Berpacaran,
ahhaay.... sebuah topik yang selalu menarik untuk dibahas, selalu menggoda
untuk dibicarakan, dan selalu kontroversial dalam setiap pandangan orang. Ada
yang mengatakan ini adalah sebuah kenormalan, sangat wajar, alamiah, dan justru
orang yang tidak berpacaranlah yang tidak normal, karena tidak ada naluri
biologis yang alamiah itu dalam dirinya. Namun ada juga yang mengatakan
berpacaran itu sebuah ketidaknormalan, karena tidak ada sesuatu dalam dirinya
yang bisa mengontrol nafsu biologisnya yang liar. Ini mengindikasikan bahwa
berpacaran identik dari berbagai pelanggaran dari banyak aspek kehidupan, baik
dari segi kemanusiaan, budaya, sosial, biologis, dan terutama agama.
Baiklah, itu
akan kita bahas secara sederhana dalam tulisan ini. Kita akan bersama
menganalisis mengapa keinginan berpacaran itu normal (sangat normal malah) dan
mengapa berpacaran itu identik dengan pelanggaran. Seperti kita tahu bersama,
maksudku sebagian (bagi yang tahu), bahwa cinta itu adalah bagian dari fitrah,
bahkan orang yang tidak memiliki naluri mencintai itu bukan manusia namanya,
barangkali mahluk lain yang bukan manusia, entah mahluk apa namanya. Namun,
segala sesuatu yang baik itu ada penyakitnya, seperti: penyakit bicara adalah
bohong, penyakit ilmu adalah lupa, penyakit ibadah adalah riya', penyakit
akhlaq mulia adalah kagum kepada diri sendiri, penyakit berani adalah
menyerang, penyakit dermawan adalah mengungkap pemberian, penyakit tampan
adalah sombong, penyakit bangsawan adalah membanggakan diri, penyakit malu
adalah lemah, penyakit mulia adalah menyombongkan diri, penyakit kaya adalah
kikir, penyakit royal adalah hidup mewah, dan penyakit agama adalah nafsu yang
diperturutkan (H. R. Ali R.A.)
Lalu bagaimana
dengan cinta dan berpacaran itu? Di mana letak penyakitnya? Ah, rasanya tak
perlu saya jawab, karena saya juga tidak tahu.... heheheh
Baiklah....
biar kukatakan padamu pendapatku tentang berpacaran ini kawan....
Dari aspek budaya....
jelas-jelas ini bukan kebudayaan kita. Maksudku bukan berasal dari falsafah
hidup kebugismakassaran kita. Tengoklah sejarah. Adakah budaya berpacaran itu
menjadi sebuah budaya yang dipuja-puja moyang kita? Justru perkara cinta dan
berpacaran ini menjadi siri tertinggi
manusia bugis makassar, sebuah pelanggaran tertinggi yang dimana pelanggarnya
harus menukar dengan nyawanya. Nah, disinilah titik-baliknya, sekarang
berpacaran menjadi kebudayaan baru yang sebetulnya bukan punya kita, tapi
kebudayaan orang yang merasuki kebudayaan kita.
Dari segi
kecerdasan, orang berpacaran itu biasanya selalu melarutkan dirinya dalam
situasi kasmaran. Nah, disitulah logika akan lumpuh, mata dan telinga menjadi
buta dan tuli, buta dari kebenaran dan tuli dari nasehat baik. Orang yang
logikanya lumpuh pasti tidak akan bisa menangkap apa-apa, dia tidak bisa
mempelajari hal apapun, tidak bisa berkonsentrasi, dan akhirnya menjadi bodoh.
Dari segi
pergaulan sosial, orang berpacaran cenderung terbawa arus, ngalir, orang yang
ngalir cenderung mengikuti apa saja yang trend, tidak memiliki kekuatan untuk
melawan arus, dan akhirnya akan jatuh dipembuangan. Secara kemanusiaan, ini
tentu saja tidak manusiawi, bahkan cenderung ke hewaniawi, mengapa? Karena nafsu,
berpacaran identik dengan nafsu, yang kalau semakin diperturutkan akan selalu
meminta yang lebih. Nah, kalau sudah demikian, pembeda antara hewan dan manusia
itu menjadi makin menipis. Dan ini tentu saja menurunkan derajat kemanusiaan.
Anak yang tak berdosa menjadi korban dan merentetlah kemudian tindakan aborsi,
pembunuhan anak bayi, ah kawan pasti sering mendengarlah kejadian seperti itu
di tv. Lalu bagaimana secara medis? Kawan tentu kenal penyakit berbahaya
HIV/AIDS bukan? Nah, itu penyebabnya diawali dari pergaulan bebas semua itu,
yang biasanya diawali dari embel-embel berpacaran.
Dari aspek
biologis, kita semua, maksudku yang normal, tentunya dianugerahi nafsu biologis
yang sangat alamiah. Kita diberi rasa cinta, sayang, marah, rindu, benci, suka,
dan rasa-rasa lainnya yang apalah
namanya, yang jelas kalau rasa strawberyy, bukan. Nah, tentu saja sangat tidak
seru hidup di dunia ini kalau rasa-rasa itu tidak naik turun. Ada suatu ketika
rasa itu akan membuncah-buncah, mengharu-biru, bikin sakit kepala, lalu surut
seperti tak punya rasa, dingin, datar, dan membosankan. Tentu saja bukan cinta
namanya kalau tidak begitu, mungkin cinta itu takkan ada, atau paling tidak akan
menjadi hambar, kurang menggigit, tidak menggelisahkan, tidak bikin cemburu,
tidak misterius. tidak asyik.
Tentu
saja kita sepakat bukan bahwa semua itu adalah anugerah? Dan anugerah itu
layaknya untuk disyukuri, dan cara menyukurinya itu dengan memperlakukannya
sebaik-baiknya agar tidak sampai anugerah itu justru menjadi perusak kehidupan
kita. Agar tidak merusak, tentu saja perlu dikontrol, dan satu-satunya yang
menyediakan solusi dan aturan kontrol dari itu semua adalah AGAMA ISLAM,
satu-satunya kawan, ingat, satu-satunya. Agama kita telah menyediakan aturan
main agar cinta itu tetap suci, tetap indah, tetap menggigit, tetap
menggelisahkan, tetap bikin cemburu, tetap misterius, tetap asyik, dengan tak
lupa menyediakan penyaring untuk menapis segala ampasnya yang rada-rada kotor.
Dan
bersyukurlah orang yang diberi rasa cinta bisa menyikapi cintanya dengan tepat. Mengapa? Karena
sangat berpeluang menulikan dan membutakan. Islam tidak pernah melarang dan
mengekang manusia dari rasa cinta, tidak pernah kawan, tidak pernah, justru
islamlah yang mengatur agar dengan cinta itu manusia tidak menjatuhkan martabat
dan kehormatannya sebagai manusia.
Lalu,
Bagaimana sikap kita? Apakah kita menganggap berpacaran adalah sikap normal
atau sebuah pelanggaran? (D. N. Ahmad)