Pages

Kamis, 27 Agustus 2015

Sebuah Pagi di Pulau Sangalaki

Ada sebuah pernyataan paling menggoda, paling bikin gugup, paling menggetarkan, dan melakukannya punya resiko terlalu besar. Tetapi dengan tidak mengikrarkannya, menjadikan kita dianggap kurang manusia, dan ke(normal)manusiaan kita dipertanyakan. Ada sebuah pernyataan paling menakutkan tapi juga sekaligus membawa senyum harap, membawa kebahagiaan sekaligus kesedihannya, kesenangan sekaligus airmatanya, ketenangan sekaligus kesakitannya. Duhai… pernyataan apakah kiranya itu, dari manakah gerangan pernyataan itu berasal, dan untuk apa sebenarnya ia ada?
Semua kalimat itu, muncul pada sebuah pagi, di sebuah pantai di Sangalaki. Merasa sendiri dan (dianggap) menyedihkan, saya melihat cakrawala mengerut, membentuk garis seperti tali, di sanalah menggantung segala angan dan pertanyaan-pernyataan itu. “Kebahagiaan dan kesakitan hanya persoalan beda sensasi, tergantung bagaimana kita menikmati dan memaknainya”. Tak pernah ada masalah dengan tangisan pertama kita, pun tak kan pernah ada masalah dengan tangisan selanjutnya, entah dengan alasan apapun, mau itu karena sakit, difitnah, dimaki, atau merasa kehilangan hal yang tak pernah dimiliki (heheh, apamitu?!). Seperti saat seorang sahabat pernah menulis: “Dik, jika dia betul2 belahan jiwa yg memang diciptakan untukmu, kemanapun engkau pergi, bagaimanapun keadaan perasaanmu padanya, dan seberapapun jauhnya jarakmu dengannya, suatu saat dia akan kembali dan menjadi milikmu. Kalau tidak, berarti dia bukan (si)apa2, dan se-suatu- orang yg bukan (si)apa2 tak pantas utk merisaukanmu”. Pun hidup, yang akan terus mengalir serup air, biarkan saja ia mengalir, lalu kita pun bergerak bersama alirannya. Sederas apapun arusnya, patuhi aturan main, terus memperbaiki diri, arus tenang akan datang sendiri pada momennya.
Lalu kuingat lagi seorang kawan akrab di Makassar, saat masih menempuh pendidikan. Punya cita-cita mendapatkan perempuan (baik). Rupanya seleranya dianggap terlalu tinggi oleh orang lain (meskipun saya menganggapnya tidak). Seorang islam, cerdas, istiqomah, dan menjaga diri. Dan memang, susah, tidak mudah, sangat. Sebab, zaman tak lagi mengizinkan orang-orang seperti itu eksis dan bertahan. Lalu tiba-tiba sekarang, seperti telah menjadi keajaiban ilahi, kawan akrab saya itu sekarang telah terduduk pula di sini, di Sangalaki, bersama saya, dalam kepala saya. Ia hidup, masih hidup sebenarnya, meski telah sekarat, dan hampir-hampir mengubur keinginan mulianya itu.
Dulu ia masih bertahta, dinaungi sayap-sayap malaikat, membuatnya sanggup pergi membuktikan diri sebagai laki-laki. Memenuhi impian masa kecilnya untuk tak lahir dan besar di sarang. Di sangalaki, begitu banyak penjelasan kudapat, ia bergantung pada pepohon rimbun nan elok di pesisir, bertaburan diantara pepasir, dan terbaca di punggung tukik. Penjelasannya asli dan tak rumit, datang di kepalaku yang biasanya hanya bersedia menyediakan penjelasan yang menyenangkan hati saja. Saya, dan kawanku seperjalanan, para guru dan beberapa siswa, disiang hari sembari menunggu air pasang. Banyak bercerita, para senior yang telah matang ilmunya dan panjang pengalamannya masng-masing berbagi kisah, tentang cerita cinta mereka.
Saya kemudian teringat penjelasannya Bang Tere Liye, beliau pernah menulis: Permasalahan atau urusan hidup itu persis seperti rumput di halaman. 100 kali kita potong, rapikan, perindah, maka 100 kali pula rumput tersebut tumbuh lagi, tinggi, berantakan. Terus saja begitu, ada-ada saja masalah/urusan baru yg muncul. Oleh karena sudah demikian kodratnya, maka drpd mengeluh, berputus asa, lebih baik siapkan peralatan yg baik, sisihkan waktu, dan jangan malas segera disiplin memotong rumputnya, agar terus indah dilihat sepanjang waktu.
Berdasar dari cerita cinta yang dijelaskan para guru senior. Saya menemukan banyak definisi yang salah (ini berdasar persepsi saya), lalu inilah yang barangkali iseng dikatakan di hadapan siswa-siswa di kelas, mencitrakan begitu dalam tingkah lakunya. Pengalaman saya, karena saya termasuk pria baik hati dan tidak sombong (prĂȘt tt), sangat sering ditanyai siswa tentang pacarnya, saat sperti itu, slalu kuarahkan, kubahasakan halus sebaik mungkin dengan satu arah yang pasti: Sudah, putuskan saja pacarmu itu, dek!. Dengan tujuan, agar ia hidup normal dan baik-baik saja, tak perlu galau-galau untuk hal tak penting.   
Tapi masalahnya, orang seperti ini di zaman sekarang akan tertindas, diabaikan, tersingkir. Ia berada pada pilihan pelik, mempertahankan prinsipnya atau tersingkir dari dunia tempatnya hidup dan bernaung, artinya ia hidup tapi seolah tidak karena tak diakui lingkungannya, tak ada tempat berekspresi. Dan itu tidak mudah, kasihan juga. Bagaimana kalau ia tak sanggup? Bagaimana kalau ia tak cukup kuat menahan itu semua? 
Tentulah tak pernah kusalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Makin hari, pepohon kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah, tanah-tanah dibeli orang asing lalu digerusnya kekayaan alam kita, rumah-rumah ditimpali informasi sesat di layar kaca, yang mengajari anak2 kita hidup lebay dan kurangajar. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran di jalan dan keramaian-keramaian. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Anak muda pun lebih suka bergerombol di pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Pasangan terpaksa menikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, kasus memalukan yang terjadi di luar nikah. …….dst.
Di sunyi sangalaki, bergantung sisi kontemplasi. menggantungkan hal-hal miris yang terjadi, membenarkan betapa propaganda yahudi yang digencarkan melalui media yang dikuasainya telah berhasil, membuat kita jadi orang-orang kalah, kalah total. Mereka seperti mampu mengerahkan ratusan iblis untuk membekuk orang-orang pintar yang bertengger di lembaga-lembaga Negara, guru dan pelajar-pelajar yang ada di kampus dan sekolah-sekolah. Telah kita lihat betul keampuhan sihir-sihir mereka.
Lalu, setelah segalanya terjadi, setelah kini segalanya sudah jadi hal biasa dan (terkesan) tak dosa lagi. Sesuatu yang sebetulnya disadari sejak dulu tapi terjadi begitu ajaib, seperti sesuatu yang alamiah, mengelabuhi akal pikiran dan terjadi begitu saja, tak dipedulikan begitu saja. Menyeret kita semua, masuk neraka secara berjamaah, nanti! Lalu apa yang hendak kamu (kita) lakukan? sesuatu yang entah bertanya padaku. Ah, aku hanya rindu kawan lamaku, rindu masa-masa semangat memperjuangkan idealisme asing yang menggetarkan dan sangat beresiko, yang membuat dunia tak menerima dan menyingkirkan penganutnya dari atasnya. Di Sangalaki, saya kemudian berpikir tentang pulang. Apa yang bisa kukatakan (pada-Nya) di sana setelah pulang nanti?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar