Oleh: Dhito Nur Ahmad
Ke hadapan aliran Liku Camba, aku
menggugat. Kemanakah kini anak-anak menghabiskan masa bermainnya? Dimanakah
jernih dingin aliran sungai yang dahulu begitu indah? Juga nyanyi riang
beburung di atas dahan? Kemana?
Di pinggirannya kini aku berdiri.
Memandangi riak airnya yang dipermainkan angin, mengalir menembus celah lanra yang tumbuh liar di tepi sungai. Mendengarkan
suara Ibu yang dahulu melarangku berenang terlalu jauh ke dalam sungai.
“Jangan jauh-jauh, Nak!”
Atau perkataan. “Tidak Boleh!”
“Kenapa, Bu?
“Airnya dalam, berbahaya!”
“Saya jago berenang Bu, tak usah
khawatir.”
Kukatakan itu pada Ibu. Lalu,
tanpa menunggu beliau menyahut lagi, aku segera berlari ke pinggir sungai,
bergabung dengan teman-teman lain. Melompat ke sungai, berenang, bermain giri’-giri’. Itulah surga kenanganku,
peristiwa yang tak pernah kulupa, bahkan selalu kurindukan sampai sekarang.
Sekarang, anak-anak sudah tak
bersedia mandi-mandi sore di situ. Entah mengapa. Mungkin tak tertarik, atau
aliran sungai itu tak lagi memesona mereka. Entah. Pun, telah banyak yang
berubah. Di pinggiran sungai itu, pernah tumbuh pohon asam, lebat. Saking
lebatnya, sebagian tubuhnya dikujurkan ketengah sungai dan menutupi separuh
jembatan bambu yang melintang. Dulu di sanalah anak seumuranku menjadikannya
tempat berlompat ke air, bermain giri-giri,
sembari menunggu kerbau selesai mandi di bagian bawah sungai.
Sekarang orang-orang hanya
lalu-lalang di situ. Tak pernah lagi kulihat ada anak bertelanjang dada,
bermain giri’-giri’, atau sekedar
singgah lalu melompat ke sungai. mereka hanya lewat, kebanyakan telah dengan
mobil atau motor mereka, tak singgah, tak berminat. Paling-paling hanya
melirik, melepaskan pandangan sejenak, berlalu, kemudian lewat lagi, melirik
lagi. Begitu saja seterusnya.
Di sinilah kini aku berdiri.
Mendengarkan Liku Camba bercerita. Apa yang ia katakan? Tidak ada. Tak
terdengar. Hanya alirannya yang sedikit mempermainkan ingatan.
“Saat peradaban tumbuh, anak-anak lebih sibuk dengan tv, hp, dan playstation.
Dan sungai, kehilangan rerimbun pohon, anak-anak, kerbau-kebau, dan ibu-ibu
yang mandi dan mencuci baju.”
Begitu ceritanya.
Zaman telah memperlakukannya
dengan kejam. Tidak lebih dari perampok, mengambil semua jejak kejayaan: saat
airnya masih mengalir jernih, dan disanalah anak sekolah mandi pagi, lalu lewat
saat pulang-pergi sekolah. Di sana pulalah para warga menangkap ikan, mencuci
baju, memandikan kerbau. Bisa dibilang aktivitas warga tak terpisahkan dengan sungai
ini.
“Sekarang, apa yang bisa dimaknai
dari hp yang canggih, tv yang mengabarkan kekacauan, sawah yang ditumbuhi
beton, dan playstation yang menggantikan petak umpet?”
“Tak lagi ada orang yang ngobrol
tentang hujan semalam yang sangat deras, tentang tanaman padi yang disinggahi
banyak burung pipit, atau tentang kerbau Daeng Sijaya yang kemarin melahirkan
anak kembar dua. Zaman telah berbeda, orang lebih banyak bercerita tentang si Anu
kemarin yang diputuskan sama pacarnya, tentang kawin cerai para artis, tentang pemilu
yang sebentar lagi, tentang demonstrasi ricuh di ibu kota, atau tentang harga
kedelai yang melambung.”
Ke hadapan aliran Liku Camba kuadukan
semua itu. Apa yang ia katakan? Tidak ada. Tak terdengar. Hanya alirannya yang
sedikit dipermainkan angin.
***
Masih segar di ingatan.
Sepuluh tahun lalu, wajah kampungku sebagian besar masih bentangan sawah, sungai,
dan hutan-hutan kecil yang melingkar. Di ujung timur, tepatnya di sebelah kanan
tak jauh dari rumahku, masih membentang gagah Liku
Camba, sebuah sungai jernih yang membentang dari Lompobattang sampai ke Teluk
Bangkala. Di pinggiran sungai itulah saya menghabiskan masa kecil. Kusadari
betapa beruntungnya diriku masih sempat menikmati kampungku yang indah dan
subur. Di sanalah saya pernah keluyuran bersama teman sepermainan, berlayar
dengan perahu bambu dari Silanu sampai ke Batuloe, bermain petak umpat di
rawa-rawa, menjebak tekukur di pinggiran hutan. Jika siang tiba kami akan
bermain di sungai, dan pulang dengan membawa ikan gabus.
Sekarang, tak ada lagi
wajah Liku Camba yang gagah dan damai itu, dia
telah berubah dan tak nyaman lagi ditempati bermain dan mandi-mandi. Pepohonan
pun kian habis. Sawah dan rawa-rawa telah ditumbuhi rumah dan gedung
bertingkat.
Hutan jati yang kukenal
membentang sepanjang Bukit Leang-leang. Kini telah menjelma kebun jagung dan
rumah-rumah. Kuingat betul, dahulu di sanalah biawak bersarang. Di pucuk pohon jati
itu banyak sekali burung jalak dan bukkuru’
yang tinggal. Saya terkenang masa-masa berburu dahulu, di sana kami sering
menangkap burung dengan menggunakan ketapel dan perangkap yang terbuat dari
anyaman bulu ekor kuda. Terkadang juga hanya mengejutkannya yang sedang
bertengger di pucuk pepohon, lalu terbanglah mereka bersamaan, memenuhi langit kampungku
yang biru bersih. Sekarang, tak pernah lagi kulihat rombongan burung yang
terbang di langit kampungku.
Tak terasa waktu telah
lama berjalan. Mengalir begitu saja, seperti aliran Liku
Camba itu. Bertahun-tahun kutinggalkan kampungku lantaran melanjutkan pendidikan
di kota. Bertahun pula kurindukan surga kenangan masa kecil yang pernah kuukir
di kampung ini. Masih teringat nasehat Daeng Nuntung dahulu, juga nasehat para
warga yang lain.
“Mandilah di sungai,
tapi jangan pernah buang hajat di sana, Nak!”
“Kenapa Daeng?” tanya seorang
teman.
“Sungai adalah sumber
kehidupan kita, kebersihannya harus dijaga.” Jawabnya meyakinkan.
Pun Ibuku, pernah
menasehatiku.
“Nak, jagalah sungai
ini. Tak usah kau pelihara layaknya tanaman. Biarkan saja ia mengalir, pastikan
ia bersih” begitu nasehatnya hari itu.
Jadinya, sepanjang
ingatan, sungaiku dahulu sangatlah bersih. Tak pernah ada sampah plastik yang
mengapung di atasnya, apalagi kotoran manusia. Paling hanya dedaun pohon, atau
busa sabun yang berasal dari ibu-ibu yang mencuci.
Tapi kini, kesadaran
yang seperti itu telah mulai hilang. Geliat zaman telah berhasil merampok
kebiasaan bersih mereka, barangkali.
“Saat peradaban tumbuh, anak-anak lebih sibuk dengan tv, hp, dan
playstation. Dan sungai, kehilangan rerimbun pohon, anak-anak, kerbau-kebau,
dan ibu-ibu yang mandi dan mencuci baju.” Aliran Liku Camba bercerita.
Aku menggugat, ke hadapannyalah kini aku menggugat.
Bangkala
Barat, 20 Maret 2014