Maratua, adalah salah
satu pulau yang terdapat di kabupaten berau, kaltim. Berpenduduk 40% perantau,
yang berasal dari banyak daerah yang berbeda. Pulau ini berpenduduk asli Suku
Bajau, dan juga didiami suku perantau: Bugis, Makassar, buton, dayak, jawa, dan
Lombok. Tidak keliru rupanya pulau ini dijadikan sebuah pulau pariwisata oleh
pemerintah kabupaten berau. Alamnya indah, pohonnya banyak, dan pantainya
bersih berpasir putih.
Di pulau inilah, kami
(sarjana mengajar SM-3T Univeritas Negeri Makassar) ditempatkan, menjadi salah
satu pulau yang dianggap perlu diberdayakan oleh pemerintah. Tidak
tanggung-tangung, saya (Dhito), ditempatkan bersama 3 teman lain (Putu, Adi,
Chaerul), menjadi bagian dari rombongan (keluarga) besar SM-3T UNM, memaksimalkan
berbagai macam persiapan, dididik dengan keras, lalu di sebar ke banyak daerah di
Indonesia (Berau, Manokwari, Teluk Bintuni, Waropen, Kepulauan Sitaro, dan
Kepulauan Aru)
Di Kabupaten Berau,
kami berangkat berombongan dari Makassar sampai ke sini. Maka berkumpullah
kami, ke-29 peserta sarjana mendidik di kabupaten yang beribukota Tanjung Redeb
ini, disambut, difasilitasi, lalu disebar ke berbagai kecamatan (Maratua,
Derawan, Batuputih, Tabalar, Talisayan, Kelay, Segah, dan Biatanhilir)
Saya, yang ditempatkan
di pulau maratua. Lalu apa yang terjadi dengan kami, dan bagaimana keadaan
alam, penduduk, dan pendidikan di pulau ini? Kami mengalami semacam shock condition, menyalami berbagai
macam peristiwa yang mengejutkan dan diluar perkiraan, dipaksa beradapatasi
dengan cepat, dan dibuat pontang-panting melayani siswa-siswa. Kami dianggap
orang yang sangat pintar, bahkan terlalu pintar untuk seukuran kepala mereka.
Mampu bekerja selayaknya mesin, mengajar dari pagi sampai jam pulang, dan mampu
mengajarkan hampir semua mata pelajaran yang tak ada gurunya.
Kami mempercayai
sepenuhnya bahwa untuk menciptakan pendidikan berkualitas dan mencetak siswa
yang ideal diperlukan berbagai macam sarana vital pendukung. Semakin lengkap
sarana pendidikan yang ada, semakin tinggi pula peluang untuk mencerdaskan. Siswa-siswa
di maratua, tepatnya di SMPN 27 Berau, nampaknya mengalami masalah pada hal
itu, disamping (tentu saja) kualifikasi guru dari segi kualitas dan kuantitas
yang kurang.
Maka tentulah, hal yang
mudah kita perkirakan akan terjadi, tak perlulah kita tanyakan kualitas
siswa-siswa. Mereka tinggal dilingkungan terisolir, air bersih mngandalkan
hujan, barang-barang dua kali lipat lebih mahal dibanding Makassar, tak ada
listrik, dan juga tentu saja tak ada tv dan radio. Maka hasilnya adalah, mereka
kebanyakan masih kesulitan memaknai beberapa kata yang didaerah lain sudah
lazim diucapkan, seperti kata: definisi, tragedi, tragis, kritis, motto,
apresiasi, dan semboyan.
Positifnya banyak juga.
Kebanyakan orang tua-tua mereka sopan, sangat sopan malah, apalagi kalau sama
guru. Meski tak serupa halnya dengan siswa-siswa, yang kebanyakan bandel
selayaknya anak remaja kebanyakan. Hal santer dan paling mudah disalahpahamkan
saat ia memanggil kau pada gurunya, tapi setelah mempelajari seksama, saya
berkesimpulan bahwa itu bagian dari budaya mereka, bagian dari kebiasaan umum
yang sulit dirubah, dan itu berterima sebagai hal yang sopan dalam lingkungan
umum mereka. Hal positif lainnya, tentu saja mereka terhindar dari efek buruk
teknologi, dan masih mengandalkan permainan traditional.
Sebuah kisah, beberapa
bulan saya di maratua. Ada rombongan artis datang dari Jakarta, termasuk
diantaranya jenifer lopes, budi doremi, dan rombongan kru tv, mereka sedang
syuting acara “paradise” di kompas tv dan “mancing mania” di trans7 (kalau tidak
salah). mereka stay di sana selama tiga hari, pada sebuah tempat penginapan
yang kebetulan berdekatan dengan tempat tinggal saya.
Sore hari mereka
menghambur bersama ke Dermaga Pelepas Rindu (disingkat DPR), satu-satunya dermaga
bersignal, berbaur dengan masyarakat, mereka berusaha menyapa, dan tak ada
diantara mereka yang merespon berlebih atau memperlakukannya selayaknya fans
seperti di daerah lain. Tak ada yang peduli, tak ada yang ingin foto bersama,
atau lebih tepatnya tak ada yang mengenali, bahkan tak ada yang tahu bahwa
mereka ini adalah yang sering nongol di tv. Saya kemudian membayangkan kotaku,
Makassar. Di sana, artis diperlakukan selayaknya orang mulia, dipuja dan
dijadikan idola. Kedatangannya direspon dengan segala macam tindakan aneh, panggung
diirikan, orang dikumpulkan, dijadikan tempat beriklan, wartawan didatangkan,
lalu menjelmalah artis itu seolah berhala yang punya banyak penyembah.
Sisi kurangnya, siswa
tak update informasi ilmu terbaru. Kualitas intelektual siswa stagnan dan
itu-itu saja. Di sekolah pekerjaan guru makin berat.
Perubahan kualitas
siswa yang tidak dibarengi perubahan kualitas guru mrupakan sebuah
kemustahilan, sedangkan perubahan itu sendiri menjadi keniscayaan yang pasti
dan harus terjadi. Sebutlah misalnya, apa yang terjadi di smp 27 berau,
meskipun fasilitas sekolahnya bisa dibilang standarlah untuk daerah sekelas
maratua yang terluar dan terisolir, tapi secara kuantitas mereka kekurangan
guru, ditambah lagi jika salah satu guru punya urusan di tanjng redeb, bisa
berpekan-pekan baru kembali. Penyebabnya apa? Karena ombak, perahu yang
melintas kurang, speedboat yang harganya mencapai 300ribu sekali pergi, dan juga
(sebagian besar karena) kesadaran pengabdian mreka yang masih kurang. Belum
lagi secara kualitas, kualifikasi mereka belumlah layak disebut ideal, meskipun
kata ideal ini masih menjadi sesuatu yang sangat luas untuk diperbincangkan.
Meski, tahukah? gaji
PNS di sini berkisar antara 8- 12 juta per bulan, kepala sekolah tentulah lebih
dari itu. Gaji PTT (Honorer kalo di Makassar) di sini mencapai 5,2 juta per
bulan. Tapi secara kualitas kerja, memprihatnkan untuk diperkatakan, kawan. Pengawas
sekolah meski ada dan bergaji tapi (seolah) tak pernah ada, tak pernah ke
sekolah (smp 27) lihat keadaan. Itulah sisi lain yang mengherankan dan perlu
dijawab. Pemerintah bukannya tak tahu, sekretaris dinas pernah curhat ke saya
dan mengatakan penyakit guru-guru di Berau, yang kebanyakan malas dan sulit
diatur. Tapi ia menunjukkan optimism bahwa semoga sm-3t banyak membantu di
situ.
Di Sekolah saya
(mungkin jg di sekolah lain di berau). Bahan pemicu pertengkaran antarguru
adalah uang Bosda dan Bosnas yang jumlahnya tak kira-kira itu. Jumlahnya
ratusan juta, sementara yang hendak dibiayai tak banyak, maka jadilah dilemma.
mengelola uang bukanlah keahlian guru. Perdebatan sering terjadi, belum lagi
guru dan kepala sekolah yang mengurusi itu biasanya sangat lama dikota
mengurusi dana BOS dan meninggalkan tugas utamanya di pulau.