*Sebuah
riset sosial, yang berdasar persepsi pribadi penulis!
“Jangan
pergi dulu dek, singgah dulu sebentar. Nanti Kepuhunan!”
Sesuatu
berdebar di hati saya saat perbincangan kami pertama kali dengan komunitas
masyarakat Bajau. Saat itu, saya yang serupa mahluk asing (dari luar angkasa),
hinggap secara misterius di sebuah komunitas komunal (suka berkelompok), yang
tak kutahu adatnya bagaimana, apa agamanya, makanannya apa, dsb. Dan saat itu,
kujumpai kalimat aneh pertama kali: Kepuhunan. Yang selanjutnya, biasanya
terdengar lebih lengkap: Jangan dulu pergi, nanti kepuhunan.
Sekarang
telah kumengerti benar, kepuhunan, yang merupakan bahasa yang paling sering saya
temui di Maratua… Adalah Sejenis mitos, (sejenis pamalik) yang dipercayai,
dipopulerkan, dan dianut secara turun-temurun. Masyarakat Bajau yang ramah dan
punya sikap pemurah tak terkira, akan merasa tidak senang saat menawari makanan
dan tidak di makan. “Nanti kepuhunan” mereka bilang.
Kepuhunan
dalam bahasa bajau, artinya: tertimpa pohon, sebuah bahasa kiasan yang berarti
pula: celaka, kena balak, tidak beruntung diperjalanan. Hal ini sesuai dengan
falsafah kehidupan laut mereka yang hati-hati dan tidak boleh sembarang
bertingkah. Kalimat sejenis, misalnya; Jangan main-main di laut, atau jangan
buang perangai di laut” Artinya, bisa saja terjadi bahaya, balak yang diluar
kendali kita, yang disebabkan oleh setan.
Mereka
sudah mengerti, pusatnya setan ada di laut, kerajaan setan bertempat di laut,
dan iblis pun memimpin, merencanakan, dan mengendalikan pasukannya untuk menyesatkan
manusia, dilaut. Makanya, di masyarakat suku Bajau, kalau ditawari makanan,
harus makan. kalau dipanggil singgah untuk minum teh, harus minum dulu biar
sedikit. Kalau akan memancing, dipesankan untuk tidak main-main (di Makassar
saat bepergian, orang tua kita akan berpesan, hati-hati di jalan - pembeda) Saya
pikir, itu juga berkenaan dengan kepercayaan tradisional mereka yang (sekarang)
telah berbaur dengan islam, di dada mereka.
Masyarakat
bajau, cewek-ceweknya cantik-cantik, manis-manis (seperti gula), dan senang
berkumpul. Saat melihatnya pertama kali, kubayangkankanlah situasi kampungku di
masa lalu, saat saya masih SD. Di sore hari, cewek-cewek telah berduyung-duyung
ke sumur memakai daster, mereka berkumpul di sana bukan untuk mandi sebagai
tujuan utama, melainkan ngobrol dan cerita-cerita. Di sini, fenomenanya agak
mirip, kalau sore dan sedang tak main volly, cewek-cewek berdaster akan
terlihat berjalan bersama (sekarang sudah berubah, yg berdaster justru ibu-ibu),
berkumpul di dermaga, berkumpul di sana membentuk lingkaran. Hape di tangan
masing-masing.
Saban malam, usai isya, usai
segala aktivitas seharian yang membosankan dan itu-itu saja. Para remaja
kemudian akan menghambur lagi ke dermaga. Duduk bergelap-gelap dengan
masing-masing menenteng hape (hanya di sini tempat bersignal). Di sanalah para
setan berkerumun, di sanalah awal mula semua pertemuan, menemani anak-anak muda
yang duduk mojok berpasangan tanpa menghiraukan orang lain. Seperti telah
mahfum olehmu, kawan. Di zaman sekarang, remaja mana sih yang tak punya pacar?
Kegilaan pada dunia kecil ini seperti cacar yang menyerang hati remaja-remaja
Indonesia. Pun, sekumpulan remaja pedalaman Kalimantan terasing di pulau. Tentu
saja kecuali dua orang pria perantau Makassar yang pernah tinggal
di perumahan kompleks sekolah -_-
Kisah
cinta mereka skeptik. Berpacaran, ---biasanya budaya berpacaran mereka
dilakukan semenjak smp, putus-nyambung dengan orang yang berbeda, hingga
akhirnya putus, atau (harus) menikah, bukan karena nikah paksa seperti dalam novel sitti nurbaya, tapi karena terpaksa nikah---, ketemuan, duduk
berdua di dermaga. Para lelaki tak mengenal cinta sebagai perjuangan,
pengorbanan untuk mengejar panaik
yang banyak, terpaksa berpisah karena lanjut sekolah, kisah cinta terbentur
adat, atau karena ditolak karena alasan-alasan ekonomi dan keturunan. Tak,
masyarakat bajau tak mengenal itu. Mereka mengenal menikah dalam proses yang
sederhana, tak berkelok seperti adat bugis, terjadi begitu saja, dan tak
terkesan begitu sakral penuh adat.
Barangkali
(ini hanya barangkali), tak ada diantara mereka yang pernah membaca kisah cinta
romeo-juliet, fahri-aisyah, laila-majnun, ikal-a ling, arai-zakiah, atau kisah
cinta semacamnya yang butuh pengorbanan, semisal kisah cinta yang sang
wanitanya telah terlanjur mengunci hatinya baik-baik, lalu kuncinya dilempar ke
dasar samudra dan sang laki-laki mesti mendapatkannya terlebih dahulu. Dasar
samudra itu sangat gelap, butuh senter tercanggih buatan jepang. Celakanya,
kunci itu dijaga oleh tujuh ekor hiu gergaji yang besar, hiu itu ganas-ganas,
dan hanya bisa ditaklukkan dengan racun penawar khusus agar hiu itu mabuk dan
tertidur. untuk mendapatkan racun penawar itu, dibutuhkan bertapa 40 hari 40
malam, tak makan tak minum disebuah goa angker. Untuk ke sana harus izin dulu
sama penjaga gua, membawa seorang perawan berkulit putih yang tinggal di sebuah
desa di afrika………dst.
Tapi kisah
cinta mereka tetaplah pada kegilaannya. Semua cerita tak masuk akal, yang tidak
butuh penjelasan, yang (orang bilang) buta itu, tetaplah mereka jalani
segitunya. Seperti kebanyakan remaja tak tegas, yang umumnya takkan mampu
mengendalikan peran dan diri. yang akhirnya jatuh pada kubangan penyesalan,
seperti air yang jatuh di pembuangan.
Pada Remaja
Bajau, saat ada pesta pernikahan, dikenal pula istilah: acara muda-mudi. Berupa
acara buat para anak muda (yg biasanya) bersama pasangannya masing-masing (yang
tak punya pasangan akan merasa terasing), menghadiri pesta di malam hari. Tak
tanggung-tanggung, disediakan tempat untuk senang-senang, di malam hari pula. Dihibur
biduan khusus, saban malam beberapa akan berjoget bersama, ditemani goyang
dumang, morena, dan music discotik.
Seni dan
hiburan, adalah dunia mereka, olahraga adalah detak nafas mereka. Sebuah
apresiasi membanggakan apabila terdapat acara seni atau olahraga di kampung,
menunjukkan identitas khas yang melekat pada budaya mereka. Unik dan Mengesankan!
*Dhito Nur Ahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar