Kalau kawan pernah berkunjung ke
Mayarakat suku Bajau, tinggal beberapa hari di sana, atau menghadiri salah satu
pesta rakyatnya, pasti akan berkenalan dengan kesenian ini. Sebuah tarian, yang
tentulah tak sepopuler Tari Saman di Aceh, Tari Jaipongnya Jawa Barat, Cakalelenya
Papua, Tari Kecak di Bali, atau Tari Pakarena dari Makassar. Tapi Dalling,
tetaplah eksis di komunitasnya, tetaplah pada ciri khasnya yang unik dan elegan.
Merupakan tarian khas suku Bajau, kesenian yang sangat dicintai masyaraktnya,
dipelajari dan ditarikan cewek-ceweknya sejak kecil, lalu dipentaskan pada
setiap event, tak terkecuali di sekolah, atau event khusus (semisal pramuka) di
tingkat kabupaten dan provinsi. Kalau Kawan orang penting dan suatu nanti ke
Bajau, pasti juga akan disambut dengan tarian ini, memikat!
Selayaknya tarian bermuasal story sebagai
tarian penyambut tamu atau penghibur raja di masa lalu, tarian ini mengutamakan
kekompakan, ditarikan dengan glamour, elegan, dan diiringi musik khusus yang semarak,
selayaknya tarian kebanyakan. Yang berbeda adalah pergerakannya lincah dan bisa
dengan bebas divariasi sesuai kesepakatan para penari tanpa takut melanggar hak
cipta.
Tak seperti tarian lain yang telah
memiliki pergerakan khusus, dalling memiliki banyak sekali jenis, banyak
variasi, dan banyak versi, yang kesemuanya itu bernama dalling, tanpa nama khas
dari satu jenis movement. Inilah yang berbeda, dan ini menjadikan setiap
tariannya tak terikat pada suatu kesepakan gerakan oleh penciptanya di masa
lalu.
Masyarakat suku bajau yang memiliki
apresiasi seni yang luarbiasa, juga aktivitas di pulau yang tak menyediakan
banyak pilihan, membuat orang-orangnya haus hiburan. Membuat kesenian ini
begitu popular. Saban hari, saat terjadi pesta rakyat, atau penyambutan
pejabat, mengalirlah musik semarak, diiringi gadis-gadis yang (barangkali)
sengaja dipilih yang cantik-cantik yang bergerak seiring sejalan menarikan
tarian ini. Apalagi ditambah cewek-cewek suku bajau yang memang cantik-cantik
dan manis-manis (hehe..h.)
(Tia, Welin, Lili, Elsa) |
Tim Dalling Kelas VII SMP27 |
(Wirda, Emy, Amelia, Ariva) |
Di sekolah, pada dua event seni yang pernah kami laksanakan (porseni sekolah dan Jambore kecamatan). Kompetisi dalling menjadi hal yang paling diminati, paling banyak pesertanya, paling ditunggu-tunggu, dan saat tampil paling banyak ditepuktangani. Mengenai hal ini, saya dan Adi (Peserta sarjana mendidik di SMPN 27 Berau) merupakan yang paling tertarik dan banyak bertanya, scaara kami berdua adalah dua pria baik-baik -__- yang belum banyak mengenal kebudayaan bajau.
Tak banyak yang paham, bahkan
mungkin anak2 suku bajau pun belum banyak yang mengerti, Dalling membuatku
terpaku pada dua keheranan: mengapa euphoria orang-orang sebegitu besarnya pada
pertunjukan dalling, dan mengapa penarinya selalu anak muda (biasanya cewek-cewek) Saya pernah secara khusus bertanya ke seorang
siswa, yang juga penari dalling. Apakah tidak risih menari gaya begitu di hadapan
semua orang? Yang gerakannya (Menurut pendapatku) terlalu bebas buat anak-anak
(apalagi anak gadis), hingga tentu saja bertentangan jauh dgn agama mereka, yang
pertanyaanku itu justru dibalikkannya padaku: mengapa mesti risih?
Saya pun sampai pada kesimpulan, ini
memang kesenian yang fantastif, yang murni kesenian, yang selalu, tak ada karya
seni yang sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah persoalan subyektifitas
penilai. Justru, acungan jempol dan perasaan bangga sangat layak diberikan atas
kecintaan masyarakat suku Bajau pada produk keseniannya. Keinginan mereka agar
Dalling tetap eksis telah sunguh-sungguh terwujud, dan ini adalah sisi
fantastis lain yang patut untuk diapresaisi…. Dan itu membuatku menemukan
banyak alasan untuk berbahagia, tinggal di komunitas masyarakat suku Bajau.
Dhito Nur Ahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar