Ada sebuah pernyataan paling menggoda, paling bikin gugup,
paling menggetarkan, dan melakukannya punya resiko terlalu besar. Tetapi dengan
tidak mengikrarkannya, menjadikan kita dianggap kurang manusia, dan ke(normal)manusiaan
kita dipertanyakan. Ada sebuah pernyataan paling menakutkan tapi juga sekaligus
membawa senyum harap, membawa kebahagiaan sekaligus kesedihannya, kesenangan
sekaligus airmatanya, ketenangan sekaligus kesakitannya. Duhai… pernyataan
apakah kiranya itu, dari manakah gerangan pernyataan itu berasal, dan untuk apa
sebenarnya ia ada?
Semua kalimat itu, muncul pada sebuah pagi, di sebuah
pantai di Sangalaki. Merasa sendiri dan (dianggap) menyedihkan, saya melihat
cakrawala mengerut, membentuk garis seperti tali, di sanalah menggantung segala
angan dan pertanyaan-pernyataan itu. “Kebahagiaan dan kesakitan hanya persoalan
beda sensasi, tergantung bagaimana kita menikmati dan memaknainya”. Tak pernah
ada masalah dengan tangisan pertama kita, pun tak kan pernah ada masalah dengan
tangisan selanjutnya, entah dengan alasan apapun, mau itu karena sakit,
difitnah, dimaki, atau merasa kehilangan hal yang tak pernah dimiliki (heheh,
apamitu?!). Seperti saat seorang sahabat pernah menulis: “Dik, jika dia betul2
belahan jiwa yg memang diciptakan untukmu, kemanapun engkau pergi, bagaimanapun
keadaan perasaanmu padanya, dan seberapapun jauhnya jarakmu dengannya, suatu
saat dia akan kembali dan menjadi milikmu. Kalau tidak, berarti dia bukan
(si)apa2, dan se-suatu- orang yg bukan (si)apa2 tak pantas utk merisaukanmu”.
Pun hidup, yang akan terus mengalir serup air, biarkan saja ia mengalir, lalu
kita pun bergerak bersama alirannya. Sederas apapun arusnya, patuhi aturan
main, terus memperbaiki diri, arus tenang akan datang sendiri pada momennya.
Lalu kuingat lagi seorang kawan akrab di Makassar, saat
masih menempuh pendidikan. Punya cita-cita mendapatkan perempuan (baik).
Rupanya seleranya dianggap terlalu tinggi oleh orang lain (meskipun saya
menganggapnya tidak). Seorang islam, cerdas, istiqomah, dan menjaga diri. Dan
memang, susah, tidak mudah, sangat. Sebab, zaman tak lagi mengizinkan
orang-orang seperti itu eksis dan bertahan. Lalu tiba-tiba sekarang, seperti
telah menjadi keajaiban ilahi, kawan akrab saya itu sekarang telah terduduk
pula di sini, di Sangalaki, bersama saya, dalam kepala saya. Ia hidup, masih
hidup sebenarnya, meski telah sekarat, dan hampir-hampir mengubur keinginan
mulianya itu.
Dulu ia masih bertahta, dinaungi sayap-sayap malaikat,
membuatnya sanggup pergi membuktikan diri sebagai laki-laki. Memenuhi impian
masa kecilnya untuk tak lahir dan besar di sarang. Di sangalaki, begitu banyak
penjelasan kudapat, ia bergantung pada pepohon rimbun nan elok di pesisir,
bertaburan diantara pepasir, dan terbaca di punggung tukik. Penjelasannya asli
dan tak rumit, datang di kepalaku yang biasanya hanya bersedia menyediakan
penjelasan yang menyenangkan hati saja. Saya, dan
kawanku seperjalanan, para guru dan beberapa siswa, disiang hari sembari
menunggu air pasang. Banyak bercerita, para senior yang telah matang ilmunya
dan panjang pengalamannya masng-masing berbagi kisah, tentang cerita cinta
mereka.
Saya kemudian teringat penjelasannya Bang Tere Liye, beliau
pernah menulis: Permasalahan atau urusan hidup itu
persis seperti rumput di halaman. 100 kali kita potong, rapikan, perindah, maka
100 kali pula rumput tersebut tumbuh lagi, tinggi, berantakan. Terus saja
begitu, ada-ada saja masalah/urusan baru yg muncul. Oleh karena sudah demikian kodratnya, maka drpd mengeluh,
berputus asa, lebih baik siapkan peralatan yg baik, sisihkan waktu, dan jangan
malas segera disiplin memotong rumputnya, agar terus indah dilihat sepanjang
waktu.
Berdasar dari cerita cinta yang
dijelaskan para guru senior. Saya menemukan banyak definisi yang salah (ini
berdasar persepsi saya), lalu inilah yang barangkali iseng dikatakan di hadapan
siswa-siswa di kelas, mencitrakan begitu dalam tingkah lakunya. Pengalaman
saya, karena saya termasuk pria baik hati dan tidak sombong (prĂȘt tt), sangat
sering ditanyai siswa tentang pacarnya, saat sperti itu, slalu kuarahkan,
kubahasakan halus sebaik mungkin dengan satu arah yang pasti: Sudah, putuskan
saja pacarmu itu, dek!. Dengan tujuan, agar ia hidup normal dan baik-baik saja,
tak perlu galau-galau untuk hal tak penting.
Tapi masalahnya, orang seperti ini
di zaman sekarang akan tertindas, diabaikan, tersingkir. Ia berada pada pilihan
pelik, mempertahankan prinsipnya atau tersingkir dari dunia tempatnya hidup dan
bernaung, artinya ia hidup tapi seolah tidak karena tak diakui lingkungannya,
tak ada tempat berekspresi. Dan itu tidak mudah, kasihan juga. Bagaimana kalau
ia tak sanggup? Bagaimana kalau ia tak cukup kuat menahan itu semua?
Tentulah tak pernah kusalahkan waktu, tapi memang banyak
sekali hal berubah oleh waktu. Makin hari, pepohon kian habis. Sawah-sawah
mulai ditumbuhi rumah-rumah, tanah-tanah dibeli orang asing lalu digerusnya
kekayaan alam kita, rumah-rumah ditimpali informasi sesat di layar kaca, yang
mengajari anak2 kita hidup lebay dan kurangajar. Tempat ibadah kian melompong.
Muda-mudi lebih suka keluyuran di jalan dan keramaian-keramaian. Gadis-gadis
kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Anak muda pun lebih suka
bergerombol di pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Pasangan
terpaksa menikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, kasus memalukan yang
terjadi di luar nikah. …….dst.
Di sunyi sangalaki, bergantung sisi kontemplasi.
menggantungkan hal-hal miris yang terjadi, membenarkan betapa propaganda yahudi
yang digencarkan melalui media yang dikuasainya telah berhasil, membuat kita
jadi orang-orang kalah, kalah total. Mereka seperti mampu mengerahkan ratusan
iblis untuk membekuk orang-orang pintar yang bertengger di lembaga-lembaga
Negara, guru dan pelajar-pelajar yang ada di kampus dan sekolah-sekolah. Telah
kita lihat betul keampuhan
sihir-sihir mereka.
Lalu, setelah segalanya terjadi, setelah kini segalanya
sudah jadi hal biasa dan (terkesan) tak dosa lagi. Sesuatu yang sebetulnya
disadari sejak dulu tapi terjadi begitu ajaib, seperti sesuatu yang alamiah,
mengelabuhi akal pikiran dan terjadi begitu saja, tak dipedulikan begitu saja. Menyeret
kita semua, masuk neraka secara berjamaah, nanti! Lalu apa yang hendak kamu
(kita) lakukan? sesuatu yang entah bertanya padaku. Ah, aku hanya rindu kawan
lamaku, rindu masa-masa semangat memperjuangkan idealisme asing yang
menggetarkan dan sangat beresiko, yang membuat dunia tak menerima dan
menyingkirkan penganutnya dari atasnya. Di Sangalaki, saya kemudian berpikir tentang
pulang. Apa yang bisa kukatakan (pada-Nya) di sana setelah pulang nanti?