Pages

Kamis, 27 Agustus 2015

Masyarakat Bajau, Tentang Kepuhunan dan Kisah Cinta Remajanya


*Sebuah riset sosial, yang berdasar persepsi pribadi penulis!
“Jangan pergi dulu dek, singgah dulu sebentar. Nanti Kepuhunan!”
Sesuatu berdebar di hati saya saat perbincangan kami pertama kali dengan komunitas masyarakat Bajau. Saat itu, saya yang serupa mahluk asing (dari luar angkasa), hinggap secara misterius di sebuah komunitas komunal (suka berkelompok), yang tak kutahu adatnya bagaimana, apa agamanya, makanannya apa, dsb. Dan saat itu, kujumpai kalimat aneh pertama kali: Kepuhunan. Yang selanjutnya, biasanya terdengar lebih lengkap: Jangan dulu pergi, nanti kepuhunan.
Sekarang telah kumengerti benar, kepuhunan, yang merupakan bahasa yang paling sering saya temui di Maratua… Adalah Sejenis mitos, (sejenis pamalik) yang dipercayai, dipopulerkan, dan dianut secara turun-temurun. Masyarakat Bajau yang ramah dan punya sikap pemurah tak terkira, akan merasa tidak senang saat menawari makanan dan tidak di makan. “Nanti kepuhunan” mereka bilang.
Kepuhunan dalam bahasa bajau, artinya: tertimpa pohon, sebuah bahasa kiasan yang berarti pula: celaka, kena balak, tidak beruntung diperjalanan. Hal ini sesuai dengan falsafah kehidupan laut mereka yang hati-hati dan tidak boleh sembarang bertingkah. Kalimat sejenis, misalnya; Jangan main-main di laut, atau jangan buang perangai di laut” Artinya, bisa saja terjadi bahaya, balak yang diluar kendali kita, yang disebabkan oleh setan.
Mereka sudah mengerti, pusatnya setan ada di laut, kerajaan setan bertempat di laut, dan iblis pun memimpin, merencanakan, dan mengendalikan pasukannya untuk menyesatkan manusia, dilaut. Makanya, di masyarakat suku Bajau, kalau ditawari makanan, harus makan. kalau dipanggil singgah untuk minum teh, harus minum dulu biar sedikit. Kalau akan memancing, dipesankan untuk tidak main-main (di Makassar saat bepergian, orang tua kita akan berpesan, hati-hati di jalan - pembeda) Saya pikir, itu juga berkenaan dengan kepercayaan tradisional mereka yang (sekarang) telah berbaur dengan islam, di dada mereka.  
Masyarakat bajau, cewek-ceweknya cantik-cantik, manis-manis (seperti gula), dan senang berkumpul. Saat melihatnya pertama kali, kubayangkankanlah situasi kampungku di masa lalu, saat saya masih SD. Di sore hari, cewek-cewek telah berduyung-duyung ke sumur memakai daster, mereka berkumpul di sana bukan untuk mandi sebagai tujuan utama, melainkan ngobrol dan cerita-cerita. Di sini, fenomenanya agak mirip, kalau sore dan sedang tak main volly, cewek-cewek berdaster akan terlihat berjalan bersama (sekarang sudah berubah, yg berdaster justru ibu-ibu), berkumpul di dermaga, berkumpul di sana membentuk lingkaran. Hape di tangan masing-masing.
Saban malam, usai isya, usai segala aktivitas seharian yang membosankan dan itu-itu saja. Para remaja kemudian akan menghambur lagi ke dermaga. Duduk bergelap-gelap dengan masing-masing menenteng hape (hanya di sini tempat bersignal). Di sanalah para setan berkerumun, di sanalah awal mula semua pertemuan, menemani anak-anak muda yang duduk mojok berpasangan tanpa menghiraukan orang lain. Seperti telah mahfum olehmu, kawan. Di zaman sekarang, remaja mana sih yang tak punya pacar? Kegilaan pada dunia kecil ini seperti cacar yang menyerang hati remaja-remaja Indonesia. Pun, sekumpulan remaja pedalaman Kalimantan terasing di pulau. Tentu saja kecuali dua orang pria perantau Makassar yang pernah tinggal di perumahan kompleks sekolah -_-
Kisah cinta mereka skeptik. Berpacaran, ---biasanya budaya berpacaran mereka dilakukan semenjak smp, putus-nyambung dengan orang yang berbeda, hingga akhirnya putus, atau (harus) menikah, bukan karena nikah paksa seperti dalam novel sitti nurbaya, tapi karena terpaksa nikah---, ketemuan, duduk berdua di dermaga. Para lelaki tak mengenal cinta sebagai perjuangan, pengorbanan untuk mengejar panaik yang banyak, terpaksa berpisah karena lanjut sekolah, kisah cinta terbentur adat, atau karena ditolak karena alasan-alasan ekonomi dan keturunan. Tak, masyarakat bajau tak mengenal itu. Mereka mengenal menikah dalam proses yang sederhana, tak berkelok seperti adat bugis, terjadi begitu saja, dan tak terkesan begitu sakral penuh adat.
Barangkali (ini hanya barangkali), tak ada diantara mereka yang pernah membaca kisah cinta romeo-juliet, fahri-aisyah, laila-majnun, ikal-a ling, arai-zakiah, atau kisah cinta semacamnya yang butuh pengorbanan, semisal kisah cinta yang sang wanitanya telah terlanjur mengunci hatinya baik-baik, lalu kuncinya dilempar ke dasar samudra dan sang laki-laki mesti mendapatkannya terlebih dahulu. Dasar samudra itu sangat gelap, butuh senter tercanggih buatan jepang. Celakanya, kunci itu dijaga oleh tujuh ekor hiu gergaji yang besar, hiu itu ganas-ganas, dan hanya bisa ditaklukkan dengan racun penawar khusus agar hiu itu mabuk dan tertidur. untuk mendapatkan racun penawar itu, dibutuhkan bertapa 40 hari 40 malam, tak makan tak minum disebuah goa angker. Untuk ke sana harus izin dulu sama penjaga gua, membawa seorang perawan berkulit putih yang tinggal di sebuah desa di afrika………dst. 
Tapi kisah cinta mereka tetaplah pada kegilaannya. Semua cerita tak masuk akal, yang tidak butuh penjelasan, yang (orang bilang) buta itu, tetaplah mereka jalani segitunya. Seperti kebanyakan remaja tak tegas, yang umumnya takkan mampu mengendalikan peran dan diri. yang akhirnya jatuh pada kubangan penyesalan, seperti air yang jatuh di pembuangan.
Pada Remaja Bajau, saat ada pesta pernikahan, dikenal pula istilah: acara muda-mudi. Berupa acara buat para anak muda (yg biasanya) bersama pasangannya masing-masing (yang tak punya pasangan akan merasa terasing), menghadiri pesta di malam hari. Tak tanggung-tanggung, disediakan tempat untuk senang-senang, di malam hari pula. Dihibur biduan khusus, saban malam beberapa akan berjoget bersama, ditemani goyang dumang, morena, dan music discotik.

Seni dan hiburan, adalah dunia mereka, olahraga adalah detak nafas mereka. Sebuah apresiasi membanggakan apabila terdapat acara seni atau olahraga di kampung, menunjukkan identitas khas yang melekat pada budaya mereka. Unik dan Mengesankan!
*Dhito Nur Ahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar