Oleh
: Dhito Nur Ahmad
Aku
mengenal pria itu dua bulan lalu. Dia datang bersama
senja dan menyejukkan tubuhku dengan sinaran lembutnya. Betulkah
dia mencintaiku? Entah. Yang kutau dia bilang mencintaiku, kemudian setelahnya
melukaiku dengan teramat dalam. Bahkan
menggelapkanku ke dalam bayangan hitam yang kelam, aku hampir saja tak mendapat
petunjuk pulang setelah kejadian itu.
***
Sebuah
hari yang tak sederhana, aku mengenalnya pada suatu hari yang tak kumengerti.
Hari itu, aku telah mendapati diriku berada pada sebuah tempat bersamanya.
Hanya kami berdua. Saat itu, masih sore. Masih kulihat cahaya matahari yang
memantul di balik jendela wisma. Sepi, tak ada suara, hanya suara letupan
jantung yang kurasa terasa merobek dada. Tentu saja kau telah tau apa yang
telah kami perbuat saat itu.
Setelah
itu, keadaan tambah senyap. Perasaan itu pun lenyap. Dia memintaku untuk
melupakan semua kejadian itu. Aku pun tak
ada pilihan lain selain menerima kejadian sore itu. Lalu kami, dia dan aku berpisah
seolah tidak pernah terjadi apa pun, membawa sejuta penyesalan yang mungkin
akan diratapi suatu saat nanti. Kawan!
inilah cinta dan kekasih yang pertama menyalamiku. Sesuatu yang banyak
dipuja-puja jutaan manusia di bumi
Ceritanya
sederhana. Aku, adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di
kotaku. Jauh sebelum aku di sini, aku adalah
wanita kebanyakan di kampungku. Aku hidup jauh di pelosok kabupaten. Sebuah
desa kecil yang damai, Bertani dan berkebun adalah aktifitas utama di desaku,
termasuk ayahku. Meskipun begitu, desaku tergolong maju, masyarakatnya makmur.
Mungkin seperti desa kebanyakan di kabupatenku, yang sedikit berbeda adalah adat
dan kultur masyarakat di desaku yang mendapat pujian dari banyak kalangan.
Desaku terkenal sebagai basis kultur islam yang kokoh, sebuah anugerah terindah
yang di anugerahkan Allah kepada desaku. Tentu saja termasuk aku dan sanakku.
Aku
besar di pesantren, dari TK sampai Madrasah Aliyah semua kuhabiskan di kampung halamanku sendiri. Belajar ilmu agama
dan segala unsur pendidikan yang berlaku di pesantren. Semua menyenangkan,
hidupku sangat ceria. Tapi itu dulu, dulu sekali ketika aku belum mengenal dunia
secara luas.
Setamat
Aliyah, adalah semacam ketakterdugaan ketika aku berkesempatan
untuk kuliah di Makassar, kota pusat pendidikan dan peradaban modern di
Indonesia timur. Tanah baru, suasana baru, dan tentunya dengan tantangan yang
baru.
Maka,
di sinilah aku sekarang. Berkenalan dengan langit dan tanah lain yang tak
pernah kutemui di kampungku. Sangat mengasyikkan, lambat laun aku semakin
merasakan sebuah perkembangan kehidupan. Kadang-kadang terbersit di pikiranku
akan tidak enaknya kehidupanku dulu. Tak seperti sekarang, dulu tak pernah aku
untuk sekedar jalan-jalan di mall, nontong di bioskop, atau sekedar ke tempat
wisata yang indah dan menenangkan. Aku begitu merasakan kebebasan yang tak
terhingga, tak ada lagi aturan ketat kampungku yang seakan memenjarakan, jilbab
kutanggalkan, karena keadaan yang tak memungkinkan. Pun melihat teman-temanku
melepas jilbabnya saat pulang kuliah. Sekarang baru kurasai semuanya. Wuuih..!
hidup ini indah ternyata!
Semua
berawal pada suatu hari. Aku masih ingat hari itu. Sore. 12 November 2010. Aku
melihat sebuah gejolak yang resah pada kedalaman mata seorang lelaki. Saat itu
dia memujiku cantik, wanita tercantik yang pernah ia lihat. Setelahnya, dia
kemudian bilang mencintaiku dan menanyaiku perasaanku terhadapnya. Dan aku
menolaknya, lalu pergi di hadapannya. Tapi, peristiwa itu tidaklah membuatnya
menyerah, dia mengejarku dengan berbagai macam caranya. Dia sungguh perhatian
terhadapku. Jika bertemu di kampus, dia selalu menggodaku, selalu bilang bahwa aku
ini cantik.
Lalu
betulkah aku cantik? Aku tidak tahu. Yang kutahu teman-temanku pun sering
bilang begitu. Lalu hal apakah yang bisa kuambil dari kecantikan ini?
Sepekan
setelahnya, aku berjumpa dengannya secara tak sengaja, di kos seorang kawan,
matanya begitu dalam memandangiku, menembus jauh di relung hatiku. Dia
mengenalkanku dengan suatu keadaan yang sama sekali asing buatku. Sore itu,
hatiku telah ditaklukkannya tanpa perlawanan. Dia telah merubahku menjadi
kekasihnya, laki-laki yang telah membuatku menjadi ember yang siap menampung
apa pun yang ditumpahkan kepadaku. Aku sendiri tak tahu, senangkah aku dengan
kejadian itu. Cintakah aku kepadanya? Entah! Yang jelas dia bilang cinta
kepadaku, dan aku pun mengangguk pasti ketika sore itu dia menanyaiku hal
serupa.
Di
tempat itu lah kami sering duduk berdua. Menggunakan waktu yang telah tersedia
untuk kami. Hari itulah kami larut dalam sebuah kenangan yang mungkin akan
menjarahku seumur hidup. Kelarutan dihadapan kekasih adalah bayangan bau neraka
yang menyengat, tapi itu nanti dirasakan pada saat kekasih itu telah tiada.
Kurasai betul, bahwa sungguh tak mudah untuk hidup dalam dunia yang aneh ini.
Aku, cinta, dan dosa cinta begitu tipis perantaranya, seperti berada dalam satu
dunia yang sulit dipilah. Namun, itulah aku. Wanita kebanyakan abad ini. Wanita
yang mungkin tak aneh di masa yang menjunjung tinggi budaya baru yang tak
berpendirian.
Setelah
itu kami berdua terhenyak. Dan mulai sama-sama perih dengan keadaan yang tak
tertahankan. Semua menyayat, seakan mau membunuhku karena kubang penyesalan
yang amat dalam.
Lalu,
bencikah aku padanya? Cintakah aku padanya? Aku sungguh tak tahu apakah aku
membencinya atau mencintainya, yang jelas dia pernah bilang mencintaiku.
Makassar,
2010
saya bingung dengan akhir ceritanya,,
BalasHapusapa si gadis itu telah ditinggalkan oleh si lelaki itu ?