nasehatnya ke saya, bahasanya mengena pas di hati: To, pertahankanki itu
idealis, selamatkanki itu agama. Percayakanmi pada Tuhan, biar tongmaki jadi
tukan kebun, asal itumi kebenaran, asal itumi kejujuran. Suatu nanti, kalo jadi
PNSki dari hasil uang begitu, hati kita tidak akan bisa puas, tidak akan pernah
merdeka, tidak bisamaki (juga) nasehati orang. Orang yang setia pada kebenaran
itu suatu saat akan dibutuhkan, dan kamu juga orangnya pintar (dia bilangi saya
pintar), pasti bisaji tanpa sogokan. Satu lagi: kematian itu sangat kuat.
Terkejutka langsung, kenapa
tiba-tiba menyebut kematian (padahal kalau dipikir-pikir tidak ada
hubungannya). Beralih topikka, saya pun bertanya tentang pekerjaannya sebagai
pemandu pada acara diskusi TV, siapa-siapa saja tokoh yang pernah dia
wawancarai (saya berharap dia menyebut nama pak Ahyar). Tapi dia tidak sebut
nama pak Ahyar. Pernahka suatu ketika bertanya: pernahki duduk bersama pak
Ahyar diskusi di TV? (dia sudah tau bahwa Pak Ahyar itu dosen saya). Dia bilang
belum tapi saling kenal dan pernah bertemu. Dia melanjutkan: pengamat memang dia,
jadi pintar. sayapun mengiyakan, dia memang pintar, juga stailis, kubilang.
Tidak terasa
waktu begitu cepat berlalu, sudah jam 10 malam, dan kami harus mengakhiri
pembicaraan bertopik liar ini. Sebelum saya meninggalkan rumahnya, ia sempatkan
memberiku kalimat propokatif: tidak perlu menjadi singa untuk jadi raja, cukup
menjadi kuda diantara para sapi.
Sesampaiku di koss, saya sempatkan membuka akun
facebook saya, niatnya hendak menulis dan mensheerkan status tentang nasehat
Utads tersebut. Dan…. Saya sungguh terkejut seperti tersengat kalajengking,
saat mendapati hampir semua status yang tampil merupakan ucapan berduka cita atas
berpulangnya ke rahmatullah tokoh yang barusan kubicarakan: Pak Ahyar. Innalillahiwainnailaihirajiuun.
Tanpa sadar air mataku meleleh, lama sekali saya terpaku, merenung, dan tak
bisa tidur….. benar Utads, kematian memang sangat kuaaat.