Pages

Kamis, 03 Januari 2013

Pacaran: antara Kenormalan dengan Pelanggaran


Berpacaran, ahhaay.... sebuah topik yang selalu menarik untuk dibahas, selalu menggoda untuk dibicarakan, dan selalu kontroversial dalam setiap pandangan orang. Ada yang mengatakan ini adalah sebuah kenormalan, sangat wajar, alamiah, dan justru orang yang tidak berpacaranlah yang tidak normal, karena tidak ada naluri biologis yang alamiah itu dalam dirinya. Namun ada juga yang mengatakan berpacaran itu sebuah ketidaknormalan, karena tidak ada sesuatu dalam dirinya yang bisa mengontrol nafsu biologisnya yang liar. Ini mengindikasikan bahwa berpacaran identik dari berbagai pelanggaran dari banyak aspek kehidupan, baik dari segi kemanusiaan, budaya, sosial, biologis, dan terutama agama.
Baiklah, itu akan kita bahas secara sederhana dalam tulisan ini. Kita akan bersama menganalisis mengapa keinginan berpacaran itu normal (sangat normal malah) dan mengapa berpacaran itu identik dengan pelanggaran. Seperti kita tahu bersama, maksudku sebagian (bagi yang tahu), bahwa cinta itu adalah bagian dari fitrah, bahkan orang yang tidak memiliki naluri mencintai itu bukan manusia namanya, barangkali mahluk lain yang bukan manusia, entah mahluk apa namanya. Namun, segala sesuatu yang baik itu ada penyakitnya, seperti: penyakit bicara adalah bohong, penyakit ilmu adalah lupa, penyakit ibadah adalah riya', penyakit akhlaq mulia adalah kagum kepada diri sendiri, penyakit berani adalah menyerang, penyakit dermawan adalah mengungkap pemberian, penyakit tampan adalah sombong, penyakit bangsawan adalah membanggakan diri, penyakit malu adalah lemah, penyakit mulia adalah menyombongkan diri, penyakit kaya adalah kikir, penyakit royal adalah hidup mewah, dan penyakit agama adalah nafsu yang diperturutkan (H. R. Ali R.A.)
Lalu bagaimana dengan cinta dan berpacaran itu? Di mana letak penyakitnya? Ah, rasanya tak perlu saya jawab, karena saya juga tidak tahu.... heheheh
Baiklah.... biar kukatakan padamu pendapatku tentang berpacaran ini kawan....
Dari aspek budaya.... jelas-jelas ini bukan kebudayaan kita. Maksudku bukan berasal dari falsafah hidup kebugismakassaran kita. Tengoklah sejarah. Adakah budaya berpacaran itu menjadi sebuah budaya yang dipuja-puja moyang kita? Justru perkara cinta dan berpacaran ini menjadi siri tertinggi manusia bugis makassar, sebuah pelanggaran tertinggi yang dimana pelanggarnya harus menukar dengan nyawanya. Nah, disinilah titik-baliknya, sekarang berpacaran menjadi kebudayaan baru yang sebetulnya bukan punya kita, tapi kebudayaan orang yang merasuki kebudayaan kita.
Dari segi kecerdasan, orang berpacaran itu biasanya selalu melarutkan dirinya dalam situasi kasmaran. Nah, disitulah logika akan lumpuh, mata dan telinga menjadi buta dan tuli, buta dari kebenaran dan tuli dari nasehat baik. Orang yang logikanya lumpuh pasti tidak akan bisa menangkap apa-apa, dia tidak bisa mempelajari hal apapun, tidak bisa berkonsentrasi, dan akhirnya menjadi bodoh.
Dari segi pergaulan sosial, orang berpacaran cenderung terbawa arus, ngalir, orang yang ngalir cenderung mengikuti apa saja yang trend, tidak memiliki kekuatan untuk melawan arus, dan akhirnya akan jatuh dipembuangan. Secara kemanusiaan, ini tentu saja tidak manusiawi, bahkan cenderung ke hewaniawi, mengapa? Karena nafsu, berpacaran identik dengan nafsu, yang kalau semakin diperturutkan akan selalu meminta yang lebih. Nah, kalau sudah demikian, pembeda antara hewan dan manusia itu menjadi makin menipis. Dan ini tentu saja menurunkan derajat kemanusiaan. Anak yang tak berdosa menjadi korban dan merentetlah kemudian tindakan aborsi, pembunuhan anak bayi, ah kawan pasti sering mendengarlah kejadian seperti itu di tv. Lalu bagaimana secara medis? Kawan tentu kenal penyakit berbahaya HIV/AIDS bukan? Nah, itu penyebabnya diawali dari pergaulan bebas semua itu, yang biasanya diawali dari embel-embel berpacaran.
Dari aspek biologis, kita semua, maksudku yang normal, tentunya dianugerahi nafsu biologis yang sangat alamiah. Kita diberi rasa cinta, sayang, marah, rindu, benci, suka, dan rasa-rasa  lainnya yang apalah namanya, yang jelas kalau rasa strawberyy, bukan. Nah, tentu saja sangat tidak seru hidup di dunia ini kalau rasa-rasa itu tidak naik turun. Ada suatu ketika rasa itu akan membuncah-buncah, mengharu-biru, bikin sakit kepala, lalu surut seperti tak punya rasa, dingin, datar, dan membosankan. Tentu saja bukan cinta namanya kalau tidak begitu, mungkin cinta itu takkan ada, atau paling tidak akan menjadi hambar, kurang menggigit, tidak menggelisahkan, tidak bikin cemburu, tidak misterius. tidak asyik.
Tentu saja kita sepakat bukan bahwa semua itu adalah anugerah? Dan anugerah itu layaknya untuk disyukuri, dan cara menyukurinya itu dengan memperlakukannya sebaik-baiknya agar tidak sampai anugerah itu justru menjadi perusak kehidupan kita. Agar tidak merusak, tentu saja perlu dikontrol, dan satu-satunya yang menyediakan solusi dan aturan kontrol dari itu semua adalah AGAMA ISLAM, satu-satunya kawan, ingat, satu-satunya. Agama kita telah menyediakan aturan main agar cinta itu tetap suci, tetap indah, tetap menggigit, tetap menggelisahkan, tetap bikin cemburu, tetap misterius, tetap asyik, dengan tak lupa menyediakan penyaring untuk menapis segala ampasnya yang rada-rada kotor.
Dan bersyukurlah orang yang diberi rasa cinta bisa menyikapi cintanya dengan tepat. Mengapa? Karena sangat berpeluang menulikan dan membutakan. Islam tidak pernah melarang dan mengekang manusia dari rasa cinta, tidak pernah kawan, tidak pernah, justru islamlah yang mengatur agar dengan cinta itu manusia tidak menjatuhkan martabat dan kehormatannya sebagai manusia.  
Lalu, Bagaimana sikap kita? Apakah kita menganggap berpacaran adalah sikap normal atau sebuah pelanggaran? (D. N. Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar