Saya sungguh terharu
pada perjuangan anak-anak Teluk Alulu untuk dapat sekolah. Kehidupan mereka
taklah anak-anak sekolah kebanyakan di Indonesia. Kampung mereka jauh di pulau,
ditempuh dengan darat sejauh 7 kilo meter, lalu dilanjutkan dengan perahu kecil
(katinting) selama satu jam perjalanan. Mereka, umumnya adalah anak-anak
nelayan, kopra, dan pemanjat kelapa. Hidup melarat di kampung terluar,
terpencil, dan tertinggal. Di sana, mereka terabaikan, dikampung yang seolah
ditelan laut luas, sejak kecil tak pernah berkenalan dengan listrik pemerintah,
bahkan ada yang mengaku tak pernah menonton tv, hingga Indonesia yang di kepalanya
hanyalah sebatas pulau tinggalnya saja.
Saya pernah ikut
berlibur ke kampung mereka, menyebrang dengan katintin yang mereka nahkodai
sendiri. Di katinting, mereka bercerita tentang kampong mereka dan berjanji
mengantarkanku ke tempat-tempat yang indah. Di kampung merekalah saya paham: Seorang
anak, berusia belia yang belum mengerti hidup dan tak ngerti pentingnya
sekolah, harus berjuang melewati beratnya rintang, meninggalkan kampung dan
belajar merantau sejak smp untuk dapat sekolah. Mereka, sudah harus sadar sejak
dini, melawan orang tua saat masih kecil lantaran pesimisme orang tua-tua
pedalaman yang masih tak percaya dengan sekolah. Kalau tidak, taklah bisa
mereka sekolah, menjadi bagian anak-anak kebanyakan yang setelah tamat SD
tinggal di kampung membantu ayah menangkap ikan dan bertani kopra.
*Buat Mereka, Teluk Aluluan: Elsi, Reki, Tio Van Hoten, Septori, Lili Trikia, Ari Andi Ramadan, Wardi, Achmad Rido, Sanipa, Bella Sheilvia, Emy Syafitri, Sarwenda, dan Yoland