Pages

Jumat, 14 Desember 2012

Catatan Kecil di Ujung Senja

Setelah tamat sekolah, lalu apa? Setamat kuliah, lantas apa? Masih adakah yang tersisa ketika kita habiskan sebagian umur kita di bangku sekolahan? Pun akhirnya kan menghasilkan generasi-generasi yang pintar-pintar: pintar menipu, pintar korupsi, pintar menindas, pintar mencuri. Ataukah kita memang ditakdirkan untuk saling bersaing memintarkan diri sebagai bekal membodohi orang? Ah... sungguh besar dosa pendidikan itu yaah...?!

***
Hening. Di ujung laut sebersit cahaya menampakkan kelembutannya, cahayanya terseok-seok di antara arakan awan yang tebal. Sesekali menutupi, menyembul kembali, tertutupi lagi, dan sekarang bentuknya tampak bulat oleh saya. Serupa kehidupan, matahari jingga itu perlambang kehidupanku yang tak pernah stabil, terkadang bahagia, sedih, mencintai, membenci, dan perasaan yang entah apa namanya yang singgah seenaknya di hatiku.

Sampai di ujung hari kuterus merenung ditemani sepi. Ada serpihan-serpihan ragu yang menggelayut di hati, merayap masuk menjebol dinding pertahanan nurani yang lama terpasung. Seumur hidup baru kali ini aku mengalami hal begini, sedari kecil ibuku sudah menanamkan semangat di pundakku untuk sekolah setinggi-tingginya demi masa depanku. Semangat itu terus tumbuh seiring dengan usia. Masih kecil benar, bahkan sebelum lahir hal itu sudah terpaktik dalam pikiran ibuku, sudah ditimbang-timbang bahwa umur-umur sekian saya sudah harus masuk sekolah, anakku sudah harus menguasai ini itu dalam umur sekian, dalam umur sekian sudah harus begini, dia akan kusekolahkan di sini. Perencanaan hidup istilahnya. Sekarang masihkah aku ingin mengikuti alur itu? Akhhh..... aku masih ragu!

Masih hidup dalam ingatan bagaimana kegairahan meluap-luap saat pertama kali kumenginjakkan kaki di bangku kuliah. Di kepalaku telah terbayang mimpi-mimpi. Menghirupkan nafas pertama pada sekolah tinggi itu. Bagaimana tidak, dulu, sudah lama aku memimpikan dunia itu, dunia orang-orang pintar, tempat para profesor berkecimpun membina ilmu. Bak menemukan mutiara yang lama dicari aku dengan semangat meletup-letup mengawali hidupku di bangku kuliah. Saking semangatnya, aku memenuhi hari-hari bukan hanya dengan rajin masuk kuliah, rajin belajar dan kerja tugas. Aku juga membaca banyak buku yang mendukung keilmuan yang kudapatkan di perkuliahan.

Lalu mengapa ditengah perjalanan rasanya aku ingin mematahkan semuanya?


***

Bertahun-tahun tidur panjangku baru aku terbangun sekarang. Aku terkisahkan oleh dongeng-dongeng fatamorganis yang menggairahkan tapi tampak palsu, seukuranku. Selama bertahun-tahun aku menyeragam dalam bangku sekolahan. Salam sumpah kepatuhan telah aku ikrarkan di sana, telah kubentangkan duniaku seluas-luasnya untuk kuserahkan pada institusi pembina pendidikan. Tapi, selama bertahun-tahun itu pula serasa hanya kesia-siaan yang membumbung tinggi di angkasa. Sempat terbersit dipikiranku bahwa sumpah setiaku dulu telah melewati ambang batas-batas kenormalan. Aku sepertinya berbeda dengan orang yang begitu bangga menjadi produk sekolahan. Bagiku sekolah adalah batasan-batasan duniaku, membuatku terkurung sebagai tawanan orang-orang pintar, orang-orang yang mengajarkan teori dan definisi. Tidakkah dunia ini tidak berbatas pada gedung-gedung yang membatasi pikiran?

Aku masih menghendaki dunia yang baik untuk masa depanku. Kami rindu pada tiupan roh-roh tentang ilmu hidup yang terkisahkan langsung pada dunia yang kami lihat, mungkinkah engkau membangunkan kami dari cerita-cerita yang kau berikan kepada kami, lalu kami bertanya mengapa itu terjadi dan dengan apa itu bisa terbangunkan, tidakkah sumpah setia kami diikat oleh kesatuan yang tertata baik, yang menghasilkan dunia beku dan merasuki pikiran-pikiran kami.


Masing terbayang di ingatan, di bangku smp. Semua siswa datang ke sekolah kurang lebih sepuluh menit sebelum jam masuk tiba, seolah mereka sekolah hanya untuk mengejar jam tayang yang membosankan. Hanya saja tak dapat ditanggapi mengapa anak-anak datang ke sekolah dengan muka murung dan pulang dengan wajah ceria. Tak bisa terjawab benar oleh kami, sadar akan kebodohan itu pun tidak apalagi mempertanyakan. Keceriaan yang mereka pancarkan ketika pulang sekolah adalah bagai muka-muka orang yang baru keluar dari penjara.


Sekolah telah banyak mengajari kita untuk diatur, seolah diri kita tak punya sesuatu yang bisa mengatur diri sendiri dengan benar. Sementara kreatifitas dan ‘kenakalan’ menjadi tertanggalkan.


***


Aku masih terpekur di sini. Melihati camar yang hinggap di ujung pohon nyiur. Aku rasanya ingin terbang serupa burung itu, terbang bebas sampai jauh. Sekonyong-konyong senja makin redup, cakrawala menjingga perlahan meronai separuh angkasa. Sejurus kekhawatiran telah terbawa dalam diam, aku tak tahu nantinya kehidupanku akan bagaimana, mungkinkah nanti aku bisa merasai kehidupan yang bebas serupa camar, juga tetap cerah selayaknya hari kala petang? Sungguh kehidupan adalah sebuah perkara alami yang berproses, serupa matahari yang berputar terus, sesuai kodrat yang dititipkan padanya.

Barangkali, hidup seperti camar akan lebih baik bagiku dibanding keterikatan yang memasung, terpasung dalam pikiran, tertindas oleh diri sendiri tanpa tahu kita telah tertindas. Harapan yang terhampar adalah fatamorgana yang menyesatkan.

Angin berhembus perlahan. Mengiringiku memandang jauh, mengernyitkan mata pada hari yang hampir tutup. Ombak tak pernah bosan bergulung-gulung menjilati pantai, menghadirkan pola irama yang merdu, tak kunjung membosankan oleh waktu.

Aku mengerti, dan aku ingin belajar hidup melalui petang. Barangkali tak cukup dengan apa yang kudapatkan pada bangku-bangku sekolahan. Hidup akan berjalan terus, tak henti berdesakan diantara rentetan waktu yang panjang. Hingga akhirnya pamit di hadapan sang waktu.

Oh Tuhan, berikanlah aku kekuatan untuk hidup, hidup yang benar. Izinkanlah aku belajar pada alam, melihat hikmah dari semua yang kau ciptakan. Aku ingin hidup, hidup berarti, tak sekedar bernafas***

Pada Sebuah Senja di Pangkajene Sidrap, semoga dia tetap setia menari di sana!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar