Pages

Rabu, 06 Agustus 2014

Di Akhir Cerita*


Oleh: Dhito Nur Ahmad

Di akhir cerita, yang kulakukan hanyalah merelakan, menemukan dirimu di tempat biasa, mengelus-elus lembut rambut panjangmu, memeluk lehermu erat sambil menahan diri agar tak menangis. Lalu melihatimu berdiam di tempat pemotongan, diikat setelahnya, lalu berontak tak berdaya lantaran sesuatu telah digorokkan di lehermu. Pun, di akhir cerita ini, aku hanya bisa menangis.

Tapi hari ini, pagi-pagi sekali, kau masih berdiri di halaman rumah. Memakan remeh-temeh rumput yang sejak bertahun lalu selalu tumbuh di situ, dan bersedia menemanimu. Iballang, kudaku, masih juga seperti dulu, gagah perkasa, kuat dan pendiam.

Aku duduk di tangga rumah, melempar pandang sejauh mungkin: ke awan-awan langit, ke sawah di hamparan, dengan sungai yang berkelok di tengahnya. Sebentar lagi, kau akan pergi, dan kampung akan riuh. Orang-orang akan berpesta, keluarga terdekat akan datang, dan kau akan semakin menjauh. Ingin sekali rasanya aku mengajakmu ke hamparan sawah itu. Paling tidak di sana kita akan melepas rindu pada hamparan rumput di pematang, juga aliran air sungai yang selalu setia mengalir sejak dulu.

Ataukah kau juga sudah rindu teman masa kecil kita itu? Mari! Kita berkunjung lagi, Mengunjungi palung ingatan terjauh, kisah masa kecil, sesuatu yang bernama kenangan. Ketika aku mengajakmu ke sawah, mengusir pipit, berjalan di pematang. Bermain di sungai, mandi-mandi. Lalu aku akan makan bersama dengan anak gembala, dengan ubi dan jagung bakar hasil kebun. Lalu kita akan pulang menjelang senja, dan kau tetap setia menawarkan punggungmu untuk kutunggangi, melewati pematang yang melengkungi hamparan sawah luas yang menguning. Ah, kenangan!

“Tak perlu terlalu dipikirkanlah, Nak” suara Ayah tiba-tiba menimpali

“Tidak, Ayah.” Suaraku serak, sedikit menyembunyikan kesedihan.

Tak mungkinlah ia merasakan pesta desahan itu, tak mungkinlah ia bisa mengerti sesuatu yang ada dalam hatiku ini. Bahwa nanti, aku harus merelakan kuda kesayanganku, sahabat masa kecilku ini disembelih, lalu digunakan untuk berpesta. Tak tega.

Sejak sepekan lalu, rumah Daeng Simba telah dibanjiri orang. Orang kampung datang beramai-ramai, menggelar tikar di Paladang, bermain domino dan kartu reme. Sehari lagi pesta berlangsung, tiga hari kedepan kampung akan riuh. Orang akan berpesta, elekton sudah siap, panggung sudah didirikan, dan ballo’ sudah tertampung berbaskom-baskom di belakang rumah. Sebagai orang berada, juga merupakan keturunan karaeng. Merupakan sebuah aib jika tak ada pesta besar, tak kedengaran elok jika tak ada tiga ekor kuda besar yang dibariskan di halaman rumah sebelum disembelih untuk pesta pernikahan. Juga beberapa keluarga yang datang membariskan mobil di halaman.  

Yuly, gadis semata wayangnya. Telah siap dilepas bersama suaminya. Sejak sepekan lalu, ia tak diizinkan kemana-mana, dirumah saja, menghabiskan waktu di depan cermin, mempercantik diri, menatap ranjang baru yang terbuat dari kayu jati. Kasur dan sepreinya mungkin sudah diganti, lembut mewangi, menyejukkan hati sembari menunggu hari yang membahagiakan banyak orang itu.

 “Berapa uang?” begitu tanya Daeng Kebo, membuka percakapan malam ramai itu.

Daeng Simba tersenyum, tak banyak tingkah, berusaha merendah.

“Tidak banyak Nak. Hanya sedikit beras, uang dan perhiasan. Tak perlu banyak-banyak, asal ada pembeli asam dan garam.” Begitu ia katakan, sambil tersenyum tentu saja.

“Sedikitkah itu Karaeng? Lima kuintal beras, uang 50 juta, juga dengan 20 gram emas. Panaik yang setimpal, Karaeng.” Seru yang lain.

Mereka pun terdiam. Tak ada yang bermaksud bersuara, karena diam sudah cukup menjawab semuanya. Pun, sudah beberapa hari ini, orang-orang telah berkumpul di rumahnya, menggelar tikar di Paladang, makan bersama, bermain domino, minum kopi, juga kue-kue yang telah ia sediakan. Sudah tak tertakar jumlah biaya yang telah ia habiskan.  

Tak seperti bertahun lalu, kampung tempat lahirku ini tidak lagi senyap. Orang-orangnya masih sama, tapi budayanya sudah berbeda. Pernikahan. Acara tersakral yang pernah kulihat, kini tak lagi jadi acara suci untuk menyempurnakan agama, tapi menjadi budaya beribut-ribut, pertunjukan kelas sosial, juga pesta besar sebagai lambang kemakmuran sang empunya pesta.

Aku terdiam, terpaku sendiri di depan rumah. Menatapi Iballang, kuda perkasa itu. Teman sejak kecil. Aku menolak, tak setuju.

“Itu kuda terakhir kita, Ayah. Janganlah dijual pada Daeng Simba” sanggahku hari itu.

“Ayah sudah tua nak, tak sanggup lagi memelihara kuda ini. Semenjak kau kuliah, dan menghabiskan banyak waktu di kota. Ayah sendirilah yang harus menyabit rumput setiap pagi dan sore, untuk makan kudamu ini.”

“Pun, tak banyak lagi padang rumput di kampung ini, hampir semuanya telah berganti kebun, sawah, dan rumah penduduk.” Ia melanjutkan.

***

Banrimanurung, kampung kami, kampung yang terletak di ujung barat Jeneponto. Di sini, bertahun-tahun kami hidup sederhana, apa adanya, mengandalkan hasil sawah, kebun, dan peternakan. Dan damai, pun tak pernah menolak untuk memeluk rumah sederhana kami. Di sinilah, pusat pemeliharaan kuda, sejak dulu. Sejak aku bisa mengingat, kuda tak pernah lepas dari budaya kami. Hampir setiap rumah memelihara kuda. Kuda merupakan teman mandi di sungai, kendaraan pribadi saat bepergian jauh, tenaga pembajak sawah, kendaraan pengangkut hasil pertanian, dan juga punya daging yang enak saat pesta pernikahan atau sunatan.

Namun, sejak teknologi masuk kampung, populasi kuda makin menurun. Telah ada motor sebagai kendaraan bepergian, traktor untuk membajak sawah, dan mobil untuk mengangkut hasil pertanian. Peradaban pun telah hampir sepenuhnya berganti. Pekerjaan orang telah banyak yang beralih dan tak banyak lagi yang tertarik meneruskan memelihara kuda.  

Aku bersedih, hanya bisa bersedih. Dan di akhir cerita, yang kulakukan pun hanyalah merelakan, menemukan dirinya di tempat biasa, mengelus-elus lembut rambut panjangnya, memeluk lehernya erat sambil menahan diri agar tak menangis. Lalu melihatinya berdiam di tempat pemotongan, diikat setelahnya, lalu berontak tak berdaya lantaran sesuatu telah digorokkan di lehernya. Pun, di akhir cerita ini, aku hanya bisa menangis.

Makassar, 2014
*Harian Budaya, Fajar

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar