Saya kembali menulis lagi
Dhito Nur Ahmad
Sastra. Sebuah bingkai tempat menatap hari dan waktu, keramaian dan kesunyian, keindahan dan kepahitan, kebahagiaan dan kesakitan. Segala yang bernama masa lalu, hari ini, maupun hari esok, akan tergambar sebagai sebuah potret. Refleksi dari sebuah perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan. Dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan.
Kamis, 05 Agustus 2021
Cerita Tentang Menikah
Akhir-akhir ini saya selalu terpikir dan mau menulis tentang menikah, entah kenapa. Dan entah kenapa pula tidak pernahka jadi dan iniji satu-satunya yang kutulis. Menikah, proses sakral penyempuna agama, penggenap diri, atau alasan-alasan lain yang banyak. Setelah menikah, banyak yang bersyukur, rata-rata bahagia, sedikit yang menangis, ada pula yang menyesal. Menyesal? Iya, kenapa beng tidak dari dulu...
Ibu, adalah orang yang pertama kali bercerita padaku tentang menikah. Kabarnya, waktu beliau menikah, masih sangat muda, pas tamat SD. Sejak dulu dan sejak kita masih ingusan, ibu pulalah yang selalu menyuruh kita menikah, menjodoh-jodohkan dengan si anu, mengenalkan anaknya si anu, memuji anaknya si anu. Ibu kita -yang kita sayang melebihi semua perempuan- tak hanya orang yang mencucikan baju kita, menyapu, memasak nasi, menyiram tanaman, membelikan obat kalau sakit, tetapi juga tidak pernah menyuruh bapak kita keluar malam-malam, seperti istri teman2 saya yang sering disuruh istrinya keluar jam sepuluh malam beli gorengan. Ibulah yang melarang kita membonceng anak gadis orang dan menjaga baik-baik perasaannya, mengajari kita mengenal hijaiyah dan huruf abcd, menyuruh kita menjaga sholat, dan mengingatkan kita melihat kanan-kiri saat nyebrang jalan. Dulu saya berpikir, kisah hidup ibu-ibu sungguh monoton dan membosankan, memasak, mengepel, ngurus anak, sholat berdoa, melarang ini melarang itu.
Bapak kita, seperti bapak-bapak yang lain. Membebaskan, dengan siapa, bikin apa, ada di mana, terserah, yang penting kalau malam ada di rumah. Tapi kalau dengan anak perempuannya berbeda, lebih disayang dan lebih diperhatikan. Pun ketika menikahkannya, bapak-bapaklah yang paling banyak menangis. Berbeda, kalau yang menikah itu putranya, entah kenapa. Tapi saya rasa, bapak-bapak sekarang pun mulai berubah perlakuannya, sekarang banyak cewek-cewek keluyuran malam, di mal, di bioskop, di sudut jalan, pacaran, saya yakin mereka punya bapak.
Saya termasuk terlambat mengenal perempuan, tamat SMA ketika teman-temanku telah berulangkali ganti pacar, saya malah belum pernah naksir. Saya juga tidak penah menunjukkan kesan penting untuk didekati perempuan, atau layak dijadikan pacar, lebih tepatnya diabaikan.
Cerita kedua, kakak. Kakak-kakak kita adalah orang baik, meski sering mengerjai dan jahil tetapi sesungguhnya sayang. Kakak kita sering pura-pura menasehati dan membujuk kita merahasiakan kesalahannya dengan iming-iming. Menikah, setelah menyelesaikan sarjana, setelah bisa mencari uang, pun rajin menceramahi kita untuk tidak buru-buru menikah.
Teman-teman SMA saya banyak. Kisah mereka menikah pun tentu juga banyak. Dahri, kawan SMA saya menikah pas tamat, pacarnya banyak dan berganti-ganti sejak dulu, cantik-cantik pula, wajar karena ia memang gagah dan berkesing atletik, tapi justru menikah dengan janda beranak satu yang merupakan seorang biduan. Ia membangun bengkel motor, gulung tikar, dan akhirnya berketetapan hati menjadi pengusaha elekton.
Alimustafa, di zamannya paling ganteng di kelas, banyak cewek yang naksir, tetapi cool dan membiarkan dirinya digoda-goda. Sekarang, ia malah belum menikah dan memilih hidup membujang dan berikrar tak pernah mau menikah, entah bagaimana ceritanya, santer terdengar, ia pernah punya pacar tapi menikah dengan pria lain, bertahun ia bersedih dan membuang diri ke rantau. Pulang-pulang, langsung membawa mobil crv keluaran terbaru, kabarnya dia menjadi pengusaha kelapa sawit. Kedatangannya menjadi buah bibir. Cua jadi ustadz terkenal, video ceramahnya banyak di youtube dengan ratusan ribu viewer, istrinya bercadar, anaknya telah tiga. Dia adalah orang yang saya kagumi sejak dulu.
Marsa, tak pernah kita melupakan Marsa. Bibirnya, matanya, lehernya, betisnya, jemarinya, rambutnya, giginya, tasnya, sepatunya, pernah membuat jiwa raga kita menerjang. Kalau iman kita lagi gemulai, meradang kita dibuatnya, seingatku dulu, beberapa teman pernah menyatakan cintanya, ada yang ditolak ada yang diterima. Termasuk yang diterima adalah, kawan saya iskandar, herman, sardi, dan termasuk yang ditolak adalah dahri, baso, nurung, harfi. Sementara saya, cua, sadikin, dan ramli temasuk orang yang rajin menundukkan pandangan, heheheh.
Sekarang marsa sudah menikah dengan seorang polisi dan diboyong ke jakarta, ketika saya menjumpainya suatu kali, dia masih cantik meski sudah tak mengenalku.
Nasib orang tidak ada yang tahu. Barangkali karena pengaruh teknologi, atau pergaulan yang di masa kami sudah mulai bebas, ataukah pengaruh sinetron yang saat itu mulai laris, ataukah barangkali prinsip agama yang sudah mulai keluar pelan-pelan, banyak teman tidak menikah baik-baik, kawin lari, kawin cerai, pacaran hingga nikah terpaksa, di telikung suami, dikhianati istri. Ada pula, berubah dan hijrah semenjak tamat SMA, dulu seksi sekarang berhijab besar. Maklum, SMA kami dulu termasuk yang membebaskan ukuran pakaian siswa cewek. Saya, termasuk yang stagnan dan begini-begini saja sejak dulu, bahkan menjadi barisan sisa yang belum menikah.
Kini, setelah 11 tahun masa berlalu dan masing-masing mengukir kisah, beberapa teman malah menghilang kabarnya setelah tamat. Kalau saya pulang ke kampung, terkadang saya menghindar untuk berjumpa muka dengan teman-teman SMA saya, pura-pura tidak kenal, bahkan tak menjawab chat di media sosialnya. Belakangan ini, saya rasa malu hati belum menikah, hehehe...
Teman-teman, ada yang menganggap saya terlalu pemilih, ada yang bilang cuek. Saya rasa semuanya itu tidak benar. Sunnatullah dan qudratullah tetap berlaku, dalam hidup semua orang. Sama-sama berusaha, Allah yang tentukan takdirnya. Di usia yang sama, ada yang telah dua kali, ada yang telah cerai, ada yang sedang mengusahakan yang kedua, ada yang malah masih harus banyak-banyak berpuasa, hehehe... Keadaan keluarga pun berbeda-beda, ada yang dipaksa setengah mati keluarga agar mau menikah, ada yang malah lama menanti.
Saya tahu, ada berjuta kisah seperti ini di dunia. Kenangan dan masa lalu, kalau kita mengingat-ingatnya beroleh tempat penting di hati kita. Ada masa-masa yang selalu ingin kita ingat, ada pula yang setengah mati kita ingin lupakan. Waktu berlalu dengan gegas, telah berpuluh kisah lain yang telah diukir ditempat lain.
Saya sering merenung dan mempehatikan, perjalanan hidup ini tak ubahnya laboratorium perilaku, masalahnya itu-itu saja, hanya kerumitan masalahnya yang lebih seiring berlalu zaman. Ada yang setengah mati mau jadi orang kaya, setelah kaya malah tambah sengsara hidupnya. Dulu, cewek-cewek yang kita kenal cantik dan seksi, malah menikah dengan orang yang menggampangkan perangai. Pacaran yang sewaktu SMPku masih tabu, SMA malah laris manis, dan orang-orang yang dulu banyak pacarnya sekarang istrinya malah bikin pusing, tidak istimewa, hehehe... Dulu kita yang curi-curi waktu agar bisa main hape teman, sekarang malah setengah mati kita berjuang agar tidak main hape. Dulu kalau mau nonton tivi, nebeng kita di rumah orang, sekarang malah ketika tivi ada di rumah, sengsara kita dibuatnya. Banyak orang malah sudah tak mengizinkan tivi ada di rumahnya.
Saya sering berpikir, kalau saya nanti kaya beristi cantik, terus kenapa? Siapami nanti yang bilang wow. Kalau rumahku besar, mobilku banyak, untuk apa? Kalau semua orang memuji dan menyanjungku, trus kenapami? Belakangan, barulah saya mendapatkan teori “tujuan dan keperluan”. Bahwa dalam pejalanan ini, ada tujuan ada keperluan. Tujuan menjawab untuk apa kita di sini, keperluan tentang sekedar butuh apa kita di sini. Hidup haruslah mengutamakan tujuan, mencukupkan keperluan. Menikah termasuk tujuan atau keperluan? Entahlah, heheheh...
Ujian yang selalu ada dan berkelanjutan, masalah yang akan selalu ada dan berkelanjutan. Ada yang diuji dengan pekerjaan, ada dengan mertua, ada dengan anak yang berantakan, ada pula dengan istri yang susah diatur. Bahkan yang banyak tidak lulus, kalau diuji kejayaan dan kekayaan.... dan terkadang yang peduli agama, justru yang paling berat ujiannya. Kok begitu yah? Ya tentulah, karena kita masih di dunia. Ini memang tempatnya, seperti inilah konsep cintaNya. Menikah itu ujian juga? Ya, tentulah.... heheheh
Kita bersyukur, bahwa masih sempat kita mengingat dan menghormati masa silam. Apapun dan seperti apapun kisah teman-teman, mari kita bersyukur dan berbahagia. Buat yang masih jomblo seperti saya, kita hormati pemberian Allah ini, buat yang sudah menikah, juga hormati pemberian Allah itu. Selamat berbahagia, teman-teman....
Dna (2018)
Selasa, 02 Januari 2018
Malam Jumat
Oleh: Dhito Nur Ahmad
Awan jingga sedang berarak di langit kampungku senja itu.
Seperti kemarin, dan hari kemarinnya lagi, matahari gemerlap di ujung hari.
Musim barat telah berlalu, dan angin kemarau sudah datang menghembus,
mempermainkan kerudung penutup rambut Ammak yang telah keperakan.
Tak pernah kuliat Ammak begitu murung sesore ini.
Biasanya, Ammak telah mandi, tergesa bersibuk di dapur, menyiapkan makanan
malam, lalu menyiapkan diri menyambut maghrib. Tapi senja ini berbeda, telah
kudapati Ammak dengan tubuh ringkihnya, terduduk sambil sesekali terbatuk-batuk
di bale bambu depan rumah, sendirian, dengan penutup rambut berkibar
dipermainkan angin kemarau yang berhembus. Ini adalah malam jumat, akan ada
ritual tak biasa yang akan kami jalani, merupakan kebiasaan keluargaku untuk
mengaji bersama. Tapi senja ini, akankah Ammak lupa pada hal itu?
“Ada apa Ammak termenung sendiri di sini?” tanyaku.
“Tidak, saya suka di sini, menunggu maghrib.” begitu ia
bilang, gagal menyembunyikan duka di wajahnya.
Setelah maghrib selesai, dan Ammak telah pulang dari
masjid samping rumah. Ammak kemudian memanggil kami semua, anak-anaknya,
mengaji bersama di ruang tamu, mendengungkan bersama surah Al-kahfi. Saya,
ayah, dan keempat saudaraku mengusir sunyi malam yang menguasai maghrib
itu.
“Al-kahfi itu melindungi kita dari fitnah dajjal” begitu
pernah ia bilang.
Atau
“Nak, ini sudah akhir zaman, rajin-rajinlah kau mengaji.”
Hal itu dikatakannya ketika malam jumat dan ia dapati
diriku sedang bermalas diri di kamar sehabis maghrib, atau sedang tidak di
rumah dari sore hari hingga melangkahi maghrib.
Setelahnya, Ammak akan meraih piring, menyiapkan
segalanya di dapur, lalu makan bersama dengan sesekali diingatkan baca
bismillah. Hal itu berlanjut hingga malam merangkak sunyi, dan masjid
mengumandangkan adzan isya.
Hari selanjutnya, kudapati lagi Ammak dengan kebiasaan
barunya. Duduk berlama-lama di bale bambu depan rumah, menunggu maghrib,
sendiri. Entah apa yang telah menyelimuti pikirannya. Saya dan kakak tertuaku pun menyampari.
“Apakah gerangan yang Ammak khawatirkan? Begitu kakak
bertanya, sedikit mengejutkan Ammak yang sepertinya sedang sibuk dengan sesuatu
yang ia lafadzkan di bibirnya.
“Ah, tidak. Menunggu maghrib.” begitu ia berkata, jawaban
yang sama.
“Di sini dingin, Ammak sedang sakit batuk. Angin kemarau
tak baik buat kesehatan Ammak”
Ammak tersenyum, seperti hendak menyiapkan sebuah nasehat
kepada kami.
“Sini, duduklah di sini!” ajaknya.
“Apakah kau khawatirkanku, Nak?” tanyanya pada kakakku
itu.
“Tentu saja, Ammak.”
“Kalau begitu saya ingin bertanya kepadamu Nak. Engkau
berdua adalah laki-laki. Engkau punya tanggung jawab lebih, dan diharuskan
menjaga kedua adik perempuanmu itu. Seperti apakah kehidupanmu nanti
sepeninggalku?”
“Mengapa bertanya begitu, Ammak?”
“Nak, hidup ini misteri, tak pernah ada yang tahu segala
hal yang akan terjadi esok, kita hanya perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Bahwa hidup, mati, jodoh, dan segala yang berkaitan dengan kehidupan ini telah ditentukan
dalam perkamen rahasia di atas sana, di lauh mahfudz, yang telah ditulis lima puluh ribu tahun sebelum manusia
diciptakan. Satu hal, kematian adalah sesuatu yang
pasti terjadi, pasti terjadi, dan pasti terjadi.”
“Ammak telah menyekolahkan kami, telah mendidik kami
tentang agama, mengajarkan Al-Quran sejak kecil, hingga islam dan Allah telah
menyatu dalam jiwa kami, mengalir dalam darah kami. Sekiranya belum cukup,
Allah tahu betapa keras perjuangan Ammak menjadikan kami semua orang baik.”
begitu jawaban kakak tertuaku.
Lalu Ammak pun tersenyum, lalu mengatupkan kedua
tangannya pada pundak kami berdua. Dia memelukku lama, hingga kurasakan
perasaan aneh menjalari hati.
“Saya tak bisa memberimu apa-apa Nak.”
“Ah Ammak, jangan bilang begitu.” Kataku.
Lalu ammak pun menutup ceritanya dengan nasehat.
“Nak, Ammak sudah tua. Berbuatlah baik. Paling tidak di
akhirat sana kita masih bisa bertemu, melepas rindu. Kalau ada salah satu dari
kita salah jalan, kita tak akan pernah lagi bertemu. Bukankah kalian sayang
pada Ammak?”
Senja kemudian turun bersama semilir angin kemarau dan
taluan suara adzan yang menembus celah rerimbun dedaun nangka.
Saya lalu paham setelah sepekan kemudian.
Itu adalah hari terakhir Ammak mendekapku, mengajakku ngobrol bersama dan duduk
berhadapan, karena sepekan setelahnya Ammak telah berpulang, pergi bersama
kenangan kebersamaan yang berarak ke arah langit, menjauh.
Waktu itu, malam jumat. Bergantilah bacaan surat al-kahfi
menjadi surat yasin. Dilantunkan bersama, dibacakan nyaring. Juga, para
keluarga datang, menangis bersama. Dan berhari setelahya, sepi lebih sering
berlama-lama di rumah.
Ammak, hingga malam berlarut, dan ramadhan yang sebentar
lagi. Nasehat dan wajahnya selalu hinggap retinaku, selalu membayang di
hadapan. Satu-satunya hal yang paling kusesali adalah, setelah Ammak tiada,
kami tak berhasil mempertahankan kebiasaan baik itu. Malam jumat, setelah
maghrib selesai, biasanya ayah telah tak di rumah, kakak telah sibuk dengan
laptopnya, dan kedua adik perempuanku menyiapkan dirinya untuk menonton
sinetron favoritnya.
***
“Nak, berbuatlah baik. Paling tidak di akhirat sana kita
masih bisa bertemu, melepas rindu, kalau ada salah satu dari kita salah jalan,
kita tak akan pernah lagi bertemu. Bukankah kalian sayang pada Ammak?”
Masih terngiang di kepala nasehat terakhir Ammak. Waktu
itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan Ammak, kami sungguh menyayanginya.
Pun ia, takut kami kehilangan agama, kehilangan pegangan dalam hidup.
Hingga waktu berlalu, dan ramadhan yang telah
berkali-kali berganti. Ketakutan itu berangsur terlupa, rasa sayang itu menjadi
memudar. Satu hal yang paling kusadari, bahwa geliat zaman telah mengaburkan segala
nasehat bijaknya, seolah hanya cerita picisan yang sulit dipercaya. Malam
jumat, malam yang paling dimuliakan Ammak, kehilangan pesonanya. Tak pernah
lagi ada mengaji bersama, hilang berangsur-angsur. Dilupakan (*).
Bangkala Barat, Mei 2016
Buat Ammak, yang semoga bahagia di
sana.*
Minggu, 18 Juni 2017
Langit Malam
Oleh : Dhito Nur Ahmad
(Harian Budaya, Fajar_ 2013)
Malam ini, aku seperti sebatang kayu yang selalu bisu,
selalu diam. Memandangi langit malam yang
juga bisu. Segalanya terasa sunyi: bebintang yang kerlap-kerlip, hembusan angin
malam yang menggerakkan dedaun, suara anjing yang menggonggong dari kejauhan,
juga jalanan depan rumah yang nyaris lengang semalamam. Ini sudah jam sebelas
malam, aku masih duduk pada sebuah bangku-bangku di depan rumahku, melihati
bebintang di petala langit, sambil merenungi nasib, menakar masa depan yang nampak
suram.
Seperti
malam-malam sebelumnya, merenung di tempat ini selalu membuatku mengkhawatirkan
masa depan. Inilah tahun pertamaku benar-benar hidup sebagai pengangguran.
Setelah kuliah usai, dan kenangan manis semasa mahasiswa meninggalkanku, tak
ada yang lebih menggelisahkan selain bayangan kehidupan di masa mendatang.
Cerita tentang perkamen rahasia yang sesungguhnya masih tergulung di atas sana.
“Akan jadi apakah aku ini? Bagaimanakah diriku
nanti di masa depan? Akan jadi orang sukseskah?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu selalu menari di kepala, menyeruak begitu saja ke dalam pikiran. Menjadi
semacam teka-teki yang belum bisa terjawab. Bagaimanapun, hidup adalah misteri,
masa depan tetaplah rahasia. Dan hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Masih
kuingat percakapanku dengan kakak tertuaku pada sebuah pagi. Ia serupa seorang
dermawan yang membawakanku nasib baik. Serupa tetes hujan yang membasahi
tanaman yang layu. Aku tengah duduk di beranda rumah saat dia menghampiriku.
“Dua
puluh juta, hanya dua puluh juta. Bayangkan!” serunya. Dia mengatakan dengan
mata seperti mau meloncat. Barangkali berharap saya akan melonjak kegirangan.
Tapi
itu tidak kulakukan. Aku hanya tersenyum sekedarnya.
“Daeng, bukan ini yang kuinginkan.”
Kataku, datar.
Dia
terkejut seperti tersengat kalajengking saat kumengatakannya.
“
Hah! Kenapa? Ini peluang yang bagus. Menjadi PNS. Impian semua orang, tak semua
orang punya kesempatan seperti kamu.”
“
Tapi aku tidak tertarik, aku tidak suka cara itu.” kataku tak kalah sengit.
Dan,
setelahnya. Tahukah kau apa yang dikatakannya? Dia menuduhku sok suci, bodoh, berambisi
yang lemah, dan tak punya masa depan.
***
Sehari
setelahnya, Ibu menghampiriku dengan hati-hati. Aku tahu, dia pasti telah
terkena hasut. Di awal percakapan, kalimat yang muncul di mulut Ibu adalah:
Nak, saya tak tahu nantinya kamu akan jadi apa, saya juga tak tahu hidupmu akan
bagaimana. Tapi ketahuilah, hanya ini cara yang saya tahu agar masa depanmu
lebih baik.
Ibu
berkata dengan kalimat yang dilembut-lembutkan.
“
Apakah itu berarti Ibu telah meragukan kemampuanku? Dari manakah Ibu akan dapat
uang dua puluh juta itu?”
“
Bukan, bukan nak, Ibu bukan meremehkanmu. Uang dua puluh juta itu tak masalah
buat saya, asal masa depanmu bahagia. Saya bisa menjual sepetak tanah warisan,
asal kamu jadi PNS dulu.”
Aku menghela nafas, menatapi bola mata Ibu
dalam-dalam. Sebuah telaga tenang, telaga yang tak pernah kering akan kasih
sayang. Aku paham maksud Ibu, bahwa ia sangat menginginkanku hidup makmur di
masa depan, bahwa ia menginginkanku terlepas dari pedihnya kemiskinan. Sejak
kecil, aku didiknya dengan penuh tulus, diajarkan cara membaca dan mengaji,
bahkan aku dikuliahkan sampai sarjana. Dan sekarang? Ia bermaksud mengorbankan
sepetak tanahnya demi kehidupanku.
Ah Ibu, maafkanlah daku ini. Barangkali aku telah
durhaka. Tetapi bagaimanapun aku tetap tak mau menempuh cara itu. Aku harus tetap
setia pada kebenaranku.
Makanya, saat itu juga kukatakan sejujurnya
penolakanku pada Ibu.
Ia pias. Matanya remang,
barangkali tak percaya. Dan setelahnya, ah… ada air mata di sudut matanya. Pandangannya seperti meminta sedikit alasan mengapa
menolak tawarannya.
“Ibu, aku tak mungkin bahagia
dengan cara seperti itu. Itu cara pintas Bu, agama kita melarang.”
Perempuan
yang telah membesarkanku itu kemudian tersedu di depanku. Membuatku juga
merasakan serak yang tak tertahan di dada. Tapi aku tahu, ia hanya bisa
tersedu, hanya bisa menangis, karena ia tak pernah kuasa merubah budaya dan
keadaan.
“Uang
dua puluh juta itu juga bukan sedikit Nak….” Lirihnya.
***
Tak
ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana sebuah budaya tumbuh. Sewaktu masih
kecil, sogok-menyogok tak pernah ada dalam kebudayaan kami. Sekarang, sudah
serupa pohon raksasa yang akarnya telah kokoh menancap pada peradaban. Barangkali
zaman telah salah menjelma di hadapanku.
Jelas aku menolak. Karena
aku tak mau menerima keadaan begitu saja, bahwa nanti aku akan mati dalam dosa
bergenerasi. Aku akan mewariskan dosa-dosaku pada anak, cucu, dan cicitku
kelak, dan menjadi serial dosa yang tak berkesudahan. Gajiku nanti adalah uang ilegal
yang didapat dari cara yang salah. Akibatnya, istri dan anak-anakku nanti akan
makan dan dibesarkan dari uang haram. Oh tidak! Aku tidak sudi.
“Daeng
Tayang kemarin telah membeli mobil baru, Sanniasa telah menjadi kepala sekolah,
dan si Ali mengganti motor bebeknya dengan motor besar seharga 25 juta.” Tukas
kakakku di suatu hari.
Aku
tahu niatnya baik, tapi aku juga tahu dia tidak tahu cara yang baik. Aku bisa
saja mengambil peluangnya. Toh nanti tugasku hanya ikut tes, menjawab soal
sekedarnya. Dan akhirnya lulus, meski harus menggeser orang lain yang harusnya
lebih berhak. Pekerjaan ini juga tentu saja akan membawaku menuju kemakmuran,
membuatku terhindar dari pedihnya kemiskinan, tapi bukan membawaku menyongsong
kebahagiaan, bukan mengarahkanku pada kebaikan.
***
Akhirnya, aku hanya bisa mengadu pada langit malam. Aku
selalu duduk pada sebuah bangku-bangku depan rumahku, memandangi bebintang yang
berbaris di petala langit. Merenungi nasib, menakar masa depan. Aku tak tahu, nantinya
aku akan jadi apa, aku juga tak tahu hidupku nanti akan bagaimana. Yang kutahu,
ini adalah cara yang salah.
Bagaimanapun, sogok menyogok tak pernah dibenarkan dalam budaya dan
agama kami. Tak pernah!
Sementara itu, kesunyian terus saja meliputi malam. Bebintang
kerlap-kerlip begitu saja, angin selalu berhembus menggerakkan dedaun pohon mangga
di samping rumah, dan jalan depan rumah yang nyaris lengang semalaman. Selalu
begitu. (*)
Makassar, September
2013
Rabu, 07 Juni 2017
Pada Beberapa Kesempatan....
Pada
beberapa kesempatan, saya masih sering berpikir. Kapan yah saya bisa keluar
negeri, kapan kira-kira bisa jalan-jalan jauh, menembus batas negara sendiri,
berkelana hingga jauh. Ini memang impian sejak mahasiswa, yang pernah pupus
lantaran nasib dan takdir yang tak dimengerti cara mainnya. Saya pernah banting
stir, membelokkan visi dan jalan hidup. Tak kesampaian ke luar negeri, saya pun
mengikuti program yang berpeluang memberiku sensasi yang sama, saya mengikuti
program pemerintah yang bisa membawaku pergi dari tanahku sendiri.
Saya
tidak tahu, dari mana ini bermula. Semenjak saya bisa mengenal dunia dari
bacaan-bacaan dan media, telah tertanam di kepala bahwa alangkah datarnya hidup
kalau di sini-sini saja. Saya banyak membaca kisah-kisah perjalanan, bertemu backpacker-backpaker
berani yang bermodal nekad pergi ke tanah seberang. Di Maratua dahulu, saya
berkenalan dengan pelancong kanada, polandia, amerika, perancis, belanda,
china, dan banyak negara asia dan eropa. Saya senang menanyai latar belakangnya,
dengan bahasa inggris seadanya. Saya bisa simpulkan, sederhana saja mereka
adanya, rata-rata tidak kaya seperti yang kita duga, mereka lebih mengandalkan
tekad, keinginan menderita, dan menghalau segala khawatir dan manja demi memenuhi
pemenuhan perluasan wawasan dan pengalaman hidup.
“Uang
tiket biaya perjalanan ambil dari mana, sir?”
Saya
pernah beberapa kali dengan serius menanyakan hal itu pada turis yang berbeda.
Yang kusadari kini bahwa itu ternyata pertanyaan bodoh bagi seorang anak muda
yang telah beranjak dewasa. Apalagi kalau itu diajukan kepada diri, atau yang
memulai misi dan tujuan setiap yang dilakukannya dari uang. Hampir pasti,
jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak ada, tidak bisa, tidak mungkin.
Dunia
luas bisa disadari keberadaannya dari terbukanya pemikiran, meluaskan
pandangan, yang bisa mendapatkan sesuatu yang tak terbayangkan, pengetahuan,
pengalaman, kedewasaan, teknologi, dan ilmu. Orang-orang yang seperti inilah
yang bisa menemui keajaiban, mendapati ajaib kuasa ilahi. Pemuda yang
menggendong tas butut dengan persiapan sebisanya, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung sebagai pencuci piring, yang kalau menderita sekali
menderita, kalau jaya sekali jaya raya. Kurang lebih sama dengan orang-orang
bugis, minang, dan jawa, yang saat ini menguasai perdagangan nusantara. Mereka
bisa mendiami kampung orang dengan jaya dan bisa ditemui di seantero negeri. Berbekal tekad, nekad, dan keinginan,
Tak pernah terbayang saya
akan berlama-lama di kampung. Apalagi saat telah menamatkan sarjana, tak ada
hikmah apapun yang bisa diperoleh dari setiap kisah menderita, tak ada
pelajaran yang bisa diambil, selain kesan sempit dan miskin pengalaman. Orang-orang perantau, serendah apapun ilmunya,
ternyata secara mentalitas lebih pemberani, lebih kuat dan tahan malang
dibanding tuan tanah. Para pemuda yang ditugaskan belajar jauh di negara maju secara
mandiri, cukup dengan bekal prinsip-prinsip agama di dadanya, akan memiliki daya
inovasi dan inisiatif yang lebih. Imajinasi mereka bangkit, rasa percaya diri
menggeliat, dan sekembalinya, membawa sejuta pengalaman, cerita, dan perenungan
yang membentuk visi mereka.
Ini
masih tertanam di pikiran saya. Belum pernah saya keluar negeri, tetapi memilih
tinggal menetap di kampung adalah hal yang sulit dan rasanya menggelisahkan.
Tidak ada pertaruhan, tidak ada penaklukan dan kemenangan. Pergi, menemui
banyak tempat. Menghadapai kemungkinan-kemungkinan yang sulit ditebak, membaur
bersama gelisah, kemungkinan buruk, dan surprized pada kenyataan-kenyataan baik
yang dipersembahkan oleh Tuhan.
Merantau,
menempa diri, itu akan memuliakan diri. Kita tak akan menggampangkan agama,
hidup akan sangat dekat dan merasa butuh pertolongan Tuhan. Hidup akan mengenal
antisipasi, tak ada pilihan bermalas-malasan, dan sangat mengandalkan diri
dibanding mengharap pertolongan keluarga dan teman dekat.
Di
rantau, Tuhan lebih dekat. Meminta dan mengharap pertolongannya lebih sering
dilakukan, dengan kualitas ibadah yang lebih baik. Itu menurut saya, dan
berdasar kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam hidup saya.
Melihat Papua dari Perspektif yang Dekat
Sebuah rumah kecil dan
mungil. Tempat bernyanyi banyak orang di dalamnya. Segalanya sederhana: rumah,
pakaian, apa yang dimakan, harapan, dan mimpi-mimpi. Rumahnya dibangun sederhana
dan seadanya, meski sesungguhnya kaya dan banyak uang. Penyikapan mereka
terhadap hidup seadanya, tanpa keinginan bermegah-megah dan berbangga-bangga.
Rumah mereka dibangun pada tempat yang kaya, dibelakangnya belantara dengan
segudang gaharu, kayu belantara, tanah-tanah menjanjikan. Di hadapannya sungai
bersambung ke laut, berhulu di gunung. Emas di perutnya, mutiara di lautnya,
berlian di gunungnya, burung surga di langitnya. Tersedia.
Saya dengar bapak
mereka kuat. Perempuan dan laki rupa sempurna. Berotot dan kekar, buat menyulam
dunia dengan sejumput harapan yang gamang, dengan silaunya yang getir. Tapi
kini, pondasinya telah ubanan, angin masih sepoi, tapi tak kunjung lagi
bertengger di beranda-beranda rumah mereka. Bahkan disokongnya juga segala
harapan dan cita-cita.
Papua, dengan rupa
ramah dan eksotis. Sebuah persembahan agung dari sang pencipta. Penyikapan terhadap
hidup sederhana saja adanya dan jelas hidup mereka -meski sederhana- lebih
berbahagia dibanding kita. Tak banyak membandingkan, tak terlalu banyak
perhitungan dan antisipasi. Kehidupan beragamanya juga harmonis, jauh lebih
harmonis dibanding jawa. Islam berkembang dengan sangat baik dan eksis. Bahkan
lebih eksis, jauh lebih mendalam dan aktif aktivitas keberadaannya dibanding
yang berada dalam kungkungan dan lenaan mayoritas.
Saya berada dalam
kondisi yang agama tidak boleh diabaikan. Dia penting, sepenting bernafas
setiap 3 detik yang kalau tidak diikuti bisa merana. Dia berharga, seberarga
secarik peta harta karun yang bisa memakmurkan di dunia.
Anak sekolahnya, bukan
salah mereka kalau mereka belum secerdas yang di kota, hidup mereka terisolir,
tinggal di belantara, di antara alam, gunung dan pantai-pantai. Tak banyak
fasilitas belajar. Tapi secara moralitas, penghargaan mereka terhadap agama,
pendidikan, orang tua, guru, bahkan terhadap diri, jauh lebih hebat dibanding
para pelajar di makassar yang telah terbilang cerdas itu, yang telah punya
banyak pilihan, dan sangat berpeluang jadi anak yang sopan, baik-baik, dan
cerdas. Tapi aduhai, ditengah kemudahan itu, terlena dalam kubangan mayoritas. Menggampangkan
perangai. Semakin cerdas, justru semakin sulit menghargai guru, agama, dan
pendidikan.
Saya telah mengajar di
banyak tempat. Telah mengajar di kota provinsi, di kabupaten, sampai pada
daerah paling pedalaman. Sepanjang ingatan, telah bisa saya menarik garis
pembanding, mengira-ngira kenapa, terheran-heran, kok bisa?! Melihati
kenyataan, anak-anak pedalaman papua jauh lebih sopan dibanding siswa-siswa di kota. Lebih membahagiakan mengajar mereka.
Belajar dari papua, yang kita kenal keras kuat dan bebal itu. Ternyata setelah mendatanginya, setelah kita lihat dari perspektif yang dekat. Melihat kehidupannya, bagaimana mereka hidup, seperti apa mereka berprinsip dan berpikir, punya sisi menarik dan lebih maju dibanding yang di kota. Jauh lebih arif, jauh lebih indonesia, jauh lebih memahami agama, dibanding para sarjana, para orang yang telah diakui pintar, yang telah menghabiskan puluhan tahun sekolah. Jauh lebih pintar dari pencetus undang-undang ham dan perlindungan anak, para pengikut demokrasi, para analis pendidikan, para wartawan dan pemirsa tv.
Segalanya butuh dilihat
dari perfektif yang dekat, termasuk pendidikan. Kalau pendidikan semakin
merusak moral, berarti itu bukan peningkatan, ada hal yang butuh diubah. Karena
hanya akan merusak esensi sesungguhnya dari pendidikan itu sendiri. Dan itulah
yang terjadi pada dunia pendidikan sekarang. Banyak hal diartikan secara
brutal. Semisal, kekerasan dalam kondisi apapun itu dilarang, setiap aktivitas
fisik adalah kekerasan, guru adalah orang yang selalu dicurigai.
Terimakasih Athirah
Tergerak hati saya untuk menuliskan.
Sebuah pekerjaan asing, karena telah lama tidak saya lakukan. Semua tentang
Athirah, sekolah kami, tempat kami belajar, yang merupakan sekolah kereen dan terbilang
terbaik di negeri ini. Tak bohong orang bilang. Tak pernah saya temui sekolah
dengan sistem seperti ini sebelumnya, dimana agama dan moralitas ditempatkan di
atas apapun. Al-qur’an dijunjung tinggi, prestasi dibidik sempurna, dan martabat-budaya
athirah tidak ditinggalkan. Tak pernah saya berpikir sebelumnya bisa bergabung,
bahkan tak tinggi-tinggi impian saya terhadap sekolah ini. Tetapi, saya sangat
bersyukur, bisa berkesempatan belajar, bergaul dengan guru-gurunya, dan menjadi
bagian yang bisa memasuki kelas-kelasnya, menyapa siswa-siswanya, dan menjadi
teman belajar saya.
Tidak keliru rupanya, sekolah ini
diberi nama dengan begitu menarik dan percaya diri: Athirah. Mengingat nama itu
merupakan interpretasi dari sebuah nama yang mulia, seorang ibu yang lembut,
pendidik seorang pemimpin nasional yang tangguh, dan pengangkat harkat martabat
bugis di mata dunia. Sejak dahulu, orang-orang bugis, unggul dibidang
perdagangan, politik, dan keberanian. Dan itu, diharapkan tercurah juga pada
setiap siswa Athirah, orang-orang yang berksempatan belajar di dalamnya,
termasuk guru-gurunya.
Sekolah ini sederhana saja
sebenarnya, dengan struktur dan sistem seperti sekolah kebanyakan. Yang tidak
sederhana adalah, kualitas pemikiran guru-gurunya, kebersamaan yang mereka
bentuk, kedisiplinan kerja, dan totalitas-dedikasi dalam menyelesaikan tugas.
Kalau kawan berkesempatan bergabung,
setiap pagi jam 6.15 pagi, guru-guru pasti telah berkumpul disebuah ruang
melaksanakan briefing, yang terkadang diisi dengan pengarahan kepala sekolah,
tadabbur Al-qur’an, dan yang lebih sering adalah pembacaan bersama Surat Lukman.
Itu, dilaksanakan dengan kebersamaan yang sangat terasa, percandaan yang
mengakrabkan, hingga hanya ada cinta di hati mereka. Kegiatan briefing
tersebut, selalu ditutup dengan doa’a yang agung, perwujudan pengharapan, bahwa
setelah upaya terbaik dilaksanakan,
segalanya diserahkan kepada Allah, berharap dibantu dan diberi kekuatan
serta petunjukNya. Kalau bertemu siswa-siswanya, kawan akan disapa “Assalamualaikum
Pak.....” lalu tangan-tangan mungil mereka akan mencium tanganmu, senyum
terbaik mereka akan ditumpahkan seluruhnya kepadamu.
Athirah sungguh memberi saya banyak.
Saya, dengan latar belakang mengajar di daerah 3t, yang terbiasa berhadapan
dengan siswa-siswa pesisir dan pedalaman, yang berupaya maksimal bagaimana
membuat siswa aktif di kelas, agar tidak gurunya saja yang aktif sendirian. Di
Athirah, kami justru ditempa sebaliknya, kami diperhadapkan pada siswa-siswa
yang superaktif, dengan pertanyaan macam-macam, reaksi yang berbeda, yang butuh
dikendalikan, diarahkan, pada saat tertentu didiamkan, dan dibentuk. Penanganan
yang berbeda tentu dibutuhkan, juga kesabaran, keikhlasan, dan semangat
pengabdian.
Guru-guru Athirah, ketika memiliki
seratus alasan untuk berhenti, menyerah, dan ogah2an, mereka hanya butuh satu
alasan, satu saja, yang membuat mereka tetap tinggal dan bertahan, berjuang dan
mengabdi, memberikan yang terbaik. Satu, yang mengalahkan banyak, yang punya
kekuatan lebih, yang seolah puncak segala alasan dan kekuatan, yang dicipta
Tuhan dengan formasi khusus di hati mereka: cinta.
Dan hari ini. Untuk pertama kalinya
dalam hidup, saya menerima pula surat cinta, dari siswa-siswa saya di Athirah, cinta
sepenuh-penuh dari mereka, yang tentu saja tidak melibatkan perasaan aneh
semacam sakit kepala dan usus.
Saya mengucap terimakasih. Atas
segala haru, sedih, dan bahagia yang saling berbaur. Adik-adik saya yang baik,
yang diluar dugaan saya, Alhamdulillah bisa saya diterima di kelas, menjadi
bagian dari orang yang belajar bersama mereka. Siswa-siswa saya, yang super-aktif,
yang cerewet, senang senyum-senyum kalau belajar, dan sangat rajin bertanya,
meski pada hal-hal remeh dan tidak penting. Tetapi mengandung muatan sempurna,
bahwa kemampuan untuk tampil di manapun, mentalitas orang-orang panggung,
mereka miliki. Hingga tak heran sering menjuarai berbagai kompetisi bergengsi.
Bersama mereka, kadang saya merasa melampaui diri, melebihi kemampuan yang
kukenal, kadang pula merasa hilang diri, tak seperti yang kukenal.
Terimakasih
Athirah, terimakasih teman-teman belajar saya. Atas senyum manis bapak kepala
sekolah dan ketiga wakaseknya, Pak Aji (Zainuddin), Ibu AF, Ibu Hasni, teman-teman
guru, juga adik-adik saya di kelas VIII.4 dan VIII.5, yang telah memberi warna,
memberi saya pengalaman senang, bahagia, juga pengalaman marah, sedih. Sungguh
sebuah pengalaman yang akan saya butuhkan di masa depan. Saya telah berupaya,
memaksimalkan yang saya bisa, agar bisa menjadi teman belajar yang asyik, jadi
serupa ibu yang penyayang, ayah yang melindungi, kakak yang pemarah, dan
sahabat yang baik. Tetapi tetap, segala hal-hal baik yang diniatkan, yang
dilakukan dengan cinta besar yang kita punya, selalu saja punya sisi kurang.
Saya merasa ini bukanlah apa-apa, dan saya menjadi bukanlah siapa-siapa. Kisah saya
akan berlanjut, menuju tempat yang berbeda.
Sebelum kisah saya berpindah, kami sempatkan berfoto bersama, dengan
pimpinan dan guru-guru, dengan siswa-siswa saya. Saya merasa, ini merupakan
keakraban yang tak biasa, sebuah sensasi kebersamaan yang tak mungkin ternilai
dengan materi, dan itu telah kami kekalkan dengan foto bersama. Melengkapi
sealur cerita yang telah kami ukir bersama di sekolah terlanjur kereen, dengan
siswa-siswa yang Anggun, Unggul, dan Cerdas: Athirah.......
dna
Langganan:
Postingan (Atom)